PDIP Ngotot Pileg Proporsional Tertutup, 8 Fraksi Menolak! Pakar: Perlu Solusi Tengah

Reporter : Seno

Optika.id - Sejak Ketua KPU (Komisi Pemilihan Umum), Hasyim Asyari, melontar isu bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) sedang menyidangkan perkara sistem pemilu proporsional terbuka atau tertutup untuk pileg (pemilu legislatif) 2024 maka meluaslah diskusi tentang sistem pileg 2024 di masyarakat.

Baca juga: Gagal Maju Pilgub Jadi Hal Untung bagi Anies, Kok Bisa?

Perdebatan itu meluas juga di DPR (Dewan Perwakilan Rakyat). Di DPR terbelah dua: sekitar 8 Fraksi menolak pileg pakai proporsional tertutup dan 1 Fraksi, PDIP (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan) ngotot ingin proporsional tertutup. Fraksi yang menolak membuat surat pernyataan sikap bersama dan meminta Mahkamah Konstitusi untuk tetap konsisten dengan putusannya pada 2008 lalu, bahwa pemilu digelar dengan sistem proporsional terbuka sesuai pasal 168 ayat 2 UU Pemilu Tahun 2017.

Fraksi yang menolak itu adalah Fraksi Golkar, Gerindra, Demokrat, NasDem, PAN, PKB, PPP dan PKS. Komposisi partai yang menolak dan menerima isu proporsional tertutup atau terbuka mengabaikan komposisi oposisi dan bukan oposisi. Artinya dalam isu tentang pileg proporsional terbuka atau tertutup kabur antara partai politik (parpol) Koalisi Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan oposisi. Mereka yang ada di kubu Koalisi bercampur dengan parpol oposisi untuk berhadapan dengan parpol rezim Jokowi, yaitu PDIP.

"Kita sudah menjalankan 5 kali pemilu selama masa reformasi. Selama itu pula kita terus menyempurnakan sistem pemilu yang semakin mendekatkan rakyat dengan pilihan orisinalitasnya, bunyi keterangan dalam pernyataan sikap 8 fraksi, Selasa, 3 Januari 2023.

Menurut 8 Fraksi itu, keluarnya putusan MK pada 2008 lalu memberikan kesempatan bagi rakyat untuk bisa mengenal, memililh, dan menetapkan wakil mereka secara langsung, orang per orang. Sistem proporsional terbuka dinilai tidak lagi menyerahkan kewenangan penuh pada partai politik.

"Itulah kemajuan sekaligus karakteristik demokrasi kita. Perpaduan antara keharusan kedekatan rakyat dengan wakilnya dan keterlibatan institusi partai politik tetap harus dijunjung, urai 8 Fraksi dalam pernyataan mereka.

Atas dasar alasan di atas maka 8 Fraksi DPR memilih sistem proporsional terbuka untuk pileg 2024. Pilihan proporsional terbuka dinilai sebagai salah satu bentuk kemajuan demokrasi. Sebaliknya penggunaan sistem proporsional tertutup malah membawa kemunduran bagi demokrasi Indonesia.

Sementara itu PDIP tetap pada pendiriannya: agar kembali ke sistem pemilu proporsional tertutup. Sekretaris Jenderal DPP PDIP, Hasto Kristiyanto, berpendapat sistem proporsional terbuka telah menciptakan liberalisasi politik. PDIP, kata Hasto, telah survei ihwal kondisi liberalisasi politik yang mendorong partai politik menjadi partai elektoral. Dampaknya, kata dia, muncul kapitalisasi politik, oligarki politik, hingga persaingan bebas dengan segala cara.

Dasar pemikiran itu menyebabkan pada kongres ke-V PDIP memutuskan sistem pemilu anggota legislatif dengan proporsional tertutup bisa diterapkan sesuai dengan perintah konstitusi. Dia menjelaskan, sistem ini akan mendorong proses kaderisasi parpol dan berdampak pada pencegahan berbagai bentuk liberalisasi politik.

"Selanjutnya juga memberikan insentif bagi meningkatkan kinerja di DPR, dan pada saat bersamaan karena ini adalah pemilu serentak antara pileg dan pilpres, maka berbagai bentuk kecurangan bisa ditekan, kata Hasto usai acara Refleksi Akhir Tahun 2022 DPP PDIP, (tempo.co, Jumat 30/12/2022).

Selain itu, dia melanjutkan, sistem proporsional tertutup bisa menekan biaya pemilu mengingat kondisi perekonomian saat ini sedang menghadapi berbagai persoalan. Sehingga, PDIP berpandangan kiranya sistem ini bisa ditetapkan. Tetapi, hal itu sekiranya jadi ranah dari DPR terkait hal tersebut, ujar dia

Perdebatan Juga Meluas di Masyarakat

Perdebatan tentang pileg dengan sistem pemilu proporsional terbuka atau tertutup juga berkembang di kalangan masyarakat, termasuk para pakar ilmu sosial dan ilmu politik. Berikut adalah perdebatan tentang konsep, sistem, dan kekuatan dan kelemahan kedua sistem tersebut.

Menurut Dr Wawan Sobari, pakar ilmu politik dari Fisip Universitas Brawijaya, Malang, baik sistem proporsional terbuka maupun tertutup sama-sama ada kelebihan dan kelemahannya.

Diakui oleh Sobari bahwa sistem pemilu proporsional terbuka, memiliki dampak adanya praktek jual beli suara. Hal tersebut merupakan hasil riset yang sudah dilakukan oleh banyak peneliti terkait penerapan sistem proporsional terbuka, urainya kepada ANTARA, Jumat (6/1/2023).

Baca juga: Besok, PDI-Perjuangan Akan Usung Risma Jadi Kandidat Cagub Jatim

Sistem proporsional terbuka dinilai bisa sebagai jalan pintas bagi calon legislatif untuk memperoleh suara. Perolehan suara itu, tidak dengan kinerja atau karya politik yang memberikan kontribusi kepada masyarakat di daerah pemilihannya.

"Jalan pintas itu, dikatakan jauh lebih efektif dibanding dengan melakukan branding, marketing politik, program yang istilahnya memperkenalkan diri kepada publik," katanya.

Di sisi lain sistem pemilu proporsional tertutup, berisiko untuk kembali ke zaman Orde Baru dan adanya hegemoni partai politik. Partai politik, akan menjadi penentu seseorang untuk berpotensi terpilih atau tidak.

Wawan Sobari, Pakar Ilmu Politik dari Fisip Universitas Brawijaya, Malang

Bagi Sobari sistem proporsional tertutup, berdampak memindahkan praktik transaksi yang sebelumnya berada di tingkat masyarakat atau pemilih, akhirnya akan melebar ke partai politik.

"Jadi cenderung nanti akan memindahkan transaksi, karena bagaimanapun, politik ekonomi itu tidak bisa dilepaskan. Siapa yang ingin berkuasa, itu pasti harus ada modal ekonomi," ujarnya.

Baca juga: 100 Guru Besar UGM Nyatakan Sikap, Ingin KPU Jaga Marwah Jelang Pilkada

Atas dasar pemikiran dan hasil survei itu maka diingatkan oleh Sobari, perlu ada terobosan formal yang mengedepankan hubungan setara dan berkualitas antara partai politik dengan calon legislator, dengan tolok ukur pada nilai kemanfaatan publik atau public value. Jika ada hubungan setara, maka tidak akan ada lagi calon legislator yang memiliki uang kemudian bergerak sendiri mencari suara dan mengesampingkan partai politik.

"Sebaliknya, kalau proporsional tertutup, partai politik posisinya akan lebih tinggi dibanding calon, karena partai tersebut berhak menentukan nomor urut. Maka, bagi saya, idealnya adalah dibuat setara antara calon dengan partai politik," ide Sobari.

Caranya? Melakukan mengubh sistem proporsional terbuka dan melakukan rekayasa sistem. Menurut Sobari perlu ada rekayasa politik yang mengarah pada setiap daerah pemilihan dimana parpol bisa menetapkan satu atau lebih nomor urut caleg bila memenuhi proporsi kursi.

"Jadi pada tiap dapil, nomor urut satu itu bukan karena uang, bukan karena kedekatan dengan ketua parpol. Tapi karena prestasinya. Itu prinsip yang dipakai dalam legislative entrepreneurship, prinsip kewirausahaan legislatif," urainya.

Ia menjelaskan, partai politik akan mengafirmasi calon legislatif yang memiliki prestasi dan bekerja untuk masyarakat serta partai, diberikan penghargaan dengan nomor urut satu. Sehingga, penentuan tidak dikarenakan kedekatan atau adanya lobi uang. Lebih dari itu semua partai politik juga harus memiliki kurikulum pendidikan dan kaderisasi untuk mencetak calon legislatif yang memiliki prinsip kewirausahaan legislatif tersebut. Karena, dalam teori tersebut, fungsi legislator adalah menjalankan legislasi yang baik.

Solusi itu memang normatif sekali. Sobari katakana bahwa itu solusi tengah meskipun belum tentu realistik.

Tulisan: Aribowo

Editor : Pahlevi

Politik
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru