Optika.id - Kerap kita menjumpai orang-orang yang secara sengaja atau tidak memamerkan kekayaannya di sosial media. Dari influencer hingga orang biasa, perilaku ini kerap dijumpai wara-wiri di berbagai platform yang dipakai oleh warganet.
Baca juga: Pantauan Media Sosial: Putusan MK Memicu Kekhawatiran Soal Gibran
Orang yang menunjukkan perilaku pamer kekayaan di media sosial atau yang biasa disebut dengan flexing ini menurut pakar psikologi sosial dari Universitas Indonesia, Dicky C. Pelupessy cenderung mempunyai masalah insecurity atau ketidakamanan dan self-esteem atau harga diri yang rendah.
"Sebenarnya kalau kita lihat dari kacamata psikologis, di situ ada problem dengan self-esteem orang tersebut. Ada problem dengan rasa aman, rasa nyamannya, jadi ada insecurity yang kemudian dia cari kompensasinya," kata Dicky dalam keterangannya,Minggu (26/2/2023).
Menurut Dicky, pada prinsipnya masing-masing manusia mempunyai self atau diri yang dapat diterjemahkan sebagai kesadaran tentang dirinya sendiri yang menjadi penggerak dari perilaku seseorang.
Apabila seseorang mengalami rasa kesadaran diri dan penghargaan terhadap dirinya sendiri rendah, maka seseorang itu menginginkan mendapat pujian dan pengakuan bahwa dirinya lebih baik dan hal tersebut bisa diperoleh dari luar dirinya atau orang lain. Dan, yang menjadi masalah yakni sebagian orang merasa bahwa tindakan flexing tersebut bisa dijadikan sebagai cara kompensasi guna mendapatkan pengakuan tersebut.
"Dia berusaha mengompensasi dengan cara flexing. Dia pikir kalau, 'Saya punya harta benda yang mahal, yang mungkin tidak semua orang bisa miliki, terbatas', dia pikir itu akan membuat dia akan dinilai orang lebih baik dan lebih hebat. Kemudian nanti, 'Saya akan mendapat sehingga saya merasa aman dan nyaman'," ungkap Dicky.
Baca juga: Debat Capres Terakhir Bikin Rakyat Kena Prank Nasional
Jika seseorang tersebut belum bisa berdamai dengan dirinya sendiri, maka dia akan terus merasa cemas dan tidak aman serta mengalami keadaan rendah diri secara terus-menerus. Apabila hal tersebut ditumpuk, maka tak menutup kemungkinan masalah psikologis pun akan muncul dan kemungkinan menganggu.
Dicky menyebut, agar tidak terjebak pada perilaku flexing maka ada dua hal yang dapat dilakukan dengan menerapkan counter thinking. Kegiatan tersebut berupa berpikir sejenak sebelum mengambil tindakan.
Hal pertama yang bisa dilakukan yakni memposisikan diri sendiri sebagai audiens atau orang lain yang melihat serta merespons unggahan flexing di media sosial. Dan cara kedua yakni mencai kompensasi lain yang dapat dilakukan untuk meningkatkan harga diri selain flexing.
Baca juga: Influencer 2,1 Juta Pengikut Ini Dukung Anies, Buktikan Keadilan!
"Memikirkan kira-kira apa, sih, reaksi orang ketika melihat sayaflexing. Apakah kemudian beneran mereka akan memuji-muji saya, membuat saya terasa lebih hebat. Ataukah kemudian sebetulnya orang biasa saja (tidak memuji)," jelas Dicky.
Tak hanya itu, orang-orang terdekat juga bisa membantu dengan menegur atau mengingatkan bahwa flexing yang dilakukan tidak selalu berujung mendapatkan pujian dan justru mendapatkan cibiran dari publik.
"Kalau kita jadi orang yang kenal dekat, tidak apa-apa mengingatkan. Bahwa 'Kalau kamu memamerkan kekayaan, itu tidak lantas membuat orang terkesan, bahkan mungkin bisa jadi yang kamu dapatkan adalah cibiran. Dan mungkin orang akan menganggap itu sesuatu yang biasa saja'," tuturnya.
Editor : Pahlevi