Nihilisme ala Islah Bahrawi

Reporter : Seno

Oleh: Prof. Ir. Daniel Mohammad Rosyid, M.Phil., Ph.D., MRINA

Baca juga: Rebuilding Indonesia Anew

Optika.id - Syech Hamzah Yusuf akan terkejut jika tahu ada drop out Zaytuna College, Berkeley, bernama Islah Bahrawi yang kini muncul sebagai figur nihilistik paling terkemuka di Indonesia.

Dengan mengatakan tidak ada agama Islam, yang ada hanya berbagai tafsir Al Qur'an tentang agama Islam, maka ummat Islam dimasukkannya dalam kehidupan yang penuh ketidakpastian. Ini serangan pemikiran yang mendasar sekaligus berbahaya.

Lalu, dalam rangka merespons fenomena politik mutakhir di Indonesia, Islah lebih jauh mengatakan bahwa politik identitas sebagai upaya politisasi agama bisa mengancam persatuan Indonesia.

Menurut Islah, istilah cebong vs kampret atau kadrun adalah bukti adanya politisasi agama, terutama Islam. Islah mengingatkan bahwa aspirasi politik Islam adalan hanya upaya sekelompok elite muslim untuk berkuasa. Di sini apa yang dikatakan Islah serupa dengan yang dikatakan oleh Ahok sehingga dia harus dipenjara.

Islah mencontohkan Sayid Quthb sebagai salah satu figur yang paling penting dalam politisasi agama. Kelompok-kelompok radikal dan teroris sebagian besar adalah penganut paham yang memiliki ambisi politik untuk berkuasa dengan cara memaksakan model kehidupan awal Islam ke dalam konstruksi masyarakat hari ini yang sudah sangat maju menurut pemahaman Islah.

Pengalamannya hidup di AS selama 5 tahun dinilainya sendiri cukup membuka matanya bahwa dunia lebih luas dari sekedar keimanannya sendiri yang sempit.

Dengan mengaku telah membaca ratusan buku sejak sejarah sampai filsafat Islam, Islah berpretensi telah menjadi pembaca yang paling kompeten dan memiliki otoritas untuk memberi rekomendasi bagi Densus 88 Mabes POLRI untuk program-program pemberantasan dan pencegahan redikalisme dan terorisme di Indonesia. Kecuali dia sendiri belum pernah menulis tafsir apapun yang penting.

Baca juga: Kekalahan Resmi Politik Islam di Indonesia

Benar bahwa semua karya cendekiawan itu tafsir tentang banyak hal, tapi ada kaidah-kaidah ilmu tafsir yang perlu diikuti agar hasil tafsiran itu konsisten, serta koheren memberi makna dari sebuah teks serumit Al Qur'an. Paling tidak seorang mufasir perlu menyebutkan kaidah epistemologi yang digunakannya untuk menafsir Al Qur'an.

Dengan mengatakan bahwa agama yang kita yakini hanya sebuah tafsir, atau tafsir para mufasir tertentu, atas Al Qur'an, Islah telah mengambil jalan nihilistik yaitu sebuah keyakinan bahwa semua yang bernilai itu tidak memiliki basis, atau tidak ada sesuatupun di dunia ini yang bisa diketahui secara meyakinkan.

Ini adalah sebuah pesimisme ekstrim, atau skeptisme radikal yang menolak adanya eksistensi tertentu. Seorang nihilis tidak punya keyakinan apapun, serta tidak memiliki kesetiaan pada apapun, kecuali dorongan untuk merusak apa yang sudah ada. Saya kira ini cukup cocok dengan latar belakang sosial dan perjalanan hidup Islah Bahrawi. Dia adalah sosok layang2 putus yang ditemukan Densus 88 untuk merusak tatanan pemikiran Islam yang ada di Indonesia.

Saya menduga pemujaan Islah pada Barat yang sok humanis, dan penilaiannya bahwa perjuangan berbagai gerakan Islam di Afrika dan Timur Tengah, juga peran Masyumi di Indonesia telah mengantarkannya pada kesimpulan bahwa gerakan2 itu sekedar ambisi politik elite muslim untuk berkuasa.

Baca juga: Kembali ke UUD1945: Challenges and Responses

Bukan suatu cita-cita yang mulia serta worth dying for. Sulit untuk menolak pikirannya bahwa ambisi politik untuk berkuasa itu bukan ajaran Islam. Di titik ini, hemat saya, nihilisme yang telah dicoba dimulai Islah gagal berkembang secanggih Nietzsche.

Jika Nietzsche mengatakan bahwa hidup ini tidak mungkin bermakna, juga tidak bernilai sehingga kita jalani saja apa adanya betapapun menakutkan atau sepi, Islah baru mengatakan bahwa ummat Islam tidak usah berpolitik dengan Islam. Persis yang dikatakan Jokowi dengan langsung dan terus terang, sementara Islah mengatakannnya dengan berputar-putar.

Mungkin Islah Bahrawi lupa bahwa dulu ada Partai NU yang mendukung Nasakom nya Bung Karno, saat PKI minta agar Masyumi dibubarkan. Jika Masyumi adalah tafsir sesat, Muhammadiyah juga, maka nihilisme dangkal Islah harus pula akhirnya berkesimpulan bahwa NU pun tafsir sesat.

Gunung Anyar, 26 Januari 2023

Editor : Pahlevi

Politik
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru