Seni dalam Melting Pot vol 0090 essay

Reporter : Seno
images - 2022-07-09T152128.632

[caption id="attachment_24843" align="aligncenter" width="150"] Oleh: Cak Wan (Iwan Dewanto)[/caption]

Optika.id - Mindset mengenai "seni" layak direvisi dan dijabarkan.

Baca juga: Semangkin Daripada Bangsa ini vol 0131

Seni, suatu istilah dan tanggapan, sampai beranjak kepada kata kerja.

Suasana yg tumbuh berkembang meng-inspirasi kehidupan. Seni sebagai perwujudan daya tahan mengatasi segala macam tekanan keadaan, juga menjadi "media escape", ketika keputus-asaan mendera.

Seni - kesenian, lebih luas lagi suatu kebutuhan kawasan dalam kesatuan keseimbangan alam dalam ruang publik tata kota dan ekosistem.

Ide ide segar dan konservasi yang hidup dalam ingatan di sanubari masyarakat umum.

Kota, sebagai tempat "melting pot" dari perbagai macam kepentingan akan nyata hidup jika memandang seni sebagai kebutuhan hidup, akan terasa dinamikanya. Atau sebaliknya, tanpa kesenian-pun sebagian orang juga tidak begitu merasa kesenian sebagai urusan kehidupan. Di masa tertentu dulu dulu, manual dan semi otomatis, orang sering didorong untuk mobilisasi, partisipasi, dll, karena nafsu jaman ketegangan politik yang sensitif, kehidupan seni hampir tidak wajar, tema seni ditentukan oleh penguasa dan megaloman bisnis, (). Pekerja seni, seniman, produk seni dan giat berkesenian diawasi oleh penguasa, atau seniman dimanfaatkan oleh kepentingan promosi, atau dalam masa tertentu jatuh karena krisis ekonomi. Kesenian mengalami masa "laris" harga bursa.

Seorang penggiat seni kaya mendadak atau miskin mendadak, begitulah.

Saat ini, ketika dunia sudah berubah terbuka, berhubungan (virtual open sources), kiranya lumayan lebih memadai, fungsi fungsi untuk men-nggairah-kan kesenian relatif, peta & "marcap" -nya.

Era monopoli art dealer, agency "jaim" klas klas strata, perilaku feodal, mitos mitos untuk meyakinkan "brand" sudah lewat. Produk seni, dapat dijual langsung dan fleksibel.

Hampir semua tembok penghalang sudah terurai oleh "online" suatu tatanan pengganti yang sangat egaliter.

Dari "nyang nyangan" yang pura pura santun sampai sarkastik, sesuatu yang meriah.

Atau misalnya, orang lokal yang jarang transaksi dengan penguasa art dealer, bisa menafsir harga jual di pojokan virtual lonceng jam kota di London, atau sebaliknya, orang Perancis bisa langsung belanja di pasar online Comboran. (ongkire piro yo).

Seniman utuh ber-kreasi masuk ke semua kalangan, tanpa muter muter "hi-contect" menyiasati keadaan.

Era memburu karya seniman yang sudah almarhum sudah lewat. Dengan lot bandrol "wow & wah".

Padahal saat seniman nya hidup, ada yang terlunta lunta, sangat tidak etis.

Hari ini kalau ada seniman "jaim" yang latah dihanyutkan trend sosialita selebritas, akan menjadi tertawaan.

Baca juga: Seniman Surabaya Gelar Doa Bersama Untuk Tragedi Kanjuruhan

Kecuali seniman capek butuh istirahat.

Perilaku seni memiliki suatu sikap "kompatibel". Selalu mencari jalan, agar kalender bursa tetap berputar. Kerelaan membangun keterbukaan hubungan.

Kadang terhambat oleh miskomunikasi.

Penggiat kesenian terjebak gosip, terjebak oleh tekanan pedagang yang "menyrimpung" keterbatasan "netto" seniman, terjebak agen agen yang hanya memperalat penggiat seni.

Era imitatif menggandakan produk seni bangsa luar tidak sesuai lagi dengan kenyataan jiwa jaman.

Saatnya sekarang fokus kepada kebudayaan bangsa dewek, pikiran pikiran, transformasi dan kreasi kreasi srategis wujud kesenian, untuk semua keperluan ekspresi kebudayaan. Tidak terpaku oleh prilaku "template".

Terbukti, komunitas komunitas lokal yang setia dengan giat seninya, mampu bertahan dari gempuran kompetisi bisnis apapun, walaupun berada di pinggiran.

Kesetiaan berkegiatan kesenian, kemudian konsep kesenian itu tercipta di manapun setiap kota maupun Kabupaten.

Kota, hendaknya dikelola oleh pemimpin yang memiliki cakrawala disiplin terkait.

Baca juga: Kabar Duka, Legenda Ludruk Surabaya Cak Sapari Tutup Usia

Bahwa, produk seni lokal jika didukung oleh lingkungan yang memadai dapat menjadi item pasar yang menghidupkan omzet ekonomi publik.

Sebagai contoh, leadership Magelang, menghadirkan konser Mariah Carey di Borobudur, Yanni di Prambanan, Art Fest di Gallery OHD dll, yang mustahil terpikirkan di masa lalu.

Sehingga, peristiwa tersebut turut menghidupkan "bisnis" ikutannya dan memberi peluang pekerjaan bagi banyak orang.

Seniman fokus berkarya cipta, tidak repot mikir sembako bukan angan angan lagi. Warga kota harus disiplin terhadap kebersihan lingkungan, kota yang kotor, tidak akan menjadi destinasi peminat / audiensi untuk datang berkolaborasi.

Yang membedakan kemarin dan hari ini adalah : Kemarin suatu perilaku hidup yang tidak terlintas akan datangnya serangan wabah virus, sekarang, hari ini, setiap orang menjalani tafsir tata hidup "new normal" ..

selamat berkarya

salam sehat selalu

Editor : Pahlevi

Politik
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru