Optika.id - Perkembangan dunia fashion tidak bisa dilepaskan dari kebutuhan akan tekstil yang merupakan bahan utamanya.
Ironisnya, semakin pesatnya pertumbuhan fashion di seluruh dunia ini, diikuti pula dengan meningkatnya jumlah limbah tekstil di banyak negara. Tak terkecuali di Indonesia sebagai negara berkembang yang memiliki populasi padat di dunia.
Baca juga: KADIN Jelaskan Bahaya Thrifting, Sebut Kegiatan Ekonomi Ilegal
Dilansir dari data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (SIPSN KLHK) pada tahun 2021 lalu, Indonesia menghasilkan sekitar 2,3 juta ton limbah tekstil atau setara dengan 12ri limbah rumah tangga.
Sedangkan melansir dari data global tercatat sebanyak 92 juta ton limbah tekstil dihasilkan setiap tahunnya. Maka dari itu, jumlah tersebut tentu tidak bisa disepelekan.
Bahkan, National Geographic menyebutkan, industri fashion diperkirakan bertanggung jawab atas sekitar 20% pencemaran air bersih dan bertanggung jawab atas 10% emisi karbon secara global.
Ancaman industri tekstil di Indonesia semakin nyata. Salah satunya dipaparkan dari studi yang dilakukan oleh Pusat Riset Oseanografi Institut Pertanian Bogor (IPB) pada bulan Februari lalu menemukan fakta 70gian tengah Sungai Citarum tercemar oleh mikro plastic, berupa serat benang polyester. Hal tersebut semakin diperkuat dengan keberadaan industri tekstil yang ada di kawasan tersebut.
Mikroplastik yang terkandung dalam benang polyester diketahui dapat mengancam kehidupan biota di perairan, menyebabkan tercemarnya air, kematian pada ikan, hingga merusak kandungan ikan. Pada akhirnya, hal tersebut mengganggu keseimbangan ekosistem perairan, serta membahayakan manusia.
Selain itu, limbah tekstil juga memiliki sifat seperti plastik yang sulit terurai di lingkungan. Limbah ini dapat mengganggu kesuburan tanah, penyerapan air dan lain sebagainya.
Baca juga: Hadapi Gempuran Thrifting, Asosiasi Tekstil Desak Turunkan Suku Bunga
Melansir dari Newscientist, Senin (21/11/2022), fast fashion menjadi salah satu hasil dari industri tekstil yang cukup berdampak signifikan pada lingkungan. Produk garmen ini diproduksi dalam jumlah yang melimpah ruah akan tetapi hanya digunakan dalam waktu pemakaian yang singkat seperti prinsip mode yang seharusnya. Belum lagi, para konsumen dari fast fashion yang tidak cukup bijak dalam mengelola limbah ini.
Limbah pakaian pasca pakai menjadi masalah yang sulit untuk dihindari. Akibatnya, limbah jenis ini kerap ditemukan berakhir sia-sia di tempat pemrosesan akhir (TPA) dan bersumber dari sampah rumah tangga. Oleh karena itu, untuk mengelola limbah pakaian fast fashion tersebut, butuh kesadaran dari masyarakat untuk mau berpartisipasi dalam menekan limbah tekstil pasca pakai terutama dari pakaian bekas pakai yang hanya dipakai dalam waktu singkat.
Beberapa cara yang bisa dilakukan setiap individu untuk bisa menekan limbah tekstil seperti, membeli pakaian secukupnya, memakai pakaian dalam kurun waktu yang lama, umumnya pakaian dapat dipakai hingga 3 tahun lamanya.
Jika pakaian masih cukup baik dan sudah membosankan, donasikan pakaian bekas pakai. Beberapa panti asuhan, atau organisasi seringkali membuka donasi pakaian bekas. Pastikan pakaian bekas yang disumbangkan dalam kondisi sudah bersih.
Baca juga: Mengapa MenkopUKM Gencar Larang Keras Impor Pakaian Bekas?
Selain itu, pakaian bekas juga dapat di daur ulang, beberapa gerai pakaian ternama kerap menyediakan dropbox untuk pakaian bekas yang ingin di daur ulang.
Reporter: Uswatun Hasanah
Editor: Pahlevi
Editor : Pahlevi