Optika.id Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) menolak judicial review Pasal 222 UU Pemilu soal Presidential Threshold yang diajukan pimpinan DPD (Dewan Perwakilan Daerah) RI semakin memperjelas posisi MK menjadi penjaga tirani dan oligarki. Dia juga menilai alasan MK mengada-ada.
Pernyataan itu mengacu pada Putusan MK 52/PUU-XX/2022 terkait judicial review Pasal 222 UU Pemilu yang diajukan DPD RI dan Partai Bulan Bintang (PBB), tepatnya pada halaman 74 yang sempat dibeberkan Ketua DPD RI La Nyalla Mattalitti.
Baca juga: Suhartoyo MK: Putusan Sengketa Pilkada Bisa Lebih Progresif!
Dalam alasannya, MK menilai argumentasi pemohon tidak beralasan menurut hukum, karena tidak terdapat jaminan bahwa dengan dihapuskannya syarat ambang batas pencalonan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik, maka berbagai ekses sebagaimana didalilkan oleh pemohon tidak akan terjadi lagi.
"Putusan mengada-ada, minta jaminan kalau PT dihapus menjadi lebih baik: argumen konyol. Seharusnya, MK melakukan evaluasi UU terhadap UUD yang tidak mencantumkan prasyarat apapun. Khusus untuk kasus presidential threshold, cukup diatur sampai perihal parpol boleh usung capres, kata Anthony seperti dikutip Optika.id dari akun Twitter-nya, Minggu (10/7/2022).
Kedua, katanya, MK wajib mengerti, tidak ada kepastian (jaminan) dalam menentukan masa depan yang penuh ketidakpastian.
Tapi, yang wajib dipertimbangkan adalah probabilitas pilihan, mana yang lebih baik bagi masyarakat atas dua alternatif pilihan, PT 20 persen atau PT 0 persen: 2 capres atau 9 capres? urainya.
Ketiga, kata Anthony, Alasan MK yang tidak masuk akal tersebut secara langsung menelanjangi peran MK sebagai penjaga tirani, menghancurkan demokrasi dan kedaulatan rakyat
"Karena, tidak ada alasan apapun yang bisa dipakai pertahankan PT 20 persen: di luar akal manusia waras, kecuali akal kotor tirani, tukasnya.
Gelora Akan Gugat UU Pemilu
Gugatan Partai Gelora (Gelombang Rakyat) terhadap UU Pemilu tentang ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold (PT) oleh Mahkamah Konstitusi (MK) tidak membuat surut Partai Gelora.
Ketua Umum DPP Partai Gelora, Anis Matta, mengatakan pihaknya sedang mempelajari kembali gugatan UU Pemilu. Anis menghormati putusan MK terkait gugatan Partai Gelora, untuk memisahkan antara pemilu legislatif dengan pemilu presiden atau pilpres.
Namun dia menilai, penolakan itu prematur dan cenderung membingungkan. Juga merugikan partai politik dan rakyat sebagai pemilik suara.
"Gugatan kami ingin memastikan presiden yang dicalonkan berdasarkan pada suara rakyat yang mewakili pikiran dan perasaan hari ini, bukan yang kadaluwarsa," kata Anis dalam keterangannya, Sabtu (9/7/2022).
Syarat pengajuan capres-cawapres pada Pilpres 2024 adalah berdasarkan hasil suara partai pada Pemilu 2019. Dengan tetap menggunakan presidential threshold (PT) atau ambang batas pengajuan, yakni 20 persen suara. Dari yang diperoleh oleh partai politik dari hasil Pileg 2019.
Berkenaan dengan hal tersebut, Anis menyebut gugatan pihaknya terkait penyelenggaraan waktu pileg dan pilpres pada 2024, bisa menjadi alternatif atas gugatan PT nol persen.
"Gugatan kami juga bertujuan memberi peluang bagi lahirnya pemimpin baru di tengah krisis berlarut saat ini. Kami sedang mempelajari kemungkinan mengajukan gugatan kembali," kata mantan Presiden PKS ini.
MK Tak Paham Filosofi Konstitusi
Pengamat politik Rocky Gerung dalam Dialog Kebangsaan DPR RI bertajuk "Peran DPD RI dalam Percaturan Pemimpin Bangsa" di Gedung DPD RI, Senayan, Jakarta, Kamis (7/7/2022) menyebut keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang selalu menolak gugatan masyarakat hingga partai politik terkait ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold (PT) semakin menunjukkan bahwa MK tidak paham filosofi konstitusi.
Kalau DPD ditolak, saya sudah dua kali maju ditolak, anggota DPD Fahira ditolak juga tuh, partai politik udah pernah ditolak, dengan alasan yang sama, kalian tidak punya legal standing. Sekarang saya tanya, legal standing MK untuk menolak legal standing kami apa? Apa legal standing MK? tanyanya.
Rocky menjelaskan, sekitar tahun 1596 ditulislah satu traktat yang namanya Franco-Gallia yang ditulis oleh Francois Hotman orang Prancis yang bermukim di Italia. Dalam naskah Franco-Gallia itulah pertama kali kata konstitusi dipakai.
Baca juga: MK Sebut 106 Perkara Sengketa Pileg Akan Lanjut Pembuktian!
Naskah itu menegaskan bahwa konstitusi adalah hak untuk membunuh raja.
Kenapa? Karena raja mengklaim dapat hak untuk memerintah dari wahyu ilahi, urainya.
Setelah 200 tahun berikutnya, urai Rocky, dibuktikanlah secara jelas bahwa klaim raja itu omong kosong. Sekitar bulan Juli 1789 silam di alun-alun Kota Paris ada rakyat yang menenteng kepala Raja Louis XIV, raja yang mengklaim bahwa mahkotanya tidak mungkin lepas karena dipasangkan langsung oleh tuhan.
"Terus kata rakyat, ini buktinya nih, bahkan kepalamu pun saya bisa lepaskan dari tubuhmu (Raja Louis XIV) dengan pisau guillotine. Dari situ kita paham yang disebut kedaulatan rakyat. Hak untuk membunuh raja, jelasnya.
Sementara itu, peradaban modern kemudian menganggap bahwa hal tersebut berbahaya. Sehingga, jika rakyat kecewa dan kesal dengan raja, maka sang pemimpin tidak lagi dibunuh, melainkan datang ke Mahkamah Konstitusi dan melakukan gugatan.
Jadi kalau MK masih menganggap bahwa kalian rakyat tidak punya legal standing, baca sejarah konstitusi!Justru legal standing itu yang berdarah-darah dalam revolusi Prancis itu!" tegasnya.
Tak hanya itu, Rocky juga menyebut dalam sejarah masyarakat Jawa pun sudah diterangkan mengenai konstitusi dan JR. Kalau rakyat terhina oleh kebijakan, dia berhak untuk jemur diri di depan alun-alun istana.
Lalu rajanya keluar bertanya ada apa, kenapa ribut-ribut, lalu golongan pujangga itu bilang mereka protes tuan raja. Raja bilang oke, kalau begitu kita ganti, jelasnya panjang lebar.
Pada waktu itu memang tidak dikenal dengan judicial review (JR). Tapi itu adalah JR juga karena rakyat ingin memberitahu bahwa ada kebijakan yang tidak bagus disampaikan ke raja lewat JR.
Jadi ada tradisi local wisdom untuk mendengar suara rakyat, tandasnya.
Baca juga: Ini Prediksi Pakar Soal Putusan MK pada Sengketa Hasil Pilpres 2024
Atas dasar itu, Rocky menyebut MK ahistoris ketika menutup diri dari gugatan rakyat, termasuk soal presidential threshold 20 persen yang dinilai bertentangan dengan demokrasi. Bahkan, Rocky menyebut MK adalah akronim dari Mahkamah Kedunguan (MK) karena tidak pernah mendengarkan suara rakyat.
Sekarang MK menutup hak kita bahkan untuk berbicara. Kita cuma minta beri kami kesempatan untuk kami mendalilkan kami di dalam mahkamah, belum sempat udah. anda gak punya hak, anda gak punya legal standing, lho saya mau memilih? Bahwa MK buta huruf tentang filosofi dari konstitusi, sambungnya.
Ditambahkan Rocky, sebetulnya MK pun diberi semacam diskresi moral untuk mengintip potensi penyalahgunaan kekuasaan, itu namanya Judicial Activism. Di seluruh dunia, Mahakamah Konstitusi itu membuka mata, hati, dan otaknya untuk mendeteksi itu.
Ditegaskan Rocky, Judicial Review itu hak rakyat untuk minta review. Judicial Activism itu hak MK untuk nguping problem-problem yang membahayakan konstitusi, itu dasarnya.
Jadi di mana otak MK kalau dia gak faham bahwa dia justru menjadi mulia karena dia diberikan hak untuk memantau menguping keadaan rakyat. Ini dia gak mau nguping bahkan, lah rakyat bicara aja bahkan dia gak mu didenger apalagi mau nguping. Jadi itu kedunguan dari Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Kedunguan (MK). Saya mau dalilkan ini, saya mau bertengkar dengan semua hakim yang di situ tuh, buka forum, kita debat habis-habisan, dari sejarah intelektual konstitusi sampai konsekuensi dari mahkamah yang berubah jadi Mahkamah Konstipasi (MK) ngeden aja! pungkasnya.
Diketahui, MK baru saja menolak gugatan DPD RI terkait Pasal 222 UU Pemilu tentang ambang batas pencalonan atau Presidential Threshold (PT) dalam perkara Nomor 52/PUU-XX/2022. MK menilai DPD RI tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam perkara tersebut.
Reporter: Pahlevi
Editor: Aribowo
Editor : Pahlevi