Besok! Sidang Lanjutan MK Soal Sistem Pemilu, Jadi Tertutup atau Terbuka?

Reporter : Seno

Optika.id - Sidang pengujian materiil UU Nomor 7/2017 tentang pemilu sistem proporsional terbuka akan dilanjutkan besok, Kamis (9/2/2023). Agenda sidang itu yakni mendengarkan keterangan pihak terkait KPU dan beberapa pihak terkait.

Baca juga: Proporsional Terbuka Diputuskan, Pengamat: MK Penuhi Harapan Rakyat

Seperti dikutip Optika.id dari situs resmi mkri.id, jadwal sidang lanjutan dengan nomor perkara 114/PUU-XX/2022 digelar Kamis (9/2/2023) pukul 10.00 WIB di Lantai II, Gedung MK, Jalan Merdeka Barat, Jakarta Pusat.

Dalam jadwal tersebut tertulis agenda sidang yakni mendengarkan keterangan terkait KPU, yakni Fathurrahman, Salotha Febiola dkk, Asnawi.

Diketahui, ada 6 pemohon yang tertulis dalam gugatan ini. Di antaranya:

1. Demas Brian Wicaksono (pengurus PDIP Cabang Probolinggo)

2. Yuwono Pintadi

3. Fahrurrozi (bacaleg 2024)

4. Ibnu Rachman Jaya (warga Jagakarsa, Jaksel)

5. Riyanto (warga Pekalongan)

6. Nono Marijono (warga Depok)

Dalam gugatan ini, pemohon meminta MK mengabulkan permohonan agar sistem pemilu diubah menjadi proporsional tertutup atau coblos gambar partai bukan caleg.

Delapan dari sembilan fraksi di DPR menolak sistem proporsional tertutup. Parpol-parpol tersebut adalah Golkar, Demokrat, PAN, PKB, PKS, NasDem, Gerindra, dan PPP. Mereka pernah melakukan pertemuan bersama dan memberikan pernyataan menolak sistem coblos gambar partai ini.

"Kami menolak proporsional tertutup dan memiliki komitmen untuk menjaga kemajuan demokrasi di Indonesia yang telah dijalankan sejak era reformasi. Sistem pemilu proporsional tertutup merupakan kemunduran bagi demokrasi kita. Di lain pihak, sistem pemilu proporsional terbuka merupakan perwujudan dari demokrasi yang berasaskan kedaulatan rakyat dimana dapat menentukan calon anggota legislatif yang dicalonkan Partai Politik. Kami tidak ingin demokrasi mundur," kata Ketum Partai Golkar Airlangga Hartarto dalam salah satu pertemuan tersebut.

Setelahnya, perwakilan fraksi parpol-parpol tersebut menggelar konferensi pers di DPR. Dipimpin Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia, mereka membacakan pernyataan sikap mereka menjelang sidang perkara sistem pemilu terbuka di Mahkamah Konstitusi (MK).

Berikut pernyataan yang dibacakan Doli mewakili 8 fraksi:

1. Bahwa kami akan terus mengawal pertumbuhan demokrasi Indonesia tetap ke arah yang lebih maju;

2. Kami meminta Mahkamah Konstitusi untuk tetap konsisten dengan keputusan MK nomor 22-24/PUU-VI/2008 pada tanggal 23 Desember 2008 dengan mempertahankan pasal 168 ayat 2 undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 sebagai wujud ikut menjaga kemajuan demokrasi Indonesia;

3. Mengingatkan KPU untuk bekerja sesuai dengan amanat undang-undang tetap independen, tidak mewakili kepentingan siapapun kecuali kepentingan rakyat, bangsa dan negara.

Proporsional Tertutup Belenggu Hak Rakyat

Penolakan tak hanya disampaikan oleh sejumlah partai politik, tetapi juga aktivis. Salah satu yang menolak adalah Indonesia Corruption Watch (ICW). Menurut ICW, sistem proporsional tertutup bisa membelenggu hak rakyat. Selain itu, sistem ini dianggap bisa menyediakan ruang gelap bagi politik uang.

"Polemik sistem pemilu proporsional tertutup: upaya belenggu hak rakyat dan ruang gelap politik uang," kata peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, dalam keterangannya, Rabu (8/2/2023).

Baca juga: Junimart Minta Semua Pihak Hormati Keputusan MK Soal Sistem Proporsional Terbuka

ICW membeberkan sejumlah alasan. Pertama, sistem proporsional tertutup menjauhkan partisipasi masyarakat dalam menentukan calon wakilnya di lembaga legislatif.

"Bagaimana tidak, penentuan calon anggota legislatif yang akan terpilih bukan berada pada masyarakat, melainkan di internal partai politik," kata Kurnia.

Proporsional Tertutup Berpeluang Nepotisme

Kedua, proporsional tertutup dianggap sama sekali tidak menghapus tren politik uang, melainkan hanya memindahkan, dari calon ke masyarakat menjadi calon ke partai politik. Sebab, kandidat terpilih bergantung pada nomor urut calon anggota legislatif yang ditentukan sepenuhnya oleh partai politik.

"Ketiga, proporsional tertutup membuka ruang terjadinya nepotisme di internal partai politik. Bukan tidak mungkin, calon-calon yang memiliki relasi dengan struktural partai dapat dimudahkan untuk mendapatkan nomor urut tertentu," beber Kurnia.

Keempat, sistem proporsional tertutup berpotensi menghilangkan relasi dan tanggung jawab anggota legislatif kepada rakyat.

"Bagaimana tidak, penentuan akhir keterpilihan calon berada di bawah kekuasaan partai dan oleh karenanya anggota legislatif terpilih hanya akan bertanggung jawab kepada partai politik. Bisa dibayangkan, masih dalam tahap pencalonan saja, proses penjaringan calon anggota legislatif terbilang sangat tertutup," ungkap Kurnia.

Atas dasar itu, kata Kurnia, tak mengherankan jika pada 2019 mereka secara serampangan mengusung 72 calon anggota legislatif yang sebelumnya pernah menyandang status narapidana korupsi.

"Dengan logika yang sama, tentu sulit menaruh kepercayaan kepada partai politik menentukan sendiri calon terpilih melalui skema proporsional tertutup," tukasnya.

Baca juga: Akhirnya MK Putuskan Coblos Caleg

Masyarakat Ingin Proporsional Terbuka

Selain itu, pakar hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Dr Zainal Arifin Mochtar, juga sempat berbicara soal wacana ini. Dalam pernyataannya, Ketua Departemen Hukum Tata Negara di FH UGM ini mengisyaratkan tentang kecenderungan masyarakat yang tetap menghendaki sistem proporsional terbuka.

"Kondisilah yang menjawabnya," ujar Zainal Arifin Mochtar dalam keterangannya, Rabu (8/2/2023).

Mengurai sistem proporsional terbuka dan tertutup, ia menegaskan bahwa keduanya sama-sama memiliki kelebihan dan kekurangan.

Kendati demikian, dia juga menjelaskan tentang hak demokratis masyarakat untuk mencoblos calon anggota legislatif yang dikehendakinya, dengan berbagai pertimbangan antara lain kemampuan dan integritasnya.

"Jadi tidak sekadar membeli kucing dalam karung, seperti di sistem proporsional tertutup di mana partai yang lebih berhak menentukan calon anggota legislatifnya," ungkapnya.

Perludem juga meminta MK menolak gugatan sistem pemilu proporsional tertutup. Sebab, bagi Perludem, perubahan tersebut harus menghadirkan proses partisipasi masyarakat, bukan kewenangan MK.

"Pilihan atas sistem pemilu legislatif apa yang akan diambil, sejatinya merupakan hasil konsensus pembentuk undang-undang yang harus menghadirkan proses partisipasi yang bermakna (meaningful participation) dalam pembuatan keputusannya. Dalam hal ini, bukan kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menentukan sistem pemilu atau varian sistem pemilu mana yang konstitusional untuk diadopsi dalam penyelenggaraan pemilu legislatif di Indonesia," kata anggota Dewan Penasihat Perludem, Titi Anggraini, beberapa waktu yang lalu.

Editor : Pahlevi

Politik
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru