Misgovernance

Reporter : Seno
images (65)

[caption id="attachment_9445" align="aligncenter" width="150"] Oleh: Prof. Ir. Daniel Mohammad Rosyid, M.Phil., Ph.D., MRINA[/caption]

Optika.id - Samboisasi polisi adalah bukti terakhir kesalahan tata kelola negara setelah UUD45 diganti UUD2002. Perlu dingat bahwa kesalahan tata kelola negara ini adalah ulah anggota partai politik yang duduk di parlemen saat awal reformasi. Kesalahan ini telah melahirkan rangkaian salah kelola yang luas melalui maladministrasi publik yaitu pembuatan berbagai Undang Undang, termasuk UU No. 2/2002 tentang Kepolisian Negara RI, tafsir dan penegakkannya untuk kepentingan elite politik dan para taipan pendukungnya, bukan untuk kepentingan publik.

Baca juga: Dirty Vote or Dirty Election System?

Tidak hanya Kepolisian saja yang misgoverned, partai politikpun demikian. Oleh anggota partai politik di parlemen saat pergantian UUD45, melalui UUD2002 partai politik diberi kewenangan luas untuk memonopoli politik, padahal bukan lembaga negara. Pemilihan banyak pejabat publik harus melalui persetujuan partai politik melalui mekanisme fit and proper test oleh DPR. Sementara itu calon presiden hanya bisa dicalonkan oleh partai atau koalisi partai politik. Tekanan anggota Komisi 3 untuk reformasi kepolisian setelah kasus Sambo terbongkar boleh jadi hanya tontonan yang sedikit lebih seru daripada Drama Korea. Para politisi tidak mau sungguh-sungguh berubah karena sangat menikmati misgovernance ini. Melalui UU MD3, kita hanya akan mendapatkan demokrasi prosedural lontong sayur.

Komisi Pemberantasan Korupsi pun bagian dari misgovernanace ini. KPK bukan lembaga negara, tidak diatur oleh UUD2002, namun kini hampir menjadi lembaga permanen yang telah dijadikan instrumen kekuasaan. Bukan rahasia lagi kalau banyak anggota DPR yang menjadi pasien rawat jalan KPK. Kalau anggota DPR ini kritis pada pemerintah, maka akan segera dirawat inap di KPK atau recalled. Akibatnya banyak anggota DPR yang sakit gigi. Apalagi komisioner KPK sebagian diambil dari POLRI yang kini sedang kehilangan kepercayaan publik secara serius. KPK seharusnya adalah lembaga adhoc untuk membersihkan lembaga penegakan hukum, terutama kepolisian, dari mafia miras, judi, narkoba dan prostitusi. Kita lihat apakan KPK dalam waktu dekat ini berani muncul dalam kasus samboisasi polisi ini. Pembersihan polisi adalah mandat utama KPK waktu dibentuk dahulu. KPK perlu segera mengagendakan pemberantasan korupsi ditubuh POLRI dengan peta jalan dan target waktu yang jelas. Katakan 5 tahun. Setelah itu KPK boleh dibubarkan.

Baca juga: Pilpres 2024 Ini Rumit, Janggal, dan Mahal

Setelah DPR dan KPK dilemahkan, intervensi partai politik ke dunia perguruan tinggi juga telah menyeret perguruan tinggi negeri kedalam pusaran politik praktis. UU yang mengatur pendidikan tinggi saat ini rawan intervensi politik sehingga banyak rektor PTN yang harus melayani kepentingan politik praktis. Mestinya perguruan tinggi dan kepolisian harus mengabdi pada negara, bukan pada pemerintah yang silih berganti agar tidak menjadi alat kekuasaan. Banyak kampus kini gamang menempatkan dirinya sebagai benteng nurani terakhir bangsa ini pada saat rektornya hanya menjadi kaki tangan menteri. Banyak politisi yang mengejar gelar akademik kehormatan, sampai jabatan guru besar kehormatan pun diciptakan.

Kini jelas bahwa akar dari kesalahan tata kelola bernegara ini adalah penggantian UUD45 menjadi UUD2002 yang telah salah memposisikan partai politik untuk memonopoli politik secara radikal tanpa akuntabilitas yang jelas. Banyak organisasi masyarakat yang dilumpuhkan penguasa dengan alasan yang direkayasa, sementara tokoh-tokohnya ditangkapi. Pada saat tuntutan Reformasi Total Polisi makin keras, patutlah diingat nasehat Prof. Noam Chomsky bahwa organisasi yang paling berbahaya di planet ini adalah Partai Republik AS, bukan AlQaeda, atau ISIS, apalagi HTI atau FPI.

Baca juga: Pilpres Ala UUD 2002: Akibatkan Penguasa Jumawa?

Gunung Anyar, 28/8/2022

Editor : Pahlevi

Politik
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru