Optika.id - Kepala Instalasi Farmasi RSUP Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo, Rina Mutiara menjelaskan bahwa saat ini masyarakat masih bingung bedanya obat fitofarmaka dengan jamu.
Menurut Rina, ramuan jamu tidak sama dengan obat-obatan fitofarmaka lantaran penggunaan jamu tidak memerlukan studi khusus dalam proses produksi dan hanya berdasarkan resep turun temurun saja. Sedangkan obat-obatan fitofarmaka harus melalui proses studi dan uji klinik terlebih dahulu.
Baca Juga: DPR Minta BPOM Tak Hanya Tarik Daftar Obat Berbahaya, Harus Ada Solusi Efektif
"Ini masih membingungkan bagi masyarakat Indonesia karena kenyataannya masyarakat masih belum memahami sepenuhnya. Masyarakat beranggapan jamu adalah obat, padahal ada perbedaan mendasar antara jamu dan fitofarmaka dalam dunia medis," kata Rina dalam keterangannya, dikutip Optika.id, Minggu (31/12/2023).
Sementara itu, fitofarmaka merupakan sediaan obat bahan alam yang telah dibuktikan keamanannya serta khasiatnya secara ilmiah dengan diuji terlebih dahulu berupa uji pra-klinik, dan uji klinik. Serta bahan baku, dan produknya terstandarisasi.
Sebagian masyarakat Indonesia, sebut Rina, masih cenderung mengandalkan pengobatan tradisional dan kerap terjadi ketidakcocokan antara pemahaman tradisional dan ilmiah terkait dengan fitofarmaka.
Kendati demikian, penggunaan fitofarmaka menurut Rina tetap dapat melibatkan aspek sosial dan budaya yang perlu dipertimbangkan. Utamanya menyangkut keyakinan lokal dan praktik tradisional.
Baca Juga: Ini Cara Atasi Nyeri Menstruasi Tanpa Obat
Dalam keterangan tersebut, sejauh ini Rina menuturkan bahwa pihak Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) telah mengeluarkan sebanyak 24 jenis obat fitofarmaka di Indonesia antara lain obat diare, obat imunomodulator, obat tukak lambung, obat antihipertensi, obat antidiabetes, obat pelancar sirkulasi darah, dan obat untuk hipoalbumin.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Di Indonesia, sambung Rina, penggunaan fitofarmaka harus mengacu pada standarisasi dan kualitas yang bervariasi berdasarkan asal tanaman, formulasi, dan metode pengolahan itu sendiri.
Di sisi lain, fitofarmaka mempunyai tantangan tersendiri terkait pencarian bahan baku yang berkualitas tinggi khususnya dalam hal konsistensi kandungan senyawa aktif serta meminimalisasi kontaminan.
Baca Juga: Bisakah Atasi GERD Tanpa Konsumsi Obat? Simak Caranya!
"Fitofarmaka sering kali diproduksi dalam bentuk tradisional dan konsistensi produk bisa menjadi masalah. Perlu diatasi dengan standardisasi proses produksi untuk memastikan keefektifan dan keamanan," kata dia.
Lebih lanjut, Rina menyebut bahwa interaksi obat fitofarmaka dengan obat-obatan konvensional seringkali belum sepenuhnya dipahami. Pasien umumnya menggunakan lebih dari satu jenis obat sehingga risiko interaasi obat antara fitofarmaka dan obat-obatan konvensional harus bisa dipahami dengan baik.
Tantangan terbesar adalah masalah regulasi, standardisasi, dan keamanan. Diperlukan regulasi yang jelas untuk mengatur produksi, distribusi, dan penggunaan fitofarmaka. Ini mungkin tidak dapat sepenuhnya menggantikan terapi konvensional, namun dapat menjadi tantangan terutama dalam kasus penyakit kronis atau serius, pungkas Rina.
Editor : Pahlevi