Oleh: Cak Ahmad Cholis Hamzah
Optika.id - Artikel yang terbit di media asing The Economist (dari Inggris) baru-baru ini menyoroti Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto. Artikel itu diterbitkan pada Kamis (28/11/2024) lalu dan langsung menarik perhatian publik Tanah Air. Warganet di media sosial menilai judul dari artikel tersebut cukup provokatif. Diketahui, artikle tersebut berjudul "Indonesias Prabowo is desperate to impress Trump and Xi". Artikel tersebut memberitakan bahwa Prabowo seolah 'mengemis' demi mengesankan Xi Jinping dan Donald Trump.
Media barat tentu mengikuti kebijakan luar negeri negaranya masing-masing yang memang selalu mempunyai pendapat kritis tapi negatif kepada negara atau pimpinan suatu negara yang tidak sepaham dengan keinginan barat. Bila misalnya Indonesia terlalu dekat dengan Cina atau Rusia, maka media barat selalu menurunkan berita yang negatif tentang Indonesia dan para pemimpinnya. Kadang underestimate kemampuan dan potensi negara dengan nada menghina.
Saya mengamati banyak pemimpin negara-negara non barat yang mampu dan cerdas melawan pendapat media barat yang seringkali memojokkan. Pemimpin dunia itu antara lain Menteri Luar Negeri India Dr. S Jaishankar dan almarhum Lee Kuan Yew mantan Perdana Menteri Singapura. Keduanya sangat percaya diri dalam membela kepentingan negaranya masing-masing dari kritikan yang tidak berdasar.
Hal ini tercermin pada sikap India dalam persoalan perang di Ukraina. Pada bulan Juni tahun 2022 Menteri Luar Negeri India Dr. S Jaishankar pada saat ditanya seorang moderator wanita di acara GLOBSEC (Global Security) 2022 Bratislava Forum di Republik Slovakia (berlangsung tangga dengan sebuah pertanyaan keras tentang sikap India terhadap konflik Rusia Vs Ukraina apakah memihak kubu barat (AS dan Eropa) atau kubu Cina/Rusia, karena memang di dunia ini faktanya ada dua kubu itu. Sang menteri dengan keras dan tegas mengatakan that the construct you are trying to impose on me (itu konstruksi pikiran anda yang anda paksakan kepada saya untuk menerimanya) dan mengatakan totally disagree ketidaksetujuannya atas pertanyaan itu. Menteri Jaishankar mengatakan dengan keras I dont accept that India has to join either the US axis or China axis. We are one-fifth of the worlds population, fifth or sixth largest economy in the worldwe are entitled to weigh our own side; yang intinya mengatakan jangan paksa kami mmemihak dua kubu itu, kami adalah negara yang penduduknya 1/5 penduduk dunia, kekuatan ekonomi ke lima ke enam dunia, karena itu kami punya hak untuk menentukan sikap kami sendiri.
Sementara itu mantan PM Lee Kuan Yew pernah terlibat debat dengan media Barat dengan menantang narasi mereka dan meminta media melaporkan sesuatu dengan data yang akurat melalui keterlibatan langsung.
Lee Kuan Yew seringkali membungkam pewancara dari media barat seperti NBC, CNN, BBC, Fox, Financial Times dsb dengan jawaban yang menohok antara lain ketika dia bertanya pada wartawan asing kenapa anda mempunyai asumsi bahwa kami orang Asia bodoh dan akan lebih baik kondisinya bila mengikuti cara-cara barat?; dia juga menjawab pertanyaan tentang banyaknya hukuman mati di Singapura dibandingkan di Amerika Serikat dari mana anda mendapatkan data itu? si penanya jawab dari Amnesty Internasional, lalu Lee bertanya apakah Amnesty Internasional memiliki data itu, kata penanya dari segi perkapita Singapura lebih banyak menghukum mati, tanya Lee per kapita apa? Perkapita penduduk atau perkapita penjahat narkoba?; Lee Kuan Yew juga menyindir penanya yang menyebutkan bahwa pekerja Singapura memang terdidik tapi kurang insiatif dengan jawaban berdasarkan data bahwa ada perguruan tinggi Singapura yang menempati ranking dunia - apa anda tidak percaya data ranking ini? yang membuat negara kecil Singapura ini menjadi negara kaya raya.
Lee Kuan Yew mengkritik media Barat karena memperburuk perpecahan sosial dan meminta mereka memprioritaskan pelaporan faktual daripada sensasionalisme. Dia menekankan pentingnya jurnalisme yang bertanggung jawab dalam mendorong pembangunan nasional.
Itu adalah contoh kedua tokoh negara India dan Singapura dalam melawan narasi negatif wartawan dan media barat. Secara tersirat mereka berpendapat bahwa media barat tidak ingin melihat negara lain maju dan punya sikap yang berbeda dengan barat.
Kita di Indonesia sebaiknya memahami DNA media barat dalam membuat laporan tentang negara kita.
Baca Juga: Lagi-Lagi Soal Komunikasi
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Editor : Pahlevi