Optika.id - Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid (HNW) mengkritik putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memerintahkan penundaan Pemilu 2024. Hidayat menyebut putusan itu sebagai pelanggaran terhadap konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, sehingga harus dikoreksi oleh pengadilan di atasnya.
Baca juga: Gagal Maju Pilgub Jadi Hal Untung bagi Anies, Kok Bisa?
"Putusan PN Jakarta Pusat tersebut bukan hanya tidak memiliki dasar hukum yang kuat, tetapi terutama juga secara jelas melanggar UUD NRI 1945 dan UU Pemilu. Saya mempertanyakan kompetensi hakim yang memutus perkara tersebut. Wajarnya Komisi Yudisial memeriksa hakim yang memerintahkan penundaan Pemilu itu," kata Hidayat dalam keterangannya, Jumat (3/3/2023).
Hidayat menjelaskan UUD NRI 1945 secara tegas menyatakan Pemilu dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Hal tersebut tertuang dalam Pasal 22E ayat (1) UU Pemilu yang berbunyi, "Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali."
"Putusan PN Jakarta Pusat yang memerintahkan menunda pemilu selama 2 tahun 4 bulan 7 hari sejak diucapkannya putusan, tidak sesuai dengan ketentuan Konstitusi, karena Pemilu yang akan datang baru bisa diselenggarakan pada akhir Juli tahun 2025. Itu jelas melanggar ketentuan UUD bahwa Pemilu dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Dengan amar putusan PN itu, Pemilu tidak bisa diselenggarakan 5 tahun sekali, karena Pemilu terakhir dilaksanakan pada 2019, maka menjadi harga mati bahwa pemilu berikutnya diselenggarakan pada tahun 2024, bukan tahun 2025 sebagaimana amar putusan PN itu," tutur Hidayat.
Hidayat menegaskan jika Pemilu ditunda hingga Juli tahun 2025, sebagaimana amar putusan PN, akan menimbulkan pelanggaran ketentuan konstitusi lainnya terkait masa jabatan Presiden, yang sesuai dengan pasal 7 UUD NRI 1945 akan selesai pada Oktober 2024. Penundaan Pemilu hingga Juli 2025 disebut Hidayat bakal memberikan kekuasaan Eksekutif (Presiden dan para Menteri) dan Legislatif (DPR, DPD dan MPR) yang tidak memiliki basis legitimasi konstitusional.
"Bila demikian, maka akan terjadi chaos politik yang membahayakan eksistensi dan kelanjutan Negara Kesatuan Republik Indonesia," tegas Hidayat.
Selain itu, ia juga menilai PN Jakarta Pusat seharusnya tidak memiliki kewenangan atau kompetensi absolut dalam menangani perkara tersebut. Hal itu, jelas Hidayat, merujuk kepada aturan dalam Pasal 470 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, yang mengarahkan sengketa proses pemilu itu diselesaikan di Pengadilan Tata Usaha Negara, bukan di Pengadilan Negeri (peradilan umum).
Baca juga: Besok, PDI-Perjuangan Akan Usung Risma Jadi Kandidat Cagub Jatim
"Di ketentuan tersebut secara spesifik diatur apabila ada sengketa antara KPU dan parpol terkait dengan verifikasi partai politik, maka diselesaikan di PTUN. Sangat jelas dan tegas aturannya seperti itu. Jadi pengadilan negeri seharusnya tidak memiliki kewenangan mengadili perkara tersebut apalagi dengan amar putusan yang membuat gaduh, yang potensial ditunggangi oleh mereka yang masih bermanuver untuk memperpanjang masa jabatan Presiden dengan penundaan Pemilu. Maka wajar bila para pakar HTN, mantan Ketua MK, dan aktivis yang terhimpun dalam Perludem tegas menolak keputusan Hakim PN Jakarta Pusat itu," papar Hidayat.
Hidayat menekankan pembentuk UU Pemilu menyadari adanya hal khusus dalam perkara-perkara menyangkut Pemilu, sehingga Mahkamah Agung (MA) dapat membentuk Majelis Khusus Tata Usaha Negara Pemilu di PTUN, sebagaimana diamanatkan Pasal 472. Majelis khusus ini diisi oleh para hakim yang mempunyai pengetahuan luas mengenai pemilu.
"Jadi, hakim yang memutuskan perkara terkait Pemilu seperti itu bukan sembarangan hakim. Dia harus yang memiliki pengetahuan luas tentang Pemilu. Maka kalau para hakim tersebut memiliki pengetahuan yang luas tentang Pemilu, mustahil mereka akan membuat putusan yang bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan UU tentang Pemilu seperti yang terjadi dengan amar putusan menunda pemilu oleh hakim PN Jakarta Pusat itu," urai Hidayat.
Hidayat menambahkan Mahkamah Konstitusi (MK) juga baru saja membuat putusan yang sesuai Konstitusi yaitu menolak gugatan para pihak terkait pembatasan masa jabatan Presiden maksimal 2 periode. Maknanya Mahkamah Konstitusi menegaskan sesuai UUD NRI 1945, Pemilu termasuk pemilihan presiden tetap dilaksanakan pada tahun 2024, lima tahun sesudah diadakannya Pemilu yang terakhir tahun 2019, bukan diundur hingga 2025 seperti yang kemudian diputuskan oleh PN Jakarta Pusat.
Baca juga: 100 Guru Besar UGM Nyatakan Sikap, Ingin KPU Jaga Marwah Jelang Pilkada
"Hakim yang menguasai masalah Pemilu tentunya memahami esensi keputusan MK yang bersifat final dan mengikat itu, sehingga tidak malah membuat putusan yang tidak sejalan dengan konstitusi dan putusan Mahkamah Konstitusi," tutur Hidayat.
Hidayat menyatakan putusan yang membuat gaduh ini mestinya segera dikoreksi dan dibatalkan di tingkat banding oleh pengadilan tinggi. Ia lantas mengapresiasi sikap KPU yang langsung menyatakan banding, yang berbarti putusan PN itu belum mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, sehingga tahapan Pemilu tetap harus terus dilaksanakan. Ia juga berharap KPU dapat benar-benar menjadikan peristiwa gugatan ini sebagai koreksi atas celah ketidakprofesionalannya, agar tidak terulang lagi pada tahapan Pemilu berikutnya.
"Dan agar KPU benar-benar fight untuk menjaga agar agenda Pemilu tidak terganggu, dan ketentuan Konstitusi tetap ditaati. Dan juga perlu ada perbaikan bagi KPU agar kinerja selanjutnya lebih profesional dan tidak melakukan kesalahan yang berpotensi membuat gaduh dan terhambatnya pelaksanaan Pemilu, juga menghindarkan tidak percayanya Rakyat terhadap Pemilu dan untuk menyelamatkan legitimasi hasil Pemilu," ujar Hidayat.
Editor : Pahlevi