[caption id="attachment_15157" align="aligncenter" width="150"] Oleh: Cak Ahmad Cholis Hamzah[/caption]
Optika.id - Fanatisme dalam olahraga sepakbola sudah menjadi fenomena global dan fanatisme sepak bola adalah salah satu subkultur paling populer di dunia. Dengan asal-usulnya di Eropa dan sekarang tersebar di seluruh dunia, fanatisme sepak bola memiliki jumlah pengikut yang sangat besar. Popularitas sepak bola terus meningkat.
Baca juga: Keluarga Korban Tragedi Kanjuruhan Menyesalkan Tidak Ada Siaran Langsung Proses Peradilan
Kenaikan tersebut merupakan hasil dari peningkatan pertandingan dan pesaing profesional. Karakteristik-karakteristik ini, dikombinasikan dengan hasrat yang meluas untuk permainan, membuat fanatisme sepak bola menjadi topik studi yang menarik bagi para akademisi di berbagai disiplin. Meskipun asalnya adalah Eropa, meningkatnya popularitas sepak bola selama bertahun-tahun telah menjadikannya fenomena global. Oleh karena itu, ia hadir di semua benua besar.
Fanatisme di olahraga ini saking mendarah dagingnya di masyarakat sampai ada yang menyamakannya dengan fanatisme terhadap agama. Dulu di Inggris muncul frasa guyonan (candaan) bahwa di Inggris itu ada tiga agama besar, yang pertama Queen (sekarang King) of England, kedua Church of England dan ketika Sepakbola.
Fanatik muncul dari budaya lain, seperti kebangsaan dan wilayah. Para pemuja juga memiliki kepercayaan khas yang unik untuk sub-budaya. Salah satu fitur khas dari subkultur adalah bahwa itu adalah fungsi dukungan besar dari orang-orang yang mengasosiasikan diri mereka dengan kelompok peserta profesional tertentu. Juga, tidak seperti di sub-budaya lain, fanatik dari tim tertentu dapat berasal dari budaya yang berbeda.
Banyak studi menjelaskan bahwa fanatisme sepak bola berasal dari Inggris. Sub-budaya bangkit bersama dengan munculnya sepak bola pada tahun 1300-an (Hodges 411). Pemain sepak bola berkumpul dalam tim sesuai dengan desa asal mereka.
Mereka bermain melawan tim-tim dari kota lain. Namun, permainan itu terbelakang dalam berbagai aspek dibandingkan dengan statusnya saat ini. Seringkali, terjadi kekacauan dan kekerasan setelah beberapa tim dikalahkan. Para fanatik sering menyebabkan kehancuran besar-besaran baik di dalam maupun di luar stadia sepak bola. Fanatisme hooligan berlanjut selama aturan mainnya tidak mencukupi.
Demografi fanatisme sepak bola juga telah berubah selama bertahun-tahun. Sangat penting untuk dicatat bahwa fanatik sepak bola di zaman modern adalah pria dan wanita. Gender, maskulinitas, dan kelas, bagaimanapun, merupakan penentu signifikan populasi dalam subkultur.
Fenomena fanatisme sepakbola juga melanda di Indonesia sejak lama bahkan menimbulkan gesekan antara para pendukungnya. Suporter Persebaya Surabaya misalnya rival utamanya itu bukanlah Arema tapi Persija Jakarta dan rivalitas ini terjadi sejak tahun 1950 an. Pada waktu itu kesebelasan utama nasional di Indonesia hanyalah Persija Jakarta, Persib Bandung, Persebaya Surabaya, PSM Makasar dan PSMS Medan. Klub-klub lain di luar klub utama itu belum ada.
Baca juga: Terdakwa Tragedi Kanjuruhan, Panpel dan Security Officer Tak Ajukan Eksepsi
Adapun rivalitas suporter Arema dan Persebaya sebenarnya muncul tahun 1995 an. Persebaya didirikan pada tahun 1927 dan Arema tahun 1987. Ada yang mengatakan bahwa rivalitas itu lahir karena persaingan antara Persebaya dan Persema Malang; ketika Arema didirikan masyarakat Malang beralih mendukung Arema.
Fanatisme sepak bola adalah bagian dari masyarakat. Dalam aspek negatif, beberapa ekstremis olahraga mengganggu orang lain dan mempengaruhi kehidupan mereka ketika mereka terlibat dalam fisik. Beberapa masalah mendesak yang terkait dengan hal yang sama adalah cedera fisik, kematian, intimidasi verbal, dan kepahitan antar-pribadi.
Namun fanatisme sepakbola itu bisa juga menimbulkan efek positif misalkan bisa memberdayakan UMKM dalam memproduksi merchandise masing-masing klub, memunculkan kreativitas kerumunan dalam bentul lagu lagu mars suporter, harmonisasi gerak para suporter di stadium, kegiatan bersama sosial misalnya menyantuni anak yatim, terlibat dalam pemberdayaan pendidikan rakyat kecil dsb.
Insiden stadion Kanjuruhan Malang tanggal 1 Oktober 2022 lalu banyak memberikan pelajaran yang berharga baik dari segi pengelolaan pertandingan, pengelolaan arus lalu lintas, pengelolaan stadion, pengelolaan aspek keamanan dsb.
Gugurnya lebih dari 130 suporter dan ratusan luka-luka akibat tembakan gas air mata pihak keamanan yang diluar standar operating procedure menyebabkan fanatisme sepakbola yang chauvinistic berubah menjadi fanatisme empati dari suluruh pecinta sepakbola ditanah air bahkan di beberapa negara di dunia. Semuanya menyelenggarakan doa bersama untuk ratusan jiwa korban insiden itu. Yang dulunya menjadi rival bebuyutan sekarang bersatu bersama karena memiliki rasa empati yang tinggi.
Baca juga: PN Surabaya Cegah Aremania Datang Saat Sidang Tragedi Kanjuruhan
Konflik bersenjata yang berkepanjangan antara TNI dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) berhenti karena terjadi bencana tsunami yang menewaskan lebih dari 200.000 orang, menghancurkan desa dan kota, meninggalkan kepedihan. Kejadian yang menyedihkan itu kemudian memunculkan persatuan dengan ditandatangani pernjanjian perdamaian di Helsinki pada tanggal 15 Agustus 2005.
Tentu kita tidak menyamakan insiden di Malang itu dengan pemberontakan di Aceh, namun insiden di stadion Kanjuruhan itu seperti bencana tsunami Aceh harus dapat mempersatukan seluruh suporter sepakbola di nusantara ini. Fanatisme sepakbola yang bersifat kedaerahan harus bisa berubah menjadi fanatisme demi Republik Indonesia.
Semoga.
Editor : Pahlevi