Optika.id - Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) menyatakan bahwa telah terjadi tindak kelalaian dari instansi negara yang berwenang di bidang administrasi yakni impor dan edar, hingga obat sirop anak menyebabkan gangguan ginjal akut beredar.
Menurut PBHI, obat yang menyebabkan bencana besar tersebut seharusnya tidak lolos penyaringan, apalagi memperoleh izin edar sebab menimbulkan dampak yang fatal.
Baca juga: Kesempatan Emas! Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat Buka Lowongan
Ketua PBHI, Julius Ibrani mengatakan jika masalah muncul dari segi administrasi yang bercabang lagi menjadi dua aspek. Yakni administrasi impor dan distribusi (edar). Dari kasus ini pihaknya melihat pemerintah tidak mengetahui ada obat sirop yang dinyatakan illegal. Artinya, obat tersebut telah melewati keseluruhan proses mulai dari izin impor, pengujian laboratorium, dan izin edar.
Sementara itu, dia menyoroti kewenangan administrasi impor yang berada di tangan Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian. Sedangkan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) berwenang dalam registrasi obat dan ijin edarnya.
Kemudian, dari konteks birokrasi administrasi tersebut, timbul korban sakit dan meninggal yang tidak sedikit serta cakupan wilayah geografis korban yang tersebar di berbagai wilayah. Maka dari itu, Julius menyimpulkan jika bencana obat sirop ini terjadi secara sistematis.
Adanya kelalaian negara secara sistematis maka jadi basis pertanggungjawaban negara secara holistik, katanya dalam keterangan tertulis, Kamis (27/10/2022).
Pihaknya menegaskan jika bentuk kelalaian yang menimbulkan korban gagal ginjal, bahkan hingga meninggal ini harus dipertanggungjawabkan di hadapan hukum secara pidana sebagaimana Pasal 359 dan 360 KUHP dan spesifik pada Pasal 196 UU 36 Tahun 2009. Pemidanaan, kata Julius, juga bersifat setara dan wajib dikenakan terhadap swasta.
Julius juga mencurigai kemungkinan adanya dugaan kongkalikong yang mengarah pada tindak pidana korupsi dari sektor administrasi, mekanisme perizinan serta pengawasan. Hal ini berdasarkan kondisi sistematis dari bencana obat sirop yang seolah didukung oleh lumpuhnya struktur negara.
Hal inilah yang dinilainya bisa jadi pintu masuk bagi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk melihat aspek spesifik.
Pecat Yang Terlibat
Baca juga: BPOM RI Buka Lowongan Kerja Terbaru untuk Lulusan D3/S1, Yuk Daftar!
Dirinya juga menjelaskan bahwa pemeriksaan dan penindakan oleh instansi negara yang terlibat dalam kasus tersebut, yakni sektor administrasi dan perizinan juga memiliki potensi terjadinya konflik kepentingan, sebab kasus ini seolah membuat mereka memeriksa perbuatan diri sendiri.
Maka dari itu, dia meminta agar Presiden Joko Widodo (Jokowi) memastikan pejabat negara yang terlibat bersedia bertanggungjawab kemudian segera dipecat agar tidak terjadi lempar tanggung jawab di pihak swasta saja.
Pasalnya, kelalaian yang menyebabkan kematian sudah jadi basis kuat terlanggarnya asas umum pemerintahan yang baik dalam konteks ketatanegaraan.
Tak hanya pemidanaan terhadap pejabat negara yang terlibat saja, pemulihan hak korban secara perdata seperti pembiayaan, pengobatan, pemakaman, hingga kompensasi bagi keluarga korban juga harus menjadi perhatian yang khusus.
Pertanggungjawaban perdata juga wajib diterapkan kepada swasta, termasuk restitusi (Pasal 2 dan 3 PP No. 43 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi bagi Anak) dan pemenuhan hak korban yang hilang akibat perbuatan swasta. Tidak hanya itu, swasta juga dapat dikenakan sanksi administratif pencabutan ijin sebagaimana Pasal 188 UU 36 Tahun 2009.
Negara juga bertanggung jawab penuh pada Hak Anak, sebagaimana Konvensi Hak Anak Tahun 1989, UU No. 23 Tahun 2002 jo. UU No. 35 Tahun 2014 jo. UU No. 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak, dan lainnya.
Baca juga: Jangan Asal Pilih! Ini Bedanya Jamu dan Obat Fitofarmaka
Berangkat dari jaminan terhadap hak anak, maka keluarga korban dapat menuntut pemulihan hak kepada negara, termasuk melalui upaya hukum gugatan dan lainnya. Mengingat lambatnya negara dalam merespon kerugian dan kebutuhan korban, ujar Julius.
Sebagai informasi, hingga 23 Oktober 2022, sekitar 245 anak mengalami gagal ginjal di 26 provinsi, dan 141 anak meninggal akibat mengkonsumsi obat sirop dengan kandungan tinggi Etilen Glikol (EG) dan Dietilen Glikol (DEG).
Reporter: Uswatun Hasanah
Editor: Pahlevi
Editor : Pahlevi