Oleh: Prof. Ir. Daniel Mohammad Rosyid, M.Phil., Ph.D., MRINA
Baca juga: Jogja Kembali ke UUD45
Optika.id - Rabu kemarin Pertamina Geothermal Energi resmi IPO sebagai aksi korporasi setelah sebelumnya kekayaan negara yg semula dikelola PT. Pertamina sebagai induk sudah dialihkan ke PGE sebagai anak perusahaan. Ini adalah aksi mutakhir privatisasi pengelolaan energi sebagai barang publik yang menguasai hajat hidup orang banyak.
Ini sekaligus evolusi terkini paradigma reinventing government dan new public administration. Keduanya adalah mantra ekonomi liberal kapitalistik yang makin merasuki era reformasi ini, sekaligus sebagai instrumen proxy war untuk menjajah kembali negeri kepulauan seluas Eropa ini.
Seperti yang dikatakan oleh Sri Edi Swasono, penggantian UUD45 dengan UUD 2002 telah membajak reformasi sehingga dalam prakteknya justru menyebabkan deformasi kehidupan berbangsa dan bernegara. Aksi IPO PGE itu merupakan buah maladministrasi publik di mana regulasi dan hukum dibuat bukan untuk kepentingan publik, tapi untuk kepentingan sekelompok atau bahkan segelintir orang.
Bahkan, seperti dikatakan Deny Indrayana, hukum dibuat untuk melanggengkan kekuasaan (politik ataupun ekonomi) segelintir orang.
Apalagi dalam sistem ekonomi ribawi yang saat ini berlaku, prinsip-prinsip pengelolaan kekayaan alam yang menjadi hajat hidup publik yang diamanahkan oleh UUD45 pasal 33 secara terang-terangan dilanggar bahkan dengan mengundang investor asing.
Pemberhalaan pada investor asing di sektor energi, terutama China, tidak saja telah mengikis kemandirian energi kita, tapi juga merampas bagian terbesar dari nilai tambah sektor energi yaitu di sisi design and engineering nya. Para insinyur kita telah kehilangan manhours yang dibutuhkan untuk menjadi kompeten di bidang energi ini.
Baca juga: Stunting Moral dan Adab Bangsa
Wacana green energy perlu didahului dengan penguasaan teknologinya oleh para insinyur kita sebelum pasarnya dibuka bagi investor asing. Gagasan membangun kedaulatan energi di negeri dengan keberlimpahan sumber-sumber energi primer ini hilang di meja-meja perundingan kesepakatan kemitraan G2G atau B2B.
Kedaulatan energi itu akan makin jauh panggang dari api saat Pertamina, seperi juga PLN, terus dipaksa untuk melakukan vertical unbundling yang akan membuka jalan bagi investor asing masuk ke sektor yang sangat strategis ini. Ini merupakan buah dari pandangan yang melihat energi hanya sebagai komoditi, bukan modal pembangunan.
Ini kecenderungan sesat yang berbahaya yang melekat pada cara pandang ekonom yang terobsesi dengan growth lalu gagal melihat aspek-aspek lain dari pengelolaan energi kita, termasuk pemerataan pembangunan dan keadilan energi.
Ini bagian dari sindrom dutch disease yang akan menjebak bangsa ini pada middle income trap. Pandangan komoditi itu juga membutakan para ekonom untuk lebih melihat ruang sehingga kemaritiman sebagai instrumen pemerataan terbengkalai. Akibatnya, ketimpangan konsumsi energi menjadi sebab ketimpangan spasial yang makin parah.
Baca juga: Rebuilding Indonesia Anew
Untuk berdaulat secara energi, kita perlu melihat kembali energi sebagai modal pembangunan, bukan sekedar komoditi. Penguasaan teknologi energi untuk mengolah beragam sumber-sumber daya energi itu (migas, geotermal, panas matahari, panas laut, hidrogen, hidro dan nuklir) menjadi bagian kunci dalam mencapai kedaulatan tersebut.
Tata kelola energi sebagai barang publik yang menguasai hajat hidup orang banyak perlu dikembalikan sesuai amanah UUD45 pasal 33, tidak diserahkan begitu saja pada daulat pasar belaka.
Puncak, Bogor, 2 Februari 2023.
Editor : Pahlevi