Optika.id Analisis pengamat politik dari Universitas Trunojoyo, Bangkalan, Madura, Mahmud, S.IP, MSi tentang pemilu 2019 adalah pemilu kompleks dan berdarah-darah. Arti berdarah-darah karena banyak pelaksana pemilu di tingkat bawah, seperti anggota PPK (Panitia Pemilihan Kecamatan) dan atau TPS (Tempat Pemungutan Suara) yang mati. Mereka meninggal dunia karena bekerja terlalu payah dan mendadak kumat sakitnya sehingga wafat.
Kematian petugas pemilu tingkat bawah itu menimbulkan kontroversial. Dari masyarakat yang mendukung pasangan capres Prabowo-Sandiaga Uno diduga ada kesengajaan atau dicurigai sebagai desain penyelenggara pemilu (KPU). Di sisi lain, KPU menjawabnya bahwa kematian mereka semata-mata karena kelelahan dan ditunjang penyakit bawahan yang akut sehingga mereka meninggal dunia. Pemilu 2019 merupakan puncak dari pembelahan sosial: pro Joko Widodo dan anti Joko Widodo.
Baca juga: Prabowo: Yang Tidak Setuju Program Makan Siang Gratis Sebaiknya Belajar Lagi
Berbeda dengan Pemilu sebelumnya, Pelaksanaan Pemilu 2019 dianggap oleh banyak pihak sebagai Pemilu yang paling kompleks dalam sejarah Pemilu di Indonesia. Pertama, karena dalam Pemilu 2019, pemilih bukan hanya memilih anggota DPR RI, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/ kota tetapi juga memilih Presiden dan Wakil Presiden dalam satu waktu. Artinya jika dalam Pemilu sebelumnya pemilih hanya membawa empat surat suara kedalam bilik suara, dalam Pemilu 2019 pemilih membawa lima surat suara sekaligus. (UU 7/2017. Ps. 168).
Karena dilaksanakan serentak antara Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden, maka Presidential threshold menggunakan hasil Pemilu 2014. Ada kenaikan persentase, dari sebelumnya 15 persen kursi DPR RI atau 20 persen suara nasional menjadi 20 persen kursi DPR RI atau 25 persen suara nasional.
Pelaksanaan Pemilu 2019 secara serentak merupakan keputusan Mahkamah konstitusi nomor 14/ PUU-IX/2013 yang merupakan jawaban atas gugatan koalisi masyarakat sipil terkait pelaksanaan Pemilu serentak di Indonesia. Beberapa alasan yang mendasari mengapa dilakukan pada Pemilu 2019 karena : tahapan Pemilu 2014 sudah berjalan sehingga dikhawatirkan akan mengganggu pelaksanaannya; kemudian Pemilu serentak menjadi penting untuk menghindari bargaining politik yang bersifat taktis demi kepentingan sesaat.
Dengan Pemilu serentak diharapkan penggabungan partai terjadi secara alamiah dan ke depan dinilai berdampak pada penyederhanaan partai. Berikutnya, melalui Pemilu serentak juga berdampak pada penghematan anggaran Pemilu dan mengurangi potensi/ gesekan/ konflik horizontal dimasyarakat. Di sisi lain menimbulkan beban berat bagi penyelenggara pemilu tingkat bawah, seperti PPK dan TPS. Akibatnya banyak diantara mereka yang meninggal dunia.
Kedua, selain dilaksanakan secara serentak, dalam Pemilu 2019 juga terjadi perubahan metode konversi suara kedalam pembagian kursi. Jika dalam Pemilu sebelumnya menggunakan Bilangan Pembagi Pemilih (Quota Hare), Pemilu 2019 menggunakan Metode Saint League. Partai yang lolos Parlementary threshold suaranya dibagi dengan menggunakan bilangan ganjil 1, 3, 5, 7, dan seterusnya untuk kemudian hasilnya diurut yang terbesar sesuai dengan jumlah kursi di DAPIL tersebut (UU 7/ 2017. Ps. 415).
Jika partai tersebut memperoleh alokasi kursi, maka Caleg terpilih adalah Caleg dengan suara terbanyak (UU 7/2017. Ps. 423). Oleh karena itu, sama seperti dalam Pemilu 2014, Pemilih memberikan suaranya dengan mencoblos satu kali pada nomor atau tanda gambar partai politik dan atau nomor dan atau nama calon yang dipilih (Daftar Terbuka).
Parlementary threshold dalam Pemilu 2019 mengalami peningkatan dibanding Pemilu sebelumnya. Dari 3,5 persen pada Pemilu 2014 menjadi 4 persen (UU 7/2017. Ps. 414). Dalam Pemilu 2019 secara tegas dinyatakan bahwa Parlementary threshold hanya berlaku untuk DPR RI. Sementara itu, partai yang tidak memenuhi Parlementary Threshold tetap diikutkan dalam penghitungan kursi di DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/ kota.
Untuk Caleg DPD RI, masih sama dengan Pemilu sebelumnya dimana pemilih memilih dengan cara menandai nomor/ nama/ photo calon dan metode penentuan Caleg terpilih didasarkan pada calon yang memperoleh suara terbanyak (sistem distrik berwakil banyak).
Ketiga, Penentuan jumlah kursi dalam Pemilu 2019 juga masih sama dengan Pemilu 2014, yakni didasarkan pada jumlah penduduk yang ada diwilayah tersebut. Untuk setiap DAPIL DPR RI alokasi kursi antara tiga sampai sepuluh kursi. Sementara itu untuk DPRD Provinsi dan Kabupaten/ Kota berkisar antara tiga sampai 12 kursi.
Berbeda dengan Pemilu 2014, jumlah kursi DPRD Provinsi untuk Pemilu 2019 antara 35 sampai dengan 120 kursi (UU 7/2017. Ps 188). Sedangkan untuk DPRD Kabupaten/ kota antara 20 sampai dengan 55 kursi (UU 7/2017. Ps 191). Jika dibandingkan dengan Pemilu 2014, ada kenaikan batas maksimal kursi untuk DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/ Kota, dimana untuk DPRD Provinsi dalam Pemilu 2014 maksimal 100 kursi dan DPRD Kabupaten/ Kota maksimal 50 kursi.
Keempat, penentuan area DAPIL dalam Pemilu 2019 juga tidak berbeda dengan Pemilu 2014, dimana DAPIL DPR RI adalah Provinsi atau bagian dari Provinsi, kemudian untuk DPRD Provinsi adalah Kabupaten/ kota atau gabungan dari Kabupaten/ kota, dan DPRD Kabupaten/ kota adalah Kecamatan atau gabungan dari Kecamatan. Hanya saja, jika dibanding dengan Pemilu 2009 dan Pemilu 2014, ada penambahan DAPIL DPR RI yang kemudian juga berdampak pada DAPIL DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/ Kota.
Jika dalam Pemilu sebelumnya jumlah DAPIL DPR RI hanya 77 DAPIL dengan jumlah kursi yang diperebutkan sebanyak 560 kursi, pada Pemilu 2019 naik menjadi 80 DAPIL dengan jumlah kursi yang diperebutkan mencapai 575 kursi. Hal ini terjadi karena ada pemakaran di Kalimantan Barat, Nusa Tenggara Barat dan Kalimantan Utara (Provinsi Pemekaran) yang kemudian juga berdampak adanya Kabupaten/ kota dan kecamatan baru.
Untuk jumlah DAPIL DPRD Provinsi otomatis bertambah dari sebelumnya 259 DAPIL menjadi 272 DAPIL dengan jumlah kursi mencapai 2.207 kursi. Di jenjang DPRD Kabupaten/ Kota, jumlah kursi yang diperebutkan bertambah dari 16.895 kursi menjadi 17.610 kursi.
Baca juga: TKD KIM Surabaya Konsolidasi Perkuat Dukungan Prabowo-Gibran
Kelima, jumlah partai peserta Pemilu dalam Pemilu 2019 lebih banyak dibandingkan dengan Pemilu 2014. Jika dalam Pemilu 2014 hanya 12 Partai Nasional, dalam Pemilu 2019 mencapai 16 Partai Nasional. Dari 16 partai tersebut, 12 merupakan partai lama, dan empat lainnya merupakan partai baru. Hal ini terjadi karena dalam UU 7/2017 ada klausul yang menyatakan bahwa partai politik yang pernah diverifikasi tidak akan diverifikasi ulang dan langsung ditetapkan sebagai peserta Pemilu (Pasal 173 ayat 3).
Untuk syarat peserta Pemilu yang merupakan partai baru, tidak jauh beda dengan persyaratan dalam Pemilu 2014. Hanya saja ada klausul kantor tetap partai baik itu ditingkat pusat maupun daerah harus tetap ada hingga tahapan Pemilu berakhir (UU 7/2017. Ps 173).
Partai yang ingin menjadi peserta Pemilu juga harus mendaftar selambatnya 18 bulan sebelum hari pemungutan suara dan ditetapkan oleh KPU sebagai peserta Pemilu selambatnya 14 bulan sebelum hari pemungutan suara.
Hal lain yang juga perlu dicermati dalam Pemilu 2019 adalah adanya klausul terkait sengketa kepengurusan partai. Dalam UU 7/2017 pasal 184, KPU hanya akan mengakui kepengurusan partai peserta Pemilu yang sudah selesai di mahkamah partai atau sejenis dan telah didaftarkan serta ditetapkan Kementrian Hukum dan HAM. Hadirnya klausul ini untuk mencegah penyelenggara Pemilu yang dalam hal ini KPU terseret masuk dalam konflik internal partai politik calon peserta Pemilu.
Keenam, syarat pendaftaran Caleg dalam Pemilu 2019 tidak jauh berbeda dengan Pemilu 2014 untuk Caleg DPR RI, DPRDProvinsi dan DPRD Kabupaten/ Kota. Aturan yang dibangun dalam Pemilu 2019 terkait syarat Caleg pada prinsipnya mengupayakan agar partai politik peserta Pemilu dalam merekrut Caleg memperhatikan latar belakang Caleg agar dapat menjalankan amanah saat terpilih sebagai anggota dewan dan tidak memiliki cacat moral.
Oleh karena itu, pada mulanya KPU mensyaratkan bahwa mereka yang pernah menjadi terpidana Narkoba, Kejahatan seksual anak dan mantan terpidana korupsi tidak boleh mendaftar menjadi Caleg. Namun dalam perjalannya gugatan aturan terhadap aturan tersebut menghasilkan klausul bahwa mereka boleh mencalonkan diri sebagai Caleg dengan syarat harus mengumumkan statusnya tersebut kepada publik (UU 7/2017. Ps. 812).
Terkait daftar Caleg yang diusulkan oleh partai, masih sama dengan Pemilu 2014 yakni maksimal 100 persen dari jumlah kursi di DAPIL tersebut, dan ada keterwakilan 30 persen perempuan dalam daftar tersebut dimana setiap tiga Caleg laki-laki harus ada satu Caleg perempuan.
Baca juga: Pernah Jadi Menaker, Cak Imin Diyakini Kuasai Materi Debat Cawapres
Sedangkan untuk syarat Caleg DPD RI, jumlah dan syarat dukungan yang harus diserahkan masih sama dengan Pemilu 2014.
Ketujuh, terkait dengan penyelenggara Pemilu dalam Pemilu 2019, kelembagaan masih sama yakni terdiri dari KPU dan BAWASLU. Dalam hal penegakan etik bagi penyelenggara Pemilu masih dilakukan oleh DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu).
Hal lain yang juga menjadi perhatian dalam Pemilu 2019 adalah sumbangan dana kampanye untuk peserta Pemilu, dimana dalam Pemilu 2019 mengalami kenaikan nominal dari yang sebelumnya untuk perseorangan maksimal Rp. 1 Miliar, menjadi Rp. 2,5 Miliar, dan untuk sumbangan dari badan hukum naik dari maksimal Rp. 7,5 Miliar menjadi Rp 25 Miliar.
Kemudian dalam Undang-Undang Pemilu Nomor 7 / 2017 juga terdapat klausul terkait jaminan partisipasi politik bagi para penyandang disabilitas. Dalam pasal 5 tertulis bahwa para penyandang disabilitas memiliki kesempatan yang sama baik sebagai pemilih, menjadi calon yang akan dipilih, ataupun menjadi penyelenggara pemilihan umum.
Tulisan: Mahmud, S.IP, MSi
Editor: Aribowo
Editor : Pahlevi