Optika.id - Ahli Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada (UGM), Zainal Arifin Mochtar mengungkapkan beberapa alasan terkait fenomena dalih kedaruratan yang digunakan oleh negara demokrasi.
Baca juga: Pertemuan Tertutup Jokowi dan Prabowo: Momen Penting di Solo
Termasuk Indonesia yang baru-baru ini menerabas demokrasi demi memuluskan pembuatan Undang-Undang (UU). Yang teranyar ialah pengesahan Perppu Cipta Kerja secara tiba-tiba.
Penerbitan Perppu tersebut beralasan jika saat ini negara berada dalam situasi yang darurat sehingga urgensi penerbitan Perppu tersebut diambil. Perppu menjadi jalan yang dipilih pemerintah alih-alih memperbaiki UU pascaputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 91/PUU-XVIII/202 terkait UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang UU Cipta Kerja yang cacat formil sehingga dinyatakan inkonstitusional bersyarat.
Oleh sebab itu, Zainal merasa janggal dengan alasan kedaruratan tersebut. Pasalnya, ketika UU Cipta Kerja dibuat, hal itu bisa dilakukan melalui legislasi, juga dari segi substansi antara UU Cipta Kerja dengan Perppu juga tidak jauh berbeda. Perbedaannya sedikit yakni terletak pada persoalan perburuhan.
Artinya, kok dulu UU ini dibuat melalui legislasi biasa kok bisa, tapi dikatakan isinya sekarang ini menjadi darurat, ujarnya dalam keterangan tertulis, Minggu (8/1/2023).
Sebabnya, pasal yang diubah hanya sedikit. Seyogyanya, proses legislasi biasa sebetulnya bisa dilakukan dan Zainal mengungkapkan bahwa pernah ada UU yang diubah hanya dalam waktu tiga hari saja. Pun dia mempertanyakan urgensi penerbitan Perppu.
Jadi pertanyaannya kenapa harus Perppu. Kalau memang hanya ubah sedikit berkaitan dengan buruh, ya legislasi biasanya aja, bisa kok, kata Zainal.
Baca juga: Aneh! Jelang Lengser Kepuasan Terhadap Jokowi Tinggi, tapi Negara Bakal Ambruk
Sedangkan alasan perang Ukraina dan Rusia yang digunakan sebagai alasan kedaruratan juga janggal menurut Zainal. Sebab, perang antara kedua negara tersebut sudah berlangsung 7 8 bulan yang lalu. Jadi, dia menilai pemerintah semestinya bisa mengantisipasi dengan melihat waktu selama itu.
Masa sekarang baru sadar daruratnya. 7-8 bulan baru pemerintah sadar darurat. Bisa dibalik, artinya, pemerintah dan DPR tidak antisipasi bahwa ini berakibat sehingga mendadak dibentuk Perppu, jelasnya.
Kejadian lain yang menggunakan alasan kedaruratan oleh Pemerintah yakni saat pembuatan UU KPK. Pemerintah saat itu berdalih jika di tubuh KPK ada Taliban dan pegawainya melakukan intoleransi. Akibatnya, banyak pegawai KPK yang dipecat dengan alasan yang tak masuk akal dan seolah dibuat-buat. Kemudian terjadi juga dalam Perppu Ormas. Kasusnya ormas dibubarkan tanpa diadili. Ormas dibubarkan tanpa diadili dengan alasan kedaruratan. Ormas dinilai membahayakan Pancasila dan UUD 1945.
Di Perppu Ormas 2017, dikatakan bahwa ormas itu rezim administrasi bukan rezim hak asasi, dalam konteks administrasi ia dicabut dulu status ormasnya baru silahkan dibawa ke proses peradilan nanti peradilan yang akan membuktikan benar atau tidak pencabutanya, ucap Zainal.
Baca juga: Dosa-dosa Jokowi
Melihat hal tersebut, Zainal mengungkapkan bukan tidak mungkin ke depannya alasan kedaruratan ini bisa digunakan dalam Pemilu 2024 sehingga nantinya Pemilu urung dilaksanakan dan kekuasaan tidak berjalan secara semestinya.
Fenomena alasan darurat juga terjadi di sejumlah negara demokrasi lainnya. Ia menyebutkan saat pandemi covid-19, di suatu negara pemerintahan mengeluarkan kebijakan koran tidak boleh lagi diedarkan. Alasannya, pemerintah tersebut takut menularkan covid-19.
Padahal, menurutnya, itu akal-akalan pemerintah untuk membredel koran yang kritis terhadap pemerintah.
Editor : Pahlevi