[caption id="attachment_15157" align="aligncenter" width="150"] Oleh: Cak Ahmad Cholis Hamzah[/caption]
Optika.id - Sahabat saya Dr. Taufikurahman Saleh. SH, Msi adalah salah satu the living figure of NU atau tokoh senior NU Jawa Timur dan nasional. Ke NU annya Nekek bahasa Suroboyo nya atau benar-benar NU, bukan kader NU karbitan bukan pula kader NU kaleng-kaleng dan juga bukan orang luar NU karena kepentingan politik lompat ke NU menjadi pengurus Banser misalnya. Adik-adiknya memanggil nya Cak Opik dan para aktivis mahasiswa di Surabaya/Jawa Timur memanggilnya Cak O.
Baca juga: Suriah Jatuh
Pengalaman politiknya panjang karena pernah menjadi ketua Ansor Jawa Timur, menjadi petinggi di DPRD Surabaya dari fraksi PPP, DPRD Jatim dari PKB dan DPR pusat juga dari PKB. Kalau dihitung pengalaman politiknya ini mungkin lebih dari 25 tahun.
Sebagai the living figure di NU, cak O sangat faham dinamika up an down- nya NU (dan PKB) dimasa Orde Baru sampai sekarang. Menjadi saksi bagaimana permainan money politic di belantika politik daerah maupun nasional. Keahliannya di bidang politik dan NU sebenarnya menurun dari almarhum bapaknya KH. Mohammad Saleh seorang tokoh penting NU dan Ansor di Jawa Timur pada era tahun 60 an.
Selain di NU, Ansor dan PKB Cak O adalah salah satu penggagas berdirinya Lembga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya bersama-sama dengan almarhum Pak Thalib SH dan Prof. Zaidun (mantan dekan FH UNAIR). Di LBH dia juga dikenal sebagai mentor para pengacara muda di LBH Surabaya seperti almarhum Munir, Hendro, Poengky Indarti (sekarang di Kompolnas) dan Deddy Prihambudi.
Cak O yang usianya sepantaran (se angkatan) dengan mantan presiden SBY itu boleh dibilang hampir setiap hari menelpon saya untuk berdiskusi current issues dan meminta masukan saya sesuai dengan latar belakang pendidikan saya dibidang ekonomi misalnya kenapa inflasi di AS dan Eropa tinggi, apa dampak Inggris keluar dari Uni Eropa, apa dampak sanksi AS terhadap Rusia karena menyerang Ukraina, apa pengaruh perang dagang AS dan Cina terhadap perekonomian Indonesia dsb dsb. Dia tidak tertarik mendiskusikan kasus Irjen Sambo yang penuh rekayasa itu.
Namun beberapa hari lalu saya dibuat terkejut ketika telpun tidak seperti biasanya berdiskusi masalah ekonomi dan politik nasional maupun internasional; cak O mengutarakan pengakuan sikap nya bahwa saya akan mati-matian mendukung Anies Baswedan menjadi calon presiden 2024. Alasan dia karena semua figur yang mencalonkan atau disebut-sebut menjadi calon presiden 2024 seperti Ganjar Pranowo, mbak Puan, pak Prabowo, Gus Muhaimin, Ridwan Kamil dsb belum setara bila dibandingkan dengan Anies yang terkenal smart dan diterima tokoh-tokoh internasional.
Baca juga: Lagi-Lagi Soal Komunikasi
Lalu kami terlibat dalam debat karena saya mengatakan bahwa sikapnya atau hipotesanya itu harus diuji (must be tested). Karena itu saya mengajukan sanggahan dan pertanyaan yang berdasarkan real politik bukan narasi normatif; misalnya sak pinter-pinternya Anies, dia tidak punya kereta tunggangan politik; bukankah sistim ambang batas (threshold) yang 20% itu menyulitkan Anies untuk maju menjadi capres kalau tidak ada parpol pendukung; bukanhkah Anies yang dikenal pandai berbahasa Inggris itu hanya diketahui kaum menengah keatas yang memiliki akun FB, WA, Instagram dan Twitter, sementara jutaan traditional voters seperti jamaah semaan Al Quran anggota NU di grassroot tidak tertaris pada kepintaran tokoh berbahasa asing tahunya hanya tokoh yang pula latar belakang NU seperti seorang Gus. Saya juga menuduh dia mendukung Anies karena sama-sama alumni HMI (Cak O tahun 1977 an menjadi Ketua HMI Cabang Surabaya); bukankah isu HMI di kalangan NU itu masih sensitif, misalkan masih banyak tokoh NU Jatim yang kurang sreg dengan hasil Muktamar NU yang memiilih KH. Yahya Staqub karena latar belakang HMI nya ketika kuliah di UGM. Mereka lebih sreg kalau ketua PB NU itu dari PMII organisasi mahasiswa dibawah NU.
Cak O menjawab debat saya dengan mengatakan bahwa sikap dia mati-matian mendukung Anies itu tidak ada hubungannya dengan koneksi HMI; dia juga sangat paham soal implikasi sistem thereshold 20%, dia pun faham soal elektabilitas Anies di grassroot NU belum kuat. Cak O menambahkan bahwa sikapnya itu bukan soal Kalah vs Menang, bukan Anies harus punya tunggangan parpol, tapi sikapnya itu merupakan ikhtiar edukasi kepada masyarakat terutama masyarakat NU untuk bagaimana cerdas memilih seorang figur pemimpin yang dibutuhkan bangsa Indonesia dalam menghadapi persoalan yang jauh lebih kompleks. Cak O tidak menginginkan pemilih tradisional NU itu hanya Norok Buntek bahasa Madura yang bermakna ikut-ikutan saja atau dalam bahasa Inggris just following the crowd. Masyarakat harus di lengkapi dengan informasi yang cerdas dan tepat.
Cak O mengatakan bahwa sebagai kader NU tulen dia menghormati para Kiai beserta keluarganya, namun dalam hubungannya dengan NU dia lebih memilih soal integritas bukan soal keturunan. meskipun dia seorang Gus, tapi tidak berhidmat kepada NU maka dia bukan tokoh yang harus dipilih kata dia. Dalam hubungan dengan soal ini Cak O dikenal sebagai pembela bagi sahabatnya almarhum KH. Hasyim Muzadi mantan Ketua PBNU ketika banyak orang NU yang tidak sepaham dengan almarhum melontarkan sindiran bahwa KH. Hasyim Muzadi itu kiai Nasib bukan Kiai Nasab; maknanya nasibnya saja yang menjadikan dia seorang kiai bukan karena nasabnya (keturunan). Cak O menilai KH. Hasyim Muzadi memiliki integritas NU yang tinggi karena lebih dari 40 tahun waktunya dipersembahkan kepada NU mulai dari menjadi aktivis IPNU, PMII, Ketua PWNU Jatim dan terakhir Ketua PBNU.
Baca juga: Kita Harus Paham DNA Media Barat
Saya menghela nafas mendengarkan alasan-alasannya itu dengan mengatakan Fik (saya memanggilnya) you are all alone atau kamu sendirian dalam bersikap seperti ini dan kamu melawan arus terutama masyarakat NU. Tapi nampaknya Cak O bergeming dengan sikapnya dalam upaya memberikan edukasi polittik kepada masyarakat tentang pencalonan Anies Baswedan menjadi capres 2024 dengan menggunakan filsafat Suroboyoan (kami berdua asli Surabaya) yaitu Kalah Menang Cacak atau Kalah atau menang di coba dulu.
Sebelum saya menulis tulisan ini, saya minta ijin Cak O untuk menulis sikapnya dalam bentuk artikel; cak O mengatakan silahkan biar masyarakat luas tahu).
Editor : Pahlevi