Melegalkan 'Euthanasia' Bagi Pasien dengan Penyakit Parah

author Aileen Feilicia Harianto

- Pewarta

Kamis, 31 Agu 2023 14:06 WIB

Melegalkan 'Euthanasia' Bagi Pasien dengan Penyakit Parah

Optika.id - Kata Euthanasia sepertinya sudah tidak asing lagi bagi telinga kita, bukan? Seringkali isu ini menjadi perdebatan hangat di berbagai kalangan, terutama di kalangan medis, pemuka agama, dan penegak hukum. Namun, apa sebenarnya euthanasia? Apa yang membuat euthanasia mendapatkan begitu banyak pro-kontra? Mari kita bahas bersama-sama.

Baca Juga: Ada Kandungan Bromat Berbahaya di Air Mineral, Pakar UGM: Jangan Asal Percaya Influencer

Dilansir dari situs nhs.uk, euthanasia adalah praktik untuk mengakhiri hidup seseorang dengan sengaja agar dapat menghentikan penderitaannya. Euthanasia sendiri dibedakan menjadi dua, yaitu euthanasia aktif dan pasif. Euthanasia aktif artinya pada saat tim medis bertindak langsung dalam mengakhiri hidup sang pasien, contohnya dengan suntik mati. Sedangkan euthanasia pasif adalah saat tim medis secara tak langsung mengakhiri hidup pasien, contohnya dengan menghentikan kerja ventilator yang terpasang pada tubuh pasien.

Walaupun tujuan diberlakukannya euthanasia tidak terdengar membahayakan bagi pihak manapun, akan tetapi banyak yang menentang keras praktik ini karena dianggap melanggar etika dan hak asasi manusia. Salah satu negara yang menolak keras euthanasia adalah India.

Mereka berpendapat bahwa apabila euthanasia dilegalkan, maka India akan terlihat seperti negara yang tidak berinvestasi pada pelayanan kesehatan yang memadai bagi masyarakat sehingga warganya lebih memilih untuk melakukan euthanasia sebagai jalan keluar.

Dengan dilegalisasi nya euthanasia, India juga akan terlihat gagal dalam melindungi nyawa para warganya. Selain itu, mereka juga berargumen bahwa para tenaga kesehatan memiliki tugas dan kewajiban untuk merawat pasien dan bukan membahayakan ataupun merengut nyawa mereka.

Kemudian, seorang profesor bernama John Keown yang mempelajari hukum dan etika dalam bidang kesehatan menyatakan pendapatnya bahwa bila euthanasia dilegalkan, ia khawatir praktik ini akan disalahgunakan oleh beberapa orang, contohnya para pasien yang seharusnya masih bisa disembuhkan justru lebih memilih euthanasia karena dianggap lebih hemat biaya, tidak membebankan orang lain, serta lebih efisien dan mudah dibandingkan jika harus dirawat beberapa hari bahkan berbulan-bulan lamanya untuk sembuh.

Selain ini, ada pula pihak yang berargumen bahwa melegalkan euthanasia dapat disalahgunakan oleh anggota keluarga untuk memperoleh harta kekayaan dari pasien tersebut, karena untuk melakukan euthanasia memang diperlukan persetujuan dari pihak keluarga bila dibutuhkan.

Namun bagaimana jika pasien tersebut masih ada sepercik harapan untuk sembuh, akan tetapi anggota keluarganyalah yang berharap sebaliknya? Hal inilah yang menjadi bahan pertimbangan bagi Mahkamah Agung.

Baca Juga: Benarkah Kadar Kolesterol di Buah Durian Tinggi?

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Sekarang mari kita coba melihat dari sisi lain. Pada tanggal 22 Oktober 2004 di Rumah Sakit Islam Bogor, Panca Satrya Hasan Kusumo mengajukan permohonan euthanasia untuk dilakukan pada sang istri yang kala itu menderita kerusakan saraf permanen dan sudah koma selama tiga bulan.

Ia mengatakan bahwa ia sudah tidak dapat membiayai pengobatan istrinya. Akan tetapi, hal tersebut ditolak oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, sehingga pada akhirnya, pemerintah turun tangan dengan membiayai perawatan istrinya. Kemudian pada Mei 2017, permohonan euthanasia kembali diajukan oleh Berlin Silalahi kepada Pengadilan Negeri Banda Aceh karena ia menderita kelumpuhan dan sakit kronis, serta istrinya hanyalah seorang ibu rumah tangga yang tidak ada penghasilan.

Sama seperti kasus sebelumnya, permohonan ini ditolak, namun tidak ada berita lebih lanjut apakah pemerintah kembali memberikan bantuan biaya atau tidak. Kita sebenarnya tidak ingin melihat orang yang kita kasihi sakit bukan?

Namun bila kita berada di posisi mereka, sebagai seseorang yang tidak memiliki penghasilan yang cukup namun masih harus membayar tagihan rumah sakit, lalu mereka yang sakit pun masih harus terbaring di ranjang dengan penuh kesakitan, sesungguhnya euthanasia bukanlah pilihan yang begitu buruk dari pandangan mereka.

Baca Juga: Kondom Masih Dianggap Tabu, Kemenkes: Sudah Terdaftar, Penting Buat Tekan HIV!

Dilakukannya euthanasia akan meringankan beban ekonomi mereka, dan bila dilihat dari sisi positifnya, organ tubuh pasien yang masih sehat masih dapat disumbangkan kepada pasien lain yang membutuhkan.

Dengan ini, bukankah mereka yang menderita penyakit degeneratif bisa mendapatkan hak insani mereka, dan pasien yang dapat disembuhkan serta memiliki kemungkinan lebih besar untuk hidup juga mendapatkan hak mereka untuk hidup? Sebenarnya, hal ini terdengar seperti sebuah solusi yang saling menguntungkan.

Euthanasia memang bukan suatu kasus hitam putih yang dapat segera ditentukan boleh atau tidaknya, tetapi kita harus melihat kasus ini dari berbagai perspektif dan menyimak kasus per kasus secara hati-hati.

Editor : Pahlevi

BERITA TERBARU