[caption id="attachment_19035" align="aligncenter" width="150"] Oleh: Ruby Kay[/caption]
Optika.id - Keberadaan Pertashop mulai menjamur dan tumbuh subur diwilayah pedesaan. Dengan adanya Pertashop, tak perlu khawatir kehabisan BBM saat sedang berkendara. Karena di desa yang letaknya jauh dari ibukota kabupaten pun kini sudah tersedia SPBU mini.
Baca juga: Belajar Makna Tanggung Jawab dari Pemerintah Inggris
Di satu sisi, keberadaan Pertashop menjamin ketersediaan BBM berkualitas. Konsumen tak perlu khawatir akan BBM oplosan, karena bahan bakar yang dijual oleh Pertashop didistribusikan langsung oleh truk tanki Pertamina.
Namun Pertamina sebagai pihak yang mengontrol distribusi BBM membuat kebijakan, Pertashop hanya menjual Pertamax. Mau tak mau warga desa mesti mengisi kendaraan bermotor yang mereka miliki dengan Pertamax.
[caption id="attachment_39423" align="aligncenter" width="525"] Motor petani sawit.[/caption]
Saat blusukan diwilayah Sumatera Selatan kemarin, sering melihat petani sawit, kopi dan karet mengisi BBM di Pertashop. Kendaraan roda dua yang sudah dipreteli dan dimodifikasi itu disebut sebagai gerandong. Dengan motor itulah para petani pergi keladang di pagi hari. Ketika pulang mereka biasanya membawa beberapa karung hasil produk pertanian yang diikat dibagian belakang atau ditaruh dibagian muka kendaraan.
Gerandong sudah jamak dimiliki oleh para petani di desa. Asal muasalnya motor bebek atau matic seperti Honda Supra, Honda Beat atau Yamaha Mio. Karena medan yang harus dilalui untuk pergi keladang adalah jalanan yang becek dan berlumpur, maka warga desa mencopot semua bodi motor, hingga tinggal menyisakan lampu depan dan kerangkanya saja. Kendaraan roda dua itu juga sengaja ditinggikan menyerupai motor trail, ban diganti dengan tipe yang cocok untuk melibas medan terjal, jalan berlumpur atau bebatuan.
Motor gerandong menjadi tunggangan sehari-hari para petani. Penghasilan mereka jauh lebih kecil daripada masyarakat perkotaan. Rata-rata tak miliki smartphone, berpenghasilan 1-2 juta per bulan. Hiburan mereka ya televisi. Tontonannya sinetron dan acara-acara tak mendidik yang marak diputar oleh stasiun televisi swasta.
Baca juga: Persidangan Sambo dan Misteri Pembunuhan 6 Orang Laskar FPI di KM 50
Berpenghasilan minimalis, namun para petani yang hidup sangat sederhana itu dipaksa untuk membeli Pertamax. Yang bikin heran, ratusan petani telah gue wawancarai, tapi tak ada satupun yang mengeluh tentang mahalnya harga Pertamax. Keluhan mereka hanya seputar infrastruktur dan harga jual komoditas yang dirasa terlalu murah.
Karena sudah dimodifikasi, konsumsi BBM motor gerandong itu tentunya boros. Estimasi gue, setiap hari gerandong menghabiskan 1 liter Pertamax. Jika 26 hari kerja dan harga 1 liter pertamax Rp14.500, maka dalam sebulan para petani mesti menyediakan budget sekitar 380 ribu rupiah untuk BBM.
Lalu berapa penghasilan rata-rata para petani dipedesaan? Anggaplah sehari mereka mendapat income sebesar 70 ribu. Dalam sebulan 1,8 juta rupiah. Secara rasio, sekitar 20ri penghasilan rata-rata petani setiap bulan dihabiskan untuk membeli Pertamax.
Dengan sisa penghasilan kurang lebih 1,5 juta itulah para petani menghidupi keluarganya. Hidup mati mereka bergantung pada fluktuasi harga jual komoditas pertanian. Tahun 2010 adalah era keemasan para petani karet di Indonesia. Kala itu getah karet dihargai 45 ribu rupiah per kilogram.
Baca juga: Langkah Anies di Antara Politisi Tua
Namun kejayaan itu sudah 12 tahun berlalu, setelah itu harga karet tak pernah melonjak lagi. Kini cuma dihargai 8 ribu. Sudah begitu mereka dipaksa pula untuk membeli BBM jenis Pertamax.
Inilah yang dinamakan kedzholiman, tak ubahnya praktik romusha di jaman Jepang. Gue ngerti hidup lu mewah, tapi sisakanlah sedikit empati untuk merasa derita orang-orang susah. Lagipula Allah SWT tak menciptakan manusia hanya untuk beribadah, tapi juga untuk mengasah kepekaan batiniah.
Editor : Pahlevi