Optika.id - Masyarakat tanah air kini tengah harap-harap cemas, menunggu kebijakan serta langkah yang akan diambil pemerintah dalam mengatur harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi jenis Pertalite dan Solar.
Kalau Pertalite dan Solar naik, bagaimana dampaknya bagi masyarakat kelas menengah ke bawah?
Baca juga: Pemerintah Mau Naikkan Pertalite dan Solar, Ketua PP Muhammadiyah: Bertentangan dengan Konstitusi!
Petugas SPBU (Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum) di Kecamatan Waru, Sidoarjo, Jawa Timur mengatakan bahwa memang ada wacana harga Pertalite akan naik. Namun dia tak menjelaskan naiknya hingga berapa rupiah.
"Yang pasti ada wacana harganya naik mas, tapi nggak tahu naiknya berapa. Kita sendiri inginnya nggak naik mas, maklum saya sendiri juga masyarakat kelas bawah," tutur petugas SPBU yang tak mau menyebutkan namanya ini pada Optika.id, Minggu (21/8/2022).
"Yang ditakutkan itu kan efek dominonya mas, bener Pertalite naik tapi lama-lama semua juga naik. Sekarang saja harga sembako juga pada naik, tuh telor aja per kilonya sekarang Rp 32 ribu, ayam masih Rp 36 ribu per kilonya. Mau beli daging sapi nggak nutut uangnya mas, nek koyok ngene terus ape mangan opo mas (kalau kayak gini terus, mau makan apa kita nanti mas?)" keluh pria beranak tiga ini.
Dia berharap pemerintah mengkaji ulang wacana kenaikan harga Pertalite yang dirasa sangat memberatkan bagi kaum proletar.
Diketahui, konsumsi Pertalite di Indonesia mencapai 80ri total bensin, sehingga kenaikan harga Pertalite tentu akan mendorong kenaikan inflasi, yang mungkin saja meningkat.
Data Inflasi
Badan Pusat Statistik (BPS) di awal bulan ini mengumumkan data inflasi Indonesia periode Juli 2022 yang tumbuh 0,64% dibandingkan bulan sebelumnya (month-to-month/mtm).
Secara tahunan (year-on-year/yoy), laju inflasi terakselerasi. Inflasi Juli 2022 tercatat 4,94% (yoy), lebih tinggi dari bulan sebelumnya yang 4,35% sekaligus jadi yang tertinggi sejak Oktober 2015.
Dalam keranjang inflasi, bensin memiliki bobot 4% menurut data Badan Pusat Statistik (BPS). Sehingga misalnya saja harga BBM naik 10%, inflasi bisa terdorong hingga 0,4 poin persentase terhadap inflasi.
Secara historis, pada 2014 misalnya, saat harga BBM jenis Premium yang saat itu paling banyak dikonsumsi, dinaikkan pada bulan November hingga 30%. Inflasi kemudian melesat hingga 8,36% (yoy).
Hal yang sama juga terjadi setahun sebelumnya. Pemerintah menaikkan harga BBM di bulan Juni 2013 yang memicu kenaikan inflasi hingga 8,38% (yoy).
Dampak kenaikan BBM ternyata tidak hanya pada ekonomi, tapi juga akan berimbas pada aspek sosial masyarakat Indonesia.
BBM sangat diperlukan untuk operasional perusahaan, sehingga jika harganya kian mahal maka akan membebani biaya produksi hampir seluruh sektor dan lini bisnis.
Akibatnya, perusahaan akan meminimalisir biaya operasional, misalnya dengan menghentikan rekrutmen karyawan baru hingga Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Kenaikan BBM berpotensi akan meningkatkan angka pengangguran yang tentunya akan menambah tingkat kemiskinan Indonesia. Padahal, per Maret 2022, BPS telah melaporkan adanya penurunan tingkat kemiskinan setelah pandemi.
Tingkat kemiskinan per Maret mencapai 9,54% atau 26,16 juta orang. Turun 0,6 poin atau 1,38 juta orang. Sementara dibandingkan September 2021 penurunan tingkat kemiskinan mencapai 0,17 poin atau 0,34 juta orang.
Namun, garis kemiskinan mengalami kenaikan 3,975% dibandingkan September 2021 menjadi Rp 505.469 pada Maret 2022.
Bukan hal yang tak mungkin, jika tingkat pengangguran dan tingkat kemiskinan yang meningkat akan menimbulkan kekacauan hingga demonstrasi.
Jika berkaca pada 2013 silam, ratusan mahasiswa dan buruh menggelar demo menolak kenaikan BBM di depan Istana Negara, Pertamina, hingga Kementerian Energi dan Daya Mineral (ESDM).
Hal tersebut seharusnya dapat menjadi pembelajaran. Sebelum pemerintah menaikkan harga BBM, sebaiknya mencermati beberapa poin seperti tingkat inflasi dan daya beli masyarakat.
Konsumsi masyarakat Indonesia berkontribusi sebanyak 50% terhadap PDB, sehingga jika inflasi meninggi tentunya akan membatasi konsumsi masyarakat dan ikut mengerek turun PDB.
Sinyal Kenaikan
Sinyal kenaikan harga BBM Pertalite disampaikan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto.
"Harga Pertamax keekonomian Rp 15.150 namun di eceran masih Rp 12.500 per liter. Dan Pertalite keekonomiannya Rp 13.150 tapi ecerannya Rp 7.650 per liter," ungkap Menko Airlangga dalam Konferensi Pers Nota Keuangan dan RUU APBN 2023, Selasa (16/8/2022).
Airlangga juga membandingkan harga BBM Pertalite dan Pertamax di RI yang masih jauh di bawah harga BBM dari negara-negara tetangga. Misalnya saja Thailand yang menjual BBM dengan harga Rp 19.500 per liter. Kemudian Vietnam Rp 16.645 per liter dan Filipina mencapai Rp 21.352 per liter.
Kemenko Perekonomian pun mengungkapkan, Pemerintah sedang mempertimbangkan untuk menyesuaikan harga Pertalite.
Sekretaris Kemenko Perekonomian, Susiwijono Moegiarso menambahkan, harga jual Pertalite yang kini dijual sangat terpaut jauh jika dibandingkan dengan harga keekonomian.
Harga keekonomian BBM jenis Pertalite seharusnya dibanderol Rp17.200 per liter jika dijual mengikuti fluktuasi harga minyak dunia. Namun saat ini harga jual Pertalite hanya Rp7.650.
"APBN kita sudah cukup (sulit kalau kembali menambah subsidi). Mungkin supaya harga jualnya ini agar tidak terlalu tinggi antara harga jual dan harga keekonomian, kita sedang hitung perlu opsi kenaikan harga," ucap Susiwijono.
Baca juga: BBM Mau Naik, Banyak Pihak Tak Setuju! Mulai Mahasiswa Sampai Ojol
Ia mengatakan, untuk memutuskan naiknya harga Pertalite, diperlukan pembahasan serta hitung-hitungan yang sangat detail.
Karena, kenaikan BBM subsidi akan berdampak terhadap inflasi nasional. Sehingga, keputusan ini harus dilakukan secara hati-hati dan penuh pertimbangan.
Angkanya semua dihitung. Kita semua sedang siapkan angkanya, kita sudah rapat beberapa kali, semua sedang dihitung, kalau naik nanti kontribusi ke inflasinya berapa karena kenaikan harga BBM akan dorong inflasi, tukasnya.
Timbulkan Gejolak
Sementara, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia menyadari kenaikan harga BBM di dalam negeri bisa menimbulkan gejolak di masyarakat. Namun demikian, kondisi keuangan negara dalam menahan kenaikan harga BBM sudah terbata-bata.
"Saya menyampaikan sampai kapan APBN kita akan kuat menghadapi subsidi yang lebih tinggi, jadi tolong teman-teman sampaikan juga kepada rakyat bahwa rasa-rasanya sih untuk menahan terus dengan harga BBM seperti sekarang feeling saya harus kita siap-siap kalau katakanlah kenaikan BBM itu terjadi," kata Bahlil.
Skema Harga
Selain itu, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan menjelaskan pemerintah tengah menyusun skema penyesuaian harga untuk mengurangi beban subsidi.
"Pemerintah masih menghitung beberapa skenario penyesuaian subsidi dan kompensasi energi dengan memperhatikan dampaknya terhadap masyarakat. tapi untuk diketahui harga BBM di Indonesia relatif lebih murah dibanding mayoritas negara di dunia," kata Luhut dalam keterangannya, Minggu (21/8/2022).
Langkah yang disimulasikan termasuk skenario pembatasan volume. Menurutnya Pemerintah akan terus mendorong penggunaan aplikasi MyPertamina untuk mendapatkan data akurat sebelum pembatasan dilakukan.
lt;p>Namun demikian, lanjutnya, pemerintah akan memperhitungkan rencana ini dengan sangat berhati-hati.Perubahan kebijakan subsidi dan kompensasi energi nantinya perlu mempertimbangkan beberapa faktor seperti tingkat inflasi, kondisi fiskal, dan juga pemulihan ekonomi.
Hal tersebut menjadi sangat penting untuk tetap menjaga stabilitas negara di tengah ketidakpastian global.
"Pemerintah akan terus mendorong penggunaan aplikasi MyPertamina untuk mendapatkan data yang akurat sebelum pembatasan diterapkan," ujarnya.
Saat ini harga minyak mentah dunia mendorong meningkatnya selisih harga keekonomian dan harga jual Pertalite dan Biosolar, hingga berdampak pada kenaikan subsidi dan kompensasi energi.
APBN menanggung subsidi dan kompensasi energi mencapai Rp 502 triliun. Tanpa ada penyesuaian kebijakan, angka ini bisa meningkat hingga lebih dari Rp 550 triliun pada akhir tahun.
Baca juga: Harga Pertalite Bakal Naik, PDIP Tanyakan Hal ini pada Pemerintah
Dalam upaya mengurangi subsidi dan kompensasi energi ini, pemerintah juga akan melakukan langkah-langkah lain seperti percepatan B40 dan adopsi kendaraan listrik.
"Yang perlu diingat, keputusan akhir tetap di tangan Presiden. Namun langkah awal yang perlu dilakukan adalah memastikan pasokan Pertamina untuk Pertalite dan Solar tetap lancar distribusinya," tukasnya.
Sebelumnya, Luhut mengatakan Presiden bakal mengumumkan harga BBM pada pekan depan khususnya jenis Pertalite.
"Minggu depan Presiden akan mengumumkan terkait apa dan bagaimana mengenai harga BBM ini. Jadi Presiden sudah mengindikasikan tidak mungkin kita pertahankan terus demikian, karena harga BBM kita jauh lebih murah di kawasan asia ini, dan itu beban terlalu besar kepada APBN kita," ungkapnya.
"Jadi Presiden sudah mengindikasikan tidak mungkin kita pertahankan terus demikian, karena harga BBM kita jauh lebih murah di kawasan Asia ini, dan itu beban terlalu besar kepada APBN kita," tambahnya.
Beban Subsidi Besar
Wakil Presiden KH Ma'ruf Amin mengamini, selama ini beban subsidi negara sudah cukup besar.
Dia mengungkapkan subsidi BBM bahkan hingga mencapai lebih dari Rp200 triliun.
"Itu kan ada beban subsidi negara besar sekali. Subsidi kita itu lebih dari Rp200 triliun. Nah, jadi kalau ada kenaikan-kenaikan lagi, ini memang supaya subsidi ini bisa sustain bisa terus berlanjut," jelasnya usai menghadiri Haul Akbar ke-23 Tahun Ulama Indonesia Alm. Habib Umar bin Hood Alatas, di Depok, Jawa Barat, Sabtu (20/8/2022).
Ia mengatakan, bahwa wacana kenaikan BBM juga masih dalam tahap pengkajian.
Pemerintah, kata Ma'ruf, masih melakukan pembahasan secara komprehensif terkait penentuan harga BBM.
"Ini yang masih terus dipikirkan, jadi masih dalam penggodokan. Masih dalam pembahasan, apakah akan dinaikkan apa tidak. Tapi bagaimana ini berjalan dengan baik," pungkasnya.
Reporter: Pahlevi
Editor: Aribowo
Editor : Pahlevi