Optika.id - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menunjukkan kekhawatiran terhadap draf Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang nantinya akan membuat masyarakat, termasuk ibu-ibu, terancam tidak bisa lagi mengkritik presiden.
"Ibu kita mengeluh soal minyak goreng naik, terus mau goreng-goreng kerupuk tidak bisa. Itu yang akhirnya tidak bisa dikritik nantinya," jelas Peneliti Kontras Rozy Brilian, dalam acara #Semuabisakena: Draf RKUHP Telah Dibuka, Sudahkah Suara Kita Didengar di Universitas Indonesia, Senin (18/7/2022).
Baca juga: Centra Initiative: Jokowi Ubah Negara Hukum Menjadi Negara Kekuasaan
Menurut Rozy, isi Pasal 218 yang tercantum di dalamnya memuat menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri presiden atau wakil presiden, memuat serentetan kejanggalan dalam substansinya. Di antaranya yakni terkait uraian serta pertimbangan kritik untuk kepentingan umum yang harus disertai dengan uraian dan pertimbangan baik buruk sebuah kebijakan yang dikeluarkan.
Selanjutnya, terkait kritik yang harus bersifat konstruktif. Rozy menilai jika sebenarnya itu keliru. Sebab, konstruktif atau desktruktifnya sebuah kritik tergantung dari subjektivitas yang dikritik.
"Kalau bicara soal bikin meme atau infografis, apakah saya mengkritik presiden dengan muka seperti badut karena dia tukang bohong, misalnya, itu saya bisa dipidana?" ujarnya.
Atas dasar hal tersebut, menurut Rozy simulasi-simulasi terkait pasal-pasal RKUHP perlu dimunculkan untuk menjawab berbagai kejanggalan di RKUHP.
Kejanggalan lain dalam persoalan penghinaan presiden kata dia adalah kritik yang dilontarkan ke presiden harus tidak dilakukan dengan niat jahat untuk merendahkan dan atau menyerang harkat dan martabat. Hal ini dinilai Rozy tidak masuk akal. Sebab konsensi kritik bukanlah atas dasar niat jahat.
Dalam kerangka demokrasi, dirinya menegaskan bahwa regulasi harus dibuat dengan tujuan untuk melindungi warga negara dalam menyampaikan kritik terhadap pejabat publik, bukannya sebaliknya.
Di sisi lain, Ketua BEM UI Bayu Satria menilai jika draf resmi RKUHP masih berisikan berbagai pasal yang bermasalah. Adapun pasal yang menjadi bahan perdebatan di kalangan mahasiswa yakni Pasal 273 Draf RKUHP.
Adapun pasal 273 menyebutkan jika pihak yang melakukan unjuk rasa, demonstrasi maupun pawai di jalan tanpa pemberitahuan serta mengakibatkan terganggunya kepentingan umum maka diancam pidana penjara paling lama 1 tahun.
Baca juga: Apakah Senjata Api Harus Dilegalkan di Indonesia?
Pasal tersebut mengancam kebebasan masyarakat termasuk mahasiswa dalam menyampaikan pendapat di muka umum.
"Menghambat kita, mengancam kita dalam menyampaikan pendapat, misalnya pasal hukuman pidana bagi demonstrasi tanpa izin," kata Bayu.
Terkait izin demonstrasi ini hanya menjadi syarat untuk menggelar aksi. Meski hanya syarat, kata Bayu, pihak kepolisian kerap tidak memberikan tanda terima pemberitahuan untuk menggelar aksi demo.
"Beberapa pengalaman teman-teman, polisi tidak mau mengeluarkan tanda terima. Aksi terakhir kemarin kita sendiri bikin tanda terima," ungkapnya.
Sementara itu, Anggota Komisi III DPR RI Taufik Basari mengatakan RKUHP memang patut dikritisi bersama, termasuk oleh dirinya sebagai Komisi III DPR.
Baca juga: Melegalkan 'Euthanasia' Bagi Pasien dengan Penyakit Parah
"Kita harapkan agar ruang diskusi, ada ruang pembahasan yang berkualitas bermakna. Jangan sampai pembahasan formalitas saja," katanya.
Reporter: Uswatun Hasanah
Editor: Pahlevi
Editor : Pahlevi