Optika.id - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD turut memberikan statement soal putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) yang menghukum KPU untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilu 2024 selama lebih-kurang 2 tahun 4 bulan dan 7 hari. Dia menyebut PN Jakpus membuat sensasi yang berlebihan!
Baca juga: 100 Guru Besar UGM Nyatakan Sikap, Ingin KPU Jaga Marwah Jelang Pilkada
"Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat membuat sensasi yang berlebihan. Masak, KPU divonis kalah atas gugatan sebuah partai dalam perkara perdata oleh Pengadilan Negeri (PN). Bahwa vonis itu salah, logikanya sederhana, mudah dipatahkan tapi vonis ini bisa memancing kontroversi yang bisa mengganggu konsentrasi. Bisa saja nanti ada yang mempolitisir seakan-akan putusan itu benar," kata Mahfud seperti dikutip Optika.id dari akun instagramnya, Jumat (3/3/2023).
Mahfud meminta KPU untuk banding dan melawan habis-habisan putusan PN Jakpus tersebut. Menurutnya, secara logika seharusnya KPU bisa memenangkan gugatan tersebut.
"Saya mengajak KPU naik banding dan melawan habis-habisan secara hukum. Kalau secara logika hukum pastilah KPU menang. Mengapa? Karena PN tidak punya wewenang untuk membuat vonis tersebut," ujarnya.
Mahfud menilai PN Jakpus tidak memiliki wewenang untuk menghukum KPU untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilu 2024 selama lebih-kurang 2 tahun 4 bulan dan 7 hari. Salah satu alasannya, lantaran kompetensi sengketa pemilu bukan di PN.
"Sengketa terkait proses, administrasi, dan hasil pemilu itu diatur tersendiri dalam hukum. Kompetensi atas sengketa pemilu bukan di Pengadilan Negeri. Sengketa sebelum pencoblosan jika terkait proses admintrasi yang memutus harus Bawaslu tapi jika soal keputusan kepesertaan paling jauh hanya bisa digugat ke PTUN. Nah Partai Prima sudah kalah sengketa di Bawaslu dan sudah kalah di PTUN. Itulah penyelesaian sengketa administrasi jika terjadi sebelum pemungutan suara. Adapun jika terjadi sengketa setelah pemungutan suara atau sengketa hasil pemilu maka menjadi kompetensi Mahkamah Konstitusi (MK). Itu pakemnya. Tak ada kompetensinya Pengadilan Umum. Perbuatan Melawan Hukum secara perdata tak bisa dijadikan obyek terhadap KPU dalam pelaksanaan pemilu," jelasnya panjang lebar.
Selain itu, hukuman penundaan pemilu menurut Mahfud tidak bisa dijatuhkan PN sebagai kasus perdata. Mahfud menekankan tidak ada hukuman penundaan pemilu yang bisa ditetapkan oleh PN.
"Hukuman penundaan pemilu atau semua prosesnya tidak bisa dijatuhkan oleh PN sebagai kasus perdata. Tidak ada hukuman penundaan pemilu yang bisa ditetapkan oleh PN. Menurut UU penundaan pemungutan suara dalam pemilu hanya bisa diberlakukan oleh KPU untuk daerah-daerah tertentu yang bermasalah sebagai alasan spesifik, bukan untuk seluruh Indonesia. Misalnya di daerah yang sedang ditimpa bencana alam yang menyebabkan pemungutan suara tak bisa dilakukan. Itu pun bukan berdasar vonis pengadilan tetapi menjadi wewenang KPU untuk menentukannya sampai waktu tertentu," papar Mahfud.
"Menurut saya vonis PN tersebut tak bisa dimintakan eksekusi. Harus dilawan secara hukum dan rakyat bisa menolak secara masif jika akan dieksekusi. Mengapa? Karena hak melakukan pemilu itu bukan hak perdata KPU," imbuhnya.
Mahfud menyatakan KPU harus melawan secara hukum putusan PN Jakpus tersebut.
"Kita harus melawan secara hukum vonis ini, ini soal mudah. Tetapi kita harus mengimbangi kontroversi atau kegaduhan yang mungkin timbul," tegasnya.
PN Jakpus Tegaskan Tak Nyatakan Tunda Pemilu
Sebelumnya, PN Jakpus menjelaskan perihal putusannya menghukum KPU untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilu 2024 selama lebih-kurang 2 tahun 4 bulan dan 7 hari. PN Jakpus menegaskan tidak menyatakan untuk menunda pemilu.
"Jadi pada prinsipnya putusan itu dikabulkan adalah bunyi letternya itu menghukum tergugat untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilu 2022 sejak putusan diucapkan dan melaksanakan tahapan Pemilu dari awal selama lebih kurang 2 tahun 4 bulan dan 7 hari," kata Pejabat Humas PN Jakpus Zulkifli Atjo, dalam keterangannya, Kamis (2/3/2023).
"Tidak mengatakan menunda Pemilu ya, tidak, cuma itu bunyi putusannya seperti itu. 'Menghukum untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilu 2024," ya itu amar putusannya itu," sambungnya.
Ia menegaskan saat ini putusan tersebut belum berkekuatan hukum tetap. Sebab, masih ada pihak yang mengajukan banding. Karena itu, menurut Zulkifli, apabila Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memutuskan hal yang berbeda, maka putusan tersebut bisa berubah.
Baca juga: KPU Segera Terbitkan Aturan di Setiap Daerah untuk Patuhi Putusan MK
"Saya dengar dalam putusan ini KPU sudah menyatakan banding. Tentu kita akan tunggu putusannya apakah Pengadilan Tinggi DKI sependapat dengan PN Jakpus kita tunggu lagi. Ini putusan sudah diucapkan ya seperti itu lah, tapi tidak spesifik mengatakan menunda Pemilu ya, cuma 'menghukum tergugat untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilu 2024 sejak putusan ini diucapkan'," katanya.
Zulkifli juga menjelaskan bahwa gugatan perdata tersebut terkait gugatan melawan hukum, bukan gugatan sengketa parpol. Dia pun kembali menegaskan bahwa PN Jakpus tidak memerintahkan KPU untuk menunda pemilu.
Jadi intinya menghukum tergugat dalam hal ini KPU untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilu. Jadi tidak menunda Pemilu kalau misalnya ada putusan lain yang selain ini, selain ini memerintahkan lain kan lain lagi ceritanya," tutur Zulkifli.
Kronologi Putusan PN Jakpus
Putusan PN Jakpus tersebut berawal dari gugatan yang dilayangkan Partai Prima pada 8 Desember 2022 lalu. Dalam gugatannya, Partai Prima merasa dirugikan oleh KPU dalam melakukan verifikasi administrasi partai politik yang ditetapkan dalam Rekapitulasi Hasil Verifikasi Administrasi Partai Politik Calon Peserta Pemilu. Sebab, akibat verifikasi KPU tersebut, Partai Prima dinyatakan Tidak Memenuhi Syarat (TMS) dan tidak bisa mengikuti verifikasi faktual.
Partai Prima mengaku mengalami kerugian immateriil yang mempengaruhi anggotanya di seluruh Indonesia akibat tindakan KPU. Karena itu, Partai Prima pun meminta PN Jakpus menghukum KPU untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilu 2024 selama lebih-kurang 2 tahun 4 bulan dan 7 hari sejak putusan dibacakan.
Hasilnya, hakim pun mengabulkan gugatan Partai Prima. Hakim memerintahkan KPU untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilihan Umum 2024. Putusan ini diketok oleh ketua majelis T Oyong dengan anggota Bakri dan DominggusSilaban.
"Menghukum Tergugat untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilihan Umum 2024 sejak putusan ini diucapkan dan melaksanakan tahapan Pemilihan Umum dari awal selama lebih kurang 2 (dua ) tahun 4 (empat) bulan 7 (tujuh) hari," demikian bunyi putusan tersebut.
Baca juga: KPU Amati Putusan MK dan Akan Konsultasi dengan DPR RI
Berikut putusan lengkapnya:
Dalam Eksepsi
Menolak Eksepsi Tergugat tentang Gugatan Penggugat Kabur/Tidak Jelas (Obscuur Libel);
Dalam Pokok Perkara
1. Menerima Gugatan Penggugat untuk seluruhnya;
2. Menyatakan Penggugat adalah partai politik yang dirugikan dalam verifikasi administrasi oleh Tergugat;
3. Menyatakan Tergugat telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum;
4. Menghukum Tergugat membayar ganti rugi materiil sebesar Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) kepada Penggugat;
5. Menghukum Tergugat untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilihan Umum 2024 sejak putusan ini diucapkan dan melaksanakan tahapan Pemilihan Umum dari awal selama lebih kurang 2 (dua ) tahun 4 (empat) bulan 7 (tujuh) hari;
6. Menyatakan putusan perkara ini dapat dijalankan terlebih dahulu secara serta merta (uitvoerbaar bij voorraad);
7. Menetapkan biaya perkara dibebankan kepada Tergugat sebesar Rp.410.000,00 (empat ratus sepuluh ribu rupiah)
Editor : Pahlevi