Mengapa Kembali ke UUD45?

Reporter : Seno
makna-pembukaan-uud-1945-lengka-20210907100613

[caption id="attachment_8824" align="aligncenter" width="150"] Oleh: Prof. Ir. Daniel Mohammad Rosyid, M.Phil., Ph.D., MRINA[/caption]

Optika.id - Saat komitmen bacapres Anies untuk kembali ke UUD45 dipertanyakan, pakar HTN Refly Harun mengatakan bahwa gagasan untuk kembali ke UUD45 naskah asli adalah keinginan besar tentara. Selanjutnya dia mengatakan bahwa persoalan Republik ini bukan soal rancangan UUD, tapi praktek nyata politik.

Baca juga: Piagam Jakarta 22/6/1945

Baik Orde Lama ataupun Orde Baru adalah bukti nyata bagaimama UUD45 ditafsirkan dan dipraktekkan sesuai agenda sesat Soekarno dan Soeharto. Ini pernyataan yang sulit dibantah, tapi menyembunyikan kesalahan yang berbahaya. Seperti MPR hasil reformasi bisa senaknya mengganti UUD45, restu Refly seperti mengatakan anak-anak boleh mempertanyakan status akad nikah ayah ibunya sendiri.

Pembentukan negara seperti dinyatakan dalam keseluruhan UUD45 adalah hasil kesepakatan agung para pendiri bangsa. Oleh Al Qur'an, negara itu disebut sebagai mitsaaqan ghaalithan, setara dengan aqad nikah. Kita boleh saja tidak suka dengan siapa ayah ibu kita, tapi kita sebagai anak hasil aqad nikah itu tidak punya pilihan kecuali menerima aqad nikah itu apa adanya.

Perubahan aqad bisa dilakukan dengan addendum untuk merespons dinamika disruptif global, regional dan nasional. Fitrah negara kepulauan bercirikan Nusantara dengan keragaman hayati dan budaya yang luar biasa, serta dengan bentang alam seluas Eropa ini meniscayakan pemerintahan maritim yang kuat serta desentralisasi.

Jika Prof. Kaelan UGM mengatakan bahwa sejak penggantian UUD45 menjadi UUD 2002 bangsa ini telah murtad, maka bisa dikatakan juga bahwa kita telah menjadi bastard yang lahir di luar nikah. Penting segera untuk disadari bahwa kehidupan kita bukan soal infrastruktur dan gedung-gedung megah pencakar langit serta pabrik-pabrik, tapi serangkaian jalinan janji-janji dan kesepakatan-kesepakatan. Begitulah kesetiaan pada janji dan kesepakatan para pemdiri bangsa itu merupakan nilai penting dalam kehidupan bersama yang ditandai kemajemukan. Bhinneka Tunggal Ika bukan sekedar slogan kosong, tapi amanah yang mensyaratkan kesetiaan.

Baca juga: Pilpres 2024: Katalis Kembali ke UUD45?

Praktek politik tidak bisa menjadi alasan mengapa UUD45 bisa diganti dengan UUD45. Jika UUD bisa diganti oleh MPR hasil Pemilu, maka kesesatan praktek politik akan selalu memperoleh pembenaran UUD melalui penggantian tersebut. Kita akan kehilangan norma-norma dasar negara. Ini berbahaya karena kita kehilangan pedoman. Jika setiap generasi boleh mengganti kesepakatan awal pendirian negara, maka kita seperti membangun rumah pasir yang tidak kunjung selesai. UUD45 bukan sekedar dokumen akademik, tapi ia adalah dokumen sejarah yang menjadi pondasi negara ini.

Sinyalemen bahwa kembali ke UUD45 adalan keinginan tentara adalah tidak benar. Dwi fungsi ABRI adalah praktek politik Orba seperti dwi fungsi polisi adalah praktek politik rezim Jokowi. Jika dwi fungsi ABRI adalah hasil tafsir Soeharto, banyak maladministrasi publik seperti dwi fungsi polisi adalah buah dari kesalahan tata kelola yang lahir dari UUD2002. Benar sinyalemen Prof. Sri Edi Swasono bahwa deformasi besar-besaran kehidupan berbangsa dan bernegara adalah fitur orde reformasi yang paling nyata. Contoh mutakhir maladministrasi publik adalah bagaimana pemerintah memberikan HGB 160 tahun untuk menarik investor IKN.

Kembali ke UUD45 adalah pertobatan dari kemurtadan dan kebastardan bangsa ini. Hingga itu terjadi maka semua kehidupan berbangsa dan bernegara yang tercengkram bandit, bandar dan badut politik saat ini adalah ekspresi para munyuk yang terkutuk.

Baca juga: Dirty Vote or Dirty Election System?

Ngawi, 8 Oktober 2022.

Editor : Pahlevi

Politik
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru