Optika.id Pandemi Covid-19 telah menjadi penyebab perburuan monyet ekor panjang secara besar-besaran di kawasan Asia Tenggara untuk dijadikan sebagai hewan uji coba para peneliti, baik dari pemerintah maupun dari perusahaan.
Baca juga: Status Kedaruratan Dicabut, Vaksinasi Covid-19 Tak Lagi Gratis?
Uni Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN) telah mengategorikan monyet ekor panjang ke dalam status terancam punah (endangered) sejak awal Maret 2022. Tren penurunan populasi monyet ekor panjang mencapai angka 40lam tiga generasi terakhir, atau setara dengan sekitar 40 tahun terakhir, khususnya di Asia Tenggara. Dalam rentang tahun 1980-1990, populasi monyet ekor panjang berkurang drastis, dari yang jumlahnya 5 juta ekor menjadi sekitar 3 juta ekor.
Banyak faktor yang menyebabkan tren penurunan populasi monyet ekor panjang ini, antara lain adalah konflik dengan manusia sehingga meningkatkan motivasi perburuan, sebagai bahan kuliner, dan tak lain dan tak bukan adalah sebagai bahan penelitian. Selain hal itu, adanya aktivitas manusia berupa deforestasi, alih fungsi lahan, dan degradasi lingkungan membuat monyet ekor panjang kehilangan habitatnya.
Di Indonesia, jika mengacu pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tahun 2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi, monyet ekor panjang tidak termasuk ke dalam daftar hewan yang dilindungi. Memang secara hukum, perdagangan monyet ekor panjang diperbolehkan jika dengan izin yang tepat dan dikendalikan.
Monyet ekor panjang merupakan hewan yang mudah ditemukan di Indonesia. Populasinya tersebar di beberapa taman nasional, antara lain adalah Taman Nasional Komodo Nusa Tenggara Timur. Taman Nasional Way Kambas Lampung, hingga Taman Nasional Tanjung Putting Kalimantan Tengah. Data dari Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) menunjukkan, Indonesia merupakan negara yang aktif melakukan ekspor monyet. Karena dianggap masih banyak dan merupakan hewan yang tidak dilindungi, eksploitasi akan monyet ekor panjang menjadi lebih mudah.
Baca juga: Mengapa Vaksin Tetap Penting Meski Covid-19 Telah Terkendali?
Pada saat pandemi, ekspor akan monyet ekor panjang kian masif. Munculnya pandemi dan perlombaan akan penemuan vaksin Covid-19 semakin menekan pasar sehingga memicu perebutan hewan yang mengakibatkan naiknya lonjakan perburuan monyet. Monyet ekor panjang memiliki kemiripan secara anatomi, fisiologi, dan psikologi dengan manusia. Hal ini membuatnya biasa digunakan dalam kegiatan biomedis. Pemerintah Indonesia yang pada tahun 2009 telah melarang ekspor monyet ekor panjang, pada tahun 2021 pemerintah kembali membuka ekspor monyet panjang untuk kepentingan riset biomedis di Amerika Serikat.
Ini sudah di luar kendali. Permintaan gila yang datang dari Amerika Serikat mendorong perdagangan ke tingkat yang tidak berkelanjutan, ungkap Malene Friis Hansen, Direktur Longtailed Mancaque Project yang merupakan kelompok nirlaba berbasis di Denmark yang berfokus pada konservasi primata.
Baca juga: Khofifah: 1,2 Juta Vaksin InaVac Buatan Unair Siap Didistribusikan
Permintaan yang melonjak sangat tinggi membuat harga monyet juga ikut melonjak tinggi. Seekor monyet ekor panjang yang sebelumnya dihargai sebesar 3.000 US menjadi dihargai sebesar 40.000 US pada puncak pandemi.
Melonjaknya harga monyet ekor panjang menjadikan manusia tergiur untuk melakukan bisnis tersebut. Penangkapan secara illegal menjadi marak. Tentu hal ini tidak boleh dibiarkan secara terus-menerus. Sebab, monyet ekor panjang memiliki peranan yang penting bagi hutan. Salah satu peranan tersebut adalah sebagai pemakan buah-buahan dan biji-bijian yang terdapat di hutan. Dengan ini, monyet ekor panjang dapat membantu dalam penyebaran biji-bijian demi terjaganya keseimbangan alam.
Editor : Pahlevi