Semangkin Daripada Bangsa ini vol 0131

author Seno

- Pewarta

Selasa, 13 Des 2022 12:26 WIB

Semangkin Daripada Bangsa ini vol 0131

Oleh: Cak Wan (Iwan Dewanto)

Oleh: Cak Wan (Iwan Dewanto)

Baca Juga: Banjir Info itu vol. # 0096 Genre Essay

Optika.id - (01) Awal-awal online 2005, belum "menyergap waktu waktu kegiatan umum", dan publik tampak-nya tidak siap siap amat.

Orang, tidak suka menulis, tidak suka baca, maunya duit, hah hah hah hah.. suatu sebab akibat, yang panjang, duit aja enak. Orang menggunakan mobilephone masih tampak aneh (cemburu sosial).

Rentetan panjang itu, juga dampak dari periode periode minat jaman. Juga proses kekuasaan Orba dalam pilihan tren favorit jaman.

Mata pelajaran bahasa tersingkirkan dan menjadi "bullying" (nyek nyek an lulusan sekolahan).

Di era hengky pengky orba, alias "access denied"..

(40 years later),

budaya online datang dengan seperangkat "keharusan membaca, teks dan menulis, diksi, jiwa bahasa, hingga tafsir maksud. Menjadi kebutuhan pokok komunikasi, kemudian muncul tren bahasa message, emoticon, grafis, animasi, image, teleconference vi ci an, dlsb.

Suka tidak suka, menulis, meliputi semua proses perhubungan semua seluk beluk kode, audio, video, tanda, liku liku frasa, narasi bahasa, dongeng antah berantah, dari berbagai macam silang bahasa.

Di sinilah, bahasa yang semula jarang dianggap, karena tuntutan aturan penggunaan handset, orang harus menyelami aneka bentuk bahasa.

Kehadiran sosmed mewakili cara berkomunikasi "diskursus masyarakat umum" yang semula didominasi oleh pemilik media kanon dll.

Dalam suatu permakluman hukum (syarat dan ketentuan berlaku) yang menyisip di setiap lalu lalang produk digital.

Dengan melihat tanda dan pesan di dalam struktur bahasa, pertentangan berbahasa, di sisi lain ber-dialektika sebagai kebudayaan global.

Bahasa, dalam konteks pendidikan umum, (mapel proyek garingan), jauh di bawah ranking dokter dan engsinyur dan fak ekonomi.

Bahasa belum menjadi minat penting dalam persepsi publik dan institusi publik hingga aplikasi di lapangan. Padahal, "mbah gugel" menyediakan riset bahasa kompleks untuk transformasi kesempurnaan performa-nya.

Seberapa dalam kita, menyelami bahasa, ya, bahasa apapun.

Dengan "menyelami" , kita bisa rileks, dari cara bahasa sederhana sampai yang rumit, dari saling menerima dalam konteks, sampai gegar budaya (uring uringan jaim), "wadul me wadul" netizen somasi hukum.

Lebih konyol lagi jika "di framing" hanya untuk proksi jargon politik dan kontra identitas. Buang buang energi nasional.

(02)

Bahasa Ibu atau bahasa daerah di seluruh pelosok nusantara, misalnya Jawa, "rusak" karena sering disalahgunakan atau (mispersepsi, mistaken, misleading, mispaitun, dll)

Contohnya : jika orang berbahasa Jawa dikatakan sebagai "ndakik-ndakik", "mlipis". Padahal, istilah ndakik ndakik lebih tepat ditujukan kepada banjir nasehat dan kutipan kata bijak baper, cara politik untuk mengelabuhi dan menutupi maksud atas produksi spam dan reproduksi reduplikasi dari broadcast anonim bodong.

Memang sudah kita rasakan sejak lama, contohnya, kita menggunakan idiom bahasa lokal, untuk konteks berbagai macam keperluan komunikasi dalam keadaan dan emosional yang berbeda. Krama Inggil , Madya, Ngoko dan Carangan (slang) sampai bahasa Arek yang dianggap "kasar" menurut penutur bahasa metaraman.

Contoh : "yok opo rek" dari "piye" dan sub dialek "yok piye" dst.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Atau "assalamu'alaikum" dari pada "kulonuwun", "wilujeng", "salam sejahtera", "mohon maaf lahir dan batin", dst dst dst.

Dan GusDur pernah diboikot akibatnya, tapi kita lebih percaya GusDur daripada pihak pihak yang galak menentangnya. Munculnya klaim dari ajaran "manqul".

Mulai dari di-bully, tidak percaya, sampai kemaruk menjadi pelanggan ceramah.

Diperparah oleh slot primetime broadcast dalam menyajikan acara TV, dengan intonasi nada ungkap yang buruk ketika menyiarkan durasi program acaranya.

Enggan lagi dialek lokal, istilah "berkat", dianggap hal itu sama dengan sesajen dan dihukumi bid'ah.

Biasanya memakai kutipan :

"Seandainya hal itu baik, tentu mereka (para pengusung salaf) sudah mendahului kita melakukannya".

Pemakaian nama Berkat (dengan akhiran huruf T), karena dianggapnya berbau kejawen dan tentu bid'ah, akhirnya menggunakan istilah Barokah (dgn akhiran huruf H). Padahal baik kata Berkat, Berkah, Barokah ditambahi Barokolloh itu sama berasal dari akar bahasa Ibrani Arab yaitu ,

yg artinya tentu juga sama hanya beda pelafalan, tidak mengurangi substansi konteks.

Semua potensi penguatan ke-Indonesia-an, selalu diserang dan di-klaim dengan dalih tidak ada dalilnya. Lancang ..!

Bahasa indigenous sebagai dasar pondasi bangsa sengaja terhancurkan, agar ragu, tidak percaya diri kepada bangsanya (Indonesia).

Sebenarnya muslim menjadi korban proksi manipulasi bahasa isu agama dengan isu teks (naqli & aqli) dalam formalisme mimbar "unyu unyu"

dalam gerakan selubung identitas.

Lebih luas, semua unsur akar lokal, ditinggalkan (di-prethel-i).

Bahasa Jawa "terdegradasi", karena lingkungan yang "dinamis kebanteren", atau segala macam alasan, dari "terok terok latah" sampai minder tidak mengakui keunggulan bahasa ibu.

Dan lingkungan yang (TSM), ketika televisi masih satu satunya ruang siar, mengisi imajinasi ruang publik. Perhatikan bagaimana seluruh narasi dan obsesi yang tersaji dijejalkan (diloloh) setiap detik, menit, jam, hari atas nama TREN, merambah ke wilayah "medos" kemungkinan tak terhingga.

Adakah ruang untuk suatu keberadaan (eksistensi bahasa daerah nusantara..?).

Generasi baby boomers orba 60-an dalam "kubangan denial", belepotan berbahasa.

Dan generasi milenial boleh jadi kehilangan suasana nyata sehari hari roh bahasa dan kosmologi ibunya, tapi jejak digital memberikan uluran rangkaian akar untuk kembali belajar dan mempraktekkan dalam seluruh aneka tata cara hidupnya. Ndilalah, generasi milenial juga terjebak mengulangi cara berbahasa para senior, bahasa jatuh menjadi strata kelas sosial.

Alangkah latah "semangkin daripada bangsa ini".

Apa boleh buat,

risau, tapi tetap optimis, generasi milenial terbuka menjadi kosmopolit, dan di sana saat EKSIL (exile) di luar negaranya atau eksis hidup di negeri sendiri, akan merasakan keagungan bangsanya, bahasa ibu pertiwi..

Editor : Pahlevi

Tag :

BERITA TERBARU