Optika.id - Langkah Presiden Joko Widodo (Jokowi) menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Cipta Kerja sangat disayangkan. Hal tersebut dikatakan oleh Drs. Armyn Gultom, M.Si selaku Ketua Umum Forum Keluarga Alumni Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (FOKAL IMM).
Baca juga: DPR RI Sahkan Perppu Cipta Kerja Jadi UU, Pengamat: Perusahaan Semakin Mudah PHK Karyawan
"Padahal sebelumnya pada 25 November 2021, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja atau UU Cipta Kerja cacat secara formil. Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020, menyatakan bahwa UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat dan meminta pemerintah memperbaikinya paling lama dalam waktu 2 tahun," kata Gultom pada Optika.id, Jumat (6/1/2023).
Alih-alih melaksanakan perintah MK dengan sungguh-sungguh, katanya, Jokowi malah menerbitkan Perppu No.2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja pada tanggal 30 Desember 2022.
"Artinya presiden secara sadar telah mengabaikan perintah MK. Berarti pula Presiden telah melecehkan putusan sekaligus institusi MK. Juga mengabaikan peran DPR yang seharusnya bersama pemerintah menyelesaikan perbaikan UU Cipta Kerja sesuai perintah MK. Jadi keluarnya Perppu ini jelas melanggar prinsip-prinsip negara hukum," tukas Gultom.
"Keluarnya Perppu ini sulit diterima akal sehat. Bertentangan dengan perintah MK yang harus dilaksanakan oleh seorang presiden. Selain itu tidak ada kondisi kegentingan memaksa sebagai syarat bolehnya presiden mengeluarkan Perppu. Kecuali alasan yang terkesan dipaksakan oleh pemerintah. Pakar hukum UGM Dr. Zainal Arifin menyebut Pemerintah sengaja mendaruratkan sesuatu yang tidak darurat. Ini ironi demokrasi, karena salah satu ironi demokrasi adalah kedaruratan," imbuhnya.
Dengan demikian, kata Gultom, Presiden jelas-jelas telah menunjukkan sikap tidak patuh pada konstitusi dan aturan bernegara. MK dibentuk oleh konstitusi dan diberi wewenang konstitusi untuk melakukan pengujian Undang-Undang (UU) terhadap Undang-Undang Dasar (UUD).
"Artinya, putusan MK adalah perintah konstitusi yang bersifat final, wajib ditaati dan dijalankan, termasuk oleh presiden. Mengabaikannya sama saja dengan melanggar konstitusi. Bahkan banyak kalangan, pakar hukum dan akademisi menyatakan penerbitan Perppu tersebut melanggar konstitusi. Di antaranya Prof. Jimly Ashiddiqie mantan Ketua MK," tandas Gultom.
Dengan alasan itu, kata Gultom, maka FOKAL IMM meminta DPR RI untuk menolak pengesahan Perppu tersebut menjadi Undang-Undang!
"DPR RI agar segera bersidang menolak Perppu Ciptaker dan menerbitkan Undang-Undang Pencabutan Perppu tersebut segera," tegasnya.
"Langkah ini kami pandang penting agar presiden tidak seenaknya dan ugal-ugalan menggunakan kekuasaan. Amanah kekuasaan itu harus diemban dengan penuh kesadaran demi sebesar-besarnya kepentingan rakyat, bukan kepentingan segelintir elit atau sekelompok oligarki. Jangan sampai rakyat menduga bahwa keluarnya Perpu ini juga bagian dari pesanan kepentingan oligarki itu," sambungnya.
"Semoga DPR masih bisa diharapkan sebagai penyambung lidah rakyat. Anggota DPR jangan terpasung oleh Partai Politik misalnya dengan alasan karena menjadi bagian dari koalisi pemerintahan. Anggota DPR adalah wakil rakyat, bukan wakil parpol. Tugas DPR adalah mengawasi pemerintah, bukan malah bersekongkol dengan pemerintah. Semoga!" tukasnya.
Mudahnya Keluarkan Perppu
Sebelumnya, pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti menyampaikan kritik semakin mudahnya pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). Terakhir, pemerintah mengeluarkan Perppu 2/2022 tentang Cipta Kerja.
Baca juga: PDIP Dukung Perppu Cipta Kerja Demi Lindungi Ekonomi Negara
Ia menilai, dikeluarkannya Perppu Cipta Kerja ini merupakan bentuk keculasan pemerintah yang dibungkus hukum. Bivitri yang akrab disapa Bibib menilai, cara-cara seperti ini membuat rakyat repot untuk mengkritik dan mengadvokasi perlawanan karena bungkus yang dipakai hukum.
Bibib melihat, sebagai negara hukum di Indonesia kerap kali digaungkan supremasi hukum, tanpa melihat isi hukum. Sebab, saat muncul sesuatu yang dibungkus hukum, walau karakter otoritarianisme, sulit membuka mata banyak orang kalau itu salah.
Terkait ini, ia merasa semua terkena prank, termasuk pegiat-pegiat perundangan yang tidak menyangka UU Cipta Kerja ini akan dikeluarkan dalam bentuk perppu. Apalagi, pemerintah sempat memberi undangan membahas revisi UU Cipta Kerja.
"Kami tidak datang agar tidak ada klaim, kami ramai-ramai menolak untuk datang, jadi kami tahu ada revisi itu. Tapi, akan dikeluarkan dalam bentuk perppu tidak ada yang tahu, kecuali orang-orang sekitar Pak Jokowi," kata Bibib dalam diskusi yang digelar Indo Progress, Kamis (5/1/2023).
Ia menekankan, perppu boleh dikeluarkan dalam konteks darurat. Diaturnya berbeda dalam prosedur keadaan biasa dan baru boleh dikeluarkan dalam hal ihwal memaksa. Tapi, karakternya otoritarianisme karena pertimbangan ada di pemerintah sendiri.
Pemerintah, lanjut Bibib, bisa mengeluarkan aturan main melanggar HAM ketika kondisi darurat. Karenanya, argumen Perang Ukraina dan lain-lain, semua bukan sesuatu yang kita lihat di depan mata, harus diatasi dan kondisinya darurat.
Baca juga: Kata Peneliti Soal Polemik Perppu Cipta Kerja
Itu semua sesuatu yang bisa direncanakan untuk diselesaikan. Maka itu, semua argumen itu tidak bisa dijustifikasi untuk memakai perppu. Namun, harus ada kritik buat kita karena sebelum Cipta Kerja sudah banyak perppu dikeluarkan.
Sayangnya, kita semua kurang keras menyampaikan kritik. Sebelum ini jarang yang menolak perppu seperti Perppu Kebiri dan Perppu HTI. Banyak dukungan atas dasar kebencian dan malah mengabaikan prinsip-prinsip dikeluarkannya perppu itu.
"Yang lebih menandakan keculasan pemerintah, Perppu Cipta Kerja dikeluarkan pada hari kerja terakhir menjelang tutup tahun, semua dalam suasana pesta tahun baru, bahkan draft perppu itu tidak bisa diakses pada malam tahun baru," ujar Bibib.
Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera ini sempat pula meminta draft ke orang-orang Sesneg pada malam tahun baru, namun tidak ada yang berani memberikan. Ia merasa, ini culas karena mengambil kesempatan dalam kesempitan.
Terlebih, Perppu Cipta Kerja diumumkan berbarengan dengan pengumuman PPKM yang dihentikan oleh Presiden Jokowi. Karenanya, tidak banyak yang memperhatikan dan kabar perppu lewat begitu saja. Bibib merasa, ini bentuk otoritarianisme.
"Harus hati hati, kalau kita tidak keras menyatakan ini keliru dan kita lawan terus. Karena, kalau kita agak lemah melawan, jangan kaget kalau nanti ke luar Perppu Mengundurkan Pemilu, Perppu Presiden Tiga Periode, anything possible," pungkasnya.
Editor : Pahlevi