Kapolri Memilih Menjaga Marwah Institusi

Reporter : Seno
IMG-20220809-WA0022

[caption id="attachment_15157" align="aligncenter" width="150"] Oleh: Cak Ahmad Cholis Hamzah[/caption]

Optika.id - Hari Selasa tanggal 9 Juli 2022 sehabis sholat Maghrib (waktu Jakarta) publik di negeri ini mendapatkan berita mengejutkan dari Kapolri Jenderal Sigit dalam konferensi persnya yang menyebutkan bahwa Irjen Pol Fredy Sambo ditetapkan sebagai tersangka atas peristiwa pembunuhan Brigadir Joshua (J). Kata mengejutkan saya pakai tanda kutip karena sebenarnya masyarakat luas ejak awal sudah banyak menduga dan curiga tentang keterlibatan Irjen Sambo; sehingga penjelasan Kapolri itu mempertegas atau meng-konfirmasi dugaan masyarakat itu.

Baca juga: Suriah Jatuh

Peristiwa pembunuhan Brigadir J menjadi bukan peristiwa pembunuhan biasa namun suatu peristiwa yang membuka tabir adanya kelompok-kelompok yang ada di institusi Polri. Karena itu peristiwa ini menenggelamkan berita-berita tentang perang Rusia melawan Ukrainia, pengeboman pasukan Israel di Gaza Palestina, penyerbuan FBI Amerika Serikat ke properti milik mantan presiden AS Donald Trump, pebincangan tentang siapa calon presiden RI di pilpres 2024, kasus pengusaha yang lari ke Singapura karena korupsi uang Rp triliunan milik negara dsb. Mata masyarakat hanya tertuju pada berbagai berita di TV, Koran maupun sosial media tentang perkembangan kasus pembunuhan Brigadir J ini.

Publik akhirnya mengetahui betapa sulitnya pihak Polri mengungkap kasus ini karena menyangkut hubungan internal antar petugas, antar kolega di lembaga kepolisian. Pihak Polri sebenarnya sudah faham dan mencurigai adanya hambatan-hambatan yang sengaja dibuat oleh kelompok dalam Polri sendiri untuk menghalangi penyelidikan kasus ini; sampai Indonesia Police Watch menyebut adanya kelompok Mafia dilingkungan Polri. Hanya saja tidak bisa dihindari kekuatan people pressure atau tekanan publik lewat teknologi informasi seperti sosial media, TV maupun Koran yang terus-menerus mengungkapkan kecurigaan atas penanganan awal kasus ini. Perintah presiden Jokowi untuk membuka kasus ini secara transparan, tidak ditutup-tutupi juga menjadi faktor penekan kepada institusi Polri untuk bekerja professional dan jujur kepada masyarakat.

Baca juga: Lagi-Lagi Soal Komunikasi

Masyarakat akhirnya merasa puas dan bangga bahwa institusi Polri yang dipimpin Kapolri Jendral Sigit memilih untuk menjaga marwah Polri dibandingkan dengan membela segelintir orang dilingkungan Polri yang berbuat cela. Hasilnya puluhan personel Polri dari yang berpangkat Irjen sampai tamtama di periksa, ditahan yang semuanya itu membuka tabir persengkokolan jahat segelintir aparat tadi yang merekayasa kejadian, menghilangkan barang bukti seperti CCTV, HP dan senjata yang dipakai membunuh, membuat laporan pemeriksaan otopsi yang meragukan, membuat alibi terjadinya tembak-menembak, dugaan pelecehan seksual yang dilakukan korban dsb. Semua rekayasa yang dilakukan aparat yang berpangkat jenderal sampai bawahan itu terpatahkan ketika seorang bawahan Bharada E akhirnya mengakui kepada penyidik dan pengacaranya bahwa dialah yang membunuh Brigadir J atas perintah Irjen Fredy Sambo, dan pak Jenderal ini juga yang mengambil senjata milik almarhum Brigadir J untuk menembak ke dinding rumah agar terkesan terjadi tembak menembak.

Kelompok-kelompok yang ada dilingkungan lembaga kepolisian tidak hanya terjadi di Indonesia tapi juga dibanyak negara termasuk di negara Adidaya Amerika Serikat. Kelompok itu melakukan tindakan yang melanggar kode etik serta sumpah jabatan seperti tindakan korupsi di lingkungan lembaga polisi. Tindakan korupsi itu adalah bentuk pelanggaran polisi di mana petugas penegak hukum akhirnya melanggar kontrak politik mereka dan menyalahgunakan kekuasaan mereka untuk keuntungan pribadi. Jenis korupsi ini mungkin melibatkan satu atau sekelompok petugas. Korupsi internal polisi merupakan tantangan bagi kepercayaan publik, kohesi kebijakan departemen, pelanggaran hak asasi manusia dan hukum yang melibatkan konsekuensi serius. Korupsi polisi dapat mengambil banyak bentuk, seperti penyuapan. Petugas polisi memiliki beberapa kesempatan untuk mendapatkan secara pribadi dari status dan wewenang mereka sebagai petugas penegak hukum. Komisi Knapp, yang menyelidiki korupsi di Departemen Kepolisian Kota New York pada awal 1970-an, membagi petugas korup menjadi dua jenis: pemakan daging, yang "secara agresif menyalahgunakan kekuasaan polisi mereka untuk keuntungan pribadi", dan pemakan rumput, yang "hanya menerima imbalan yang ditimbulkan oleh kebetulan pekerjaan polisi." Akhir-akhir ini di AS itu juga muncul kritikan-kritikan publik yang keras kepada pemerintah untuk mengevaluasi tindakan sewenang-wenang karena melakukan pembunuhan secara sepihak kepada warga minoritas AS. Pemerintah AS harus menjaga kepercayaan publik kepada aparat kepolisiannya.

Baca juga: Kita Harus Paham DNA Media Barat

Hal yang sama dilakukan di negeri ini, pihak pemerintah Indonesia lewat pernyataan presiden Jokowi agar kepercayaan masyarakat kepada Polri harus dijaga, dan pihak Polri dibawah pimpinan Jenderal Sigit ini dengan berani memilih menjaga marwah institusi Polri dibandingkan membela kolega dan bawahannya sendiri. Proses penyelidikan kasus terbunuhnya Brigadir J ini masih terus berkembang; namun masyarakat harus memberikan apresiasinya kepada Kapolri yang berusaha menegakkan jati diri dan marwah Kepolisian RI.

Editor : Pahlevi

Politik
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru