[caption id="attachment_19035" align="aligncenter" width="150"] Oleh: Ruby Kay[/caption]
Optika.id - Pernikahan Aisyah RA dengan Nabi Muhammad SAW, hingga sekarang sering menjadi olok-olokan banyak pihak. Aisyah binti Abu Bakar dinikahkan pada usia 6 tahun dan tinggal serumah dengan baginda Rasulullah pada usia 9 tahun. Begitulah riwayat yang dijumpai pada banyak hadits, diaminkan oleh mayoritas ulama.
Baca juga: Persidangan Sambo dan Misteri Pembunuhan 6 Orang Laskar FPI di KM 50
"Tinggal serumah" bisa diartikan telah terjadi hubungan suami istri. Kuat dugaan bahwa di usia 9 tahun, Aisyah RA telah mengalami siklus menstruasi. Jadi, bisa diambil konklusi bahwa saat dinikahi pada usia 6 tahun, Aisyah RA tidak serta merta langsung merasakan malam pertama. Nabi Muhammad SAW sebagai pengantin pria mesti menunggu selama 3 tahun hingga istrinya itu telah mengalami siklus menstruasi. Secara ilmu biologi, perempuan yang telah mengalami haid berarti rahimnya sudah memproduksi sel telur yang siap dibuahi oleh sperma laki-laki.
Namun, tanpa memperhatikan konteks ruang dan waktu, diselimuti oleh pemikiran yang dangkal, para pembenci islam langsung memberi stempel kalau pernikahan Nabi Muhammad SAW dan Aisyah RA tadi adalah sesuatu yang menjijikkan. Rasulullah dicap sebagai phedophil karena telah melakukan hubungan seksual dengan anak kecil.
Celakanya, orang-orang muslim juga masih banyak yang kebingungan saat disodorkan dengan pernyataan melecehkan tersebut. Bingung mau menjawab apa, akhirnya cuma bisa terdiam, marah-marah, balik memaki atau menyebutnya sebagai penistaan agama.
Sudah menjadi kewajiban bagi seorang muslim untuk bisa menjawab segala tuduhan terhadap baginda Rasulullah secara komprehensif. Karena adakalanya juga orang-orang yang awalnya berniat melecehkan ajaran islam, sedetik kemudian bisa tercerahkan. Kembali pada ummat islam sendiri, mampu gak kita menghadirkan jawaban yang logis dan masuk akal.
Ada empat faktor yang mesti diperhatikan saat membahas pernikahan Nabi Muhammad SAW dan Aisyah RA, yaitu:
1. Konteks pewahyuan, perintah dari Allah SWT
Aisyah RA digolongkan sebagai perempuan yang memiliki kadar intelektualitas diatas rata-rata. Saat menjadi istri Nabi Muhammad SAW, ia meriwayatkan 2210 hadits yang menjadi rujukan ummat islam hingga kini. Aisyah RA menjadi periwayat hadits terbanyak ke-4 setelah Abu Hurairah RA, Abdullah bin Umar Al Khattab RA dan Anas bin Malik RA.
Apa jadinya jika Rasulullah tidak memperistri Aisyah RA? Bisa jadi ummat islam akan kebingungan dalam melaksanakan peribadatan. Tata cara berwudhu sebelum melaksanakan sholat bersumber dari Aisyah RA. Sebagai salah satu istri Rasulullah, ia melihat dan mengamati prilaku suaminya lalu diingat.
Harap dicatat, tak semua istri dan para sahabat memiliki daya ingat yang tinggi. Umar bin Khattab RA bisa dikatakan jujur, tegas, pemberani. Tapi beliau tidak diberkahi kemampuan mengingat sekaliber Aisyah RA
Allah SWT maha tahu dan berkuasa penuh atas segala hal. Untuk menyebarkan ajaran islam, Nabi Muhammad SAW yang buta huruf itu dibantu oleh istri dan para sahabat dengan kemampuan serta pesona yang beragam. Ada yang kaya raya seperti Ustman bin Affan dan Abdurrahman bin Auf, turunan bangsawan disegani seperti Khadijah binti Khuwailid, cerdas seperti Aisyah binti Abu Bakar, cantik jelita seperti Syafiyah binti Huyay, tegas, jujur dan adil seperti Umar bin Khattab, pemberani dimedan perang seperti Ali bin Abi Thalib dan Khalid bin Walid.
Karena kecerdasan yang ditunjukkan oleh Aisyah RA itulah Allah SWT memerintahkan Nabi Muhammad SAW untuk segera mempersunting anak Abu Bakar Asy Shiddiq itu sebelum didahului oleh pembesar suku Quraisy yang lain. Sang Khalik tahu bahwa Aisyah RA memiliki potensi kecerdasan yang bisa dimanfaatkan untuk merawat dan membesarkan ajaran islam. Sebagai istri, Aisyah RA sering menghabiskan waktu bersama dengan Rasulullah. Ia melihat cara Nabi berwudhu, melihat cara Nabi melaksanakan sholat fardhu, melihat Nabi makan dan minum, melihat cara Nabi bersuci dari hadats besar dan kecil, melihat Nabi tertidur, melihat cara Nabi menunaikan sholat tahajud dan lain sebagainya.
2. Konteks ayat dalam Al Qur'an
Apakah Al Qur'an melarang menikahi gadis muda belia? Tidak. Karena jaman dulu kala, yang demikian itu sudah jamak terjadi diseluruh peradaban yang ada didunia. Bahkan sudah menjadi fenomena biasa sejak jaman Yunani dan Mesir kuno.
Al Qur'an telah eksis dari 1400 tahun yang lalu. Ayat-ayat didalamnya kita percayai tidak mengalami perubahan sejak diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW hingga saat ini. Namun saat membacanya, mohon disesuaikan dengan konteks ruang dan waktu.
Allah SWT berfirman dalam surat At Talaq ayat 4-5:
"Perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (menopause) di antara istri-istrimu jika kamu ragu-ragu (tentang masa idahnya) maka idahnya adalah tiga bulan;
dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid.
Sedangkan perempuan-perempuan yang hamil, waktu idah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.
Dan barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia menjadikan kemudahan baginya dalam urusannya"
Surat At Talaq ayat 4 dengan sangat jelas menyatakan bahwa perempuan-perempuan yang tidak atau belum mengalami haid, masa idahnya adalah 3 bulan. Tafsir Ibnu Katsir secara gamblang menjelaskan bahwa ayat ini ditujukan untuk mengatur masa idah (minimal masa tunggu untuk menikah lagi) kaum perempuan saat dicerai oleh suaminya. Baik wanita menopause maupun yang belum mengalami siklus menstruasi mesti diberi masa jeda 3 bulan. Baru setelah itu boleh dinikahi oleh pria lain.
Surat At Talaq ayat 4 secara eksplisit menyatakan bahwa perkawinan seorang pria dengan gadis belia yang belum mengalami haid sudah jamak terjadi dijaman dulu. Ayat ini sendiri diwahyukan kala baginda Rasulullah mendapat pertanyaan dari salah seorang sahabat tentang masa idah perempuan menopause dan perempuan yang belum aqil baligh. Ternyata Al Qur'an memberi rentang waktu selama 3 bulan, sama dengan wanita yang masih mengalami siklus menstruasi.
Sebelum Al Qur'an diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW, perempuan yang baru saja diceraikan oleh suaminya bisa menikah kembali dengan pria lain beberapa hari kemudian. Hari ini diceraikan oleh pak Bejo, beberapa hari kemudian Wulan sudah menikah lagi dengan om Burhan. Dalam perspektif ilmu biologi, hal ini jelas bisa menimbulkan kebingungan. Apa jadinya jika perempuan yang baru diceraikan tadi tengah mengandung anak dari suami sebelumnya? Maka dari itu islam membuat aturan masa idah selama 3 bulan untuk memastikan janda tadi tidak dalam kondisi hamil saat menikah lagi dengan pria lain.
"Ah, kan bisa dicek dulu pake USG atau alat tes kehamilan bray. Dunia kedokteran sudah canggih, janda mau kawin gak perlu nunggu selama 3 bulan lagi"
Baca juga: Langkah Anies di Antara Politisi Tua
Nah, disinilah kesesatan berpikir sering terjadi. Membaca Al Qur'an namun hanya menyesuaikan dengan konteks waktu saat ini. Jangankan 1000 tahun yang lalu, diabad ke 19 saja alat tes kehamilan belum ditemukan. Maka dari itu agar nasab si jabang bayi diketahui, Allah SWT memberi aturan masa idah selama 3 bulan.
3. Konteks antropologi
Al Qur'an menjelaskan konsep masa idah untuk gadis belia yang belum mengalami siklus menstruasi. Ini berarti menikahi perempuan usia 6-12 tahun dijaman dulu menjadi fenomena jamak yang tidak hanya terjadi di jazirah arab, tapi juga dipraktikkan oleh suku bangsa yang hidup di benua afrika, eropa, asia dan amerika.
Jika kita membaca sejarah kerajaan-kerajaan eropa diabad pertengahan yang kala itu mayoritas memeluk agama katholik, pria menikah dengan gadis belia yang berusia dibawah 10 tahun adalah hal yang teramat biasa, direstui pula oleh gereja.
King David II adalah raja Skotlandia yang berkuasa selama 42 tahun (1329-1371). King David II merupakan raja yang fenomenal karena ditengah ancaman separatisme dan pemberontakan, ia berhasil mempertahankan monarki di Skotlandia.
King David II menikah kala usianya baru menginjak 4 tahun. Yang menjadi permaisuri adalah princess Joan. Ketika menikah dengan raja Skotlandia itu usia Joan baru 7 tahun. Mereka membina rumah tangga selama 34 tahun sebelum pada akhirnya Joan wafat karena wabah black death yang melanda benua eropa.
Princess Joan sendiri terlahir dari pasangan raja Richard II dari Inggris yang menikah dengan Isabella de la Valois, putri raja Charles VI dari Perancis. Saat mereka menikah, usia Richard II 29 tahun, sedangkan Isabella baru berusia 7 tahun.
Anak raja Inggris Edward IV yang bernama Richard of Shrewbury, bergelar first duke of york, menikah dengan Anne de Mowbray dari Norfolk ketika ia berusia 5 tahun.
Tahun 1473, Girolamo Riario, salah seorang keponakan Paus Sixtus IV, menikah dengan Caterina Sforza yang berumur 10 tahun. Sedangkan Girolamo saat itu telah berusia 30 tahun.
Raja Haakon VI dari Norwegia yang bertahta dari tahun 1340-1380, menikah dengan putri Raja Valdemar IV yang berasal dari Denmark. Mempelai perempuannya bernama Margrete Valdemarsdatter yang saat itu baru berumur 10 tahun. Sedangkan Raja Haakon VI saat menikah telah berusia 23 tahun.
Kalau mau dijabarkan satu per satu, ada ratusan kisah pernikahan dini yang terjadi dikalangan kaum bangsawan eropa abad pertengahan. Itu belum termasuk membahas perkawinan usia belia dijaman Romawi, Yunani dan Mesir kuno. Jangan lupa juga membaca sejarah dinasti-dinasti yang menguasai Tiongkok. Dimasa dinasti Ching, penduduk dari berbagai kasta sangat lumrah menikahkan anak perempuan mereka diusia 4-5 tahun.
Di Amerika Serikat sendiri, pernikahan dini malah dianjurkan oleh salah satu founding fathers, yaitu Benjamin Franklin. Yup, orang yang wajahnya diabadikan dalam uang pecahan 100 dollar itu dikenal sangat mendukung pernikahan diusia belia. Statementnya dimuat oleh koran Pensylvania tanggal 30 oktober 1789.
Baca juga: Kita, Orba dan Medali Emas Olimpiade Pertama
"By these early marriages, we are blessed with more children, and from the mode among us, founded by nature, of every mother suckling and nursing her own child, more of them are raised. Thence the swift progress of population among us, unparalleled in Europe"
Bisa dimaklumi jika pada saat itu Benjamin Franklin begitu ngotot menganjurkan perkawinan usia belia antara 10-13 tahun. Hal itu untuk meningkatkan populasi warga kulit putih Amrik yang masih sedikit. Karena luas wilayah mesti diimbangi dengan pertumbuhan jumlah penduduk.
4. Konteks psikologis perempuan jaman dulu
Kaum liberal dan pemuja paham feminisme sering berdalih bahwa perempuan yang dinikahkan diusia dini akan mengidap stress, tidak bahagia karena dilakukan dibawah tekanan dan ancaman.
Ujung-ujungnya, kembali mereka menyerang sejarah pernikahan Nabi Muhammad SAW dengan Aisyah RA, namun sengaja menutup mata akan sejarah pernikahan dini yang marak dilakukan oleh bangsawan eropa abad pertengahan. Ini namanya tendensius, subjektif, tidak fair dalam membaca sejarah.
Well, kembali lagi semuanya mesti dikaji dalam konteks ruang dan waktu. Bisa jadi sebagian perempuan yang dinikahkan diusia belia tadi merasa terpaksa. Tapi perlu dicatat bahwa Aisyah RA saat dinikahi Nabi Muhammad SAW dalam keadaan waras, tanpa paksaan atau tekanan dari pihak manapun. Begitu pula saat Fatimah RA dinikahi oleh Ali bin Abi Thalib diusia 12 tahun. Rasulullah sebagai ayah Fatimah membebaskan putrinya itu untuk memilih pria mana yang disukainya. Lamaran dari beberapa sahabat Nabi ia tolak. Namun saat Ali bin Abi Thalib melamarnya, Fatimah RA langsung menerima karena menyimpan getaran asmara.
Baik Aisyah RA, Fatimah RA maupun princess Joan istri David II raja Skotlandia menikah dalam usia belia. Tapi nyatanya mereka tak menjadi gila.
Tak ada catatan yang menjelaskan kalau Aisyah RA stress berat saat menjadi istri Nabi Muhammad SAW. Justru Aisyah RA menikmati waktu kebersamaannya bersama Rasulullah. Aisyah RA melihat, memperhatikan dan mengingat segala ucapan maupun prilaku suaminya.
Tak ada catatan yang meriwayatkan Fatimah RA menyesal dan stress berat karena laki-laki yang ia nikahi ternyata menafkahinya secara pas-pasan. Hasan dan Husein lahir dari rahim Fatimah RA, menambah semarak kehidupan keluarga mereka.
Princess Joan pun setia mendampingi suami hingga wabah penyakit merenggut nyawanya. Bahkan Joan mengikhlaskan suaminya untuk menikah lagi dengan Margareth Drummond. Yup, poligami juga menjadi hal yang teramat biasa dikalangan bangsawan Eropa abad pertengahan. Bahkan menjadi tak terkontrol, tak berprikemanusiaan, tanpa aturan, tanpa batasan.
Dan jika kita membaca Al Qur'an secara perlahan, dilandasi keinginan untuk menambah pengetahuan, sejatinya risalah islam hadir untuk meningkatkan derajat hidup kaum perempuan. Maha benar Allah dengan segala firman Nya.
Editor : Pahlevi