Optika.id - Pengamat politik Universitas Trunojoyo Madura (UTM), Surokim Abdussalam turut berpendapat terkait putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) yang memerintahkan penundaan Pemilu 2024.
Baca juga: Gagal Maju Pilgub Jadi Hal Untung bagi Anies, Kok Bisa?
Diketahui, PN Jakpus mengabulkan gugatan Partai Prima terhadap KPU berujung KPU dihukum untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilu 2024 dan melaksanakan tahapan Pemilu dari awal.
Menurutnya putusan pengadilan terkait hal tersebut akan rumit, sehingga sulit dieksekusi!
"Dan menurut saya akan banyak mengandung resiko, dan berpotensi bisa membuat polemik, situasi menjadi tidak stabil dan akan cenderung gaduh," katanya ketika diwawancarai oleh Optika.id, Jumat (3/3/2023).
"Putusan tersebut menurut pendapat saya kok melebihi takaran ya, dan memerintah penundaan pemilu dengan menyebut tahun tersebut kok terasa aneh dan mengada-ada," imbuh Dekan Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Budaya (FISIB) Universitas Trunojoyo Madura (UTM) ini.
Menurutnya keputusan itu terlalu berani dan melebihi takaran. Bahkan dalam pandangan Surokim, sudah masuk wilayah putusan strategic policy yang semestinya masuk ranah peradilan MK (Mahkamah Konstitusi).
"Jika melihat situasi sekarang saya pikir putusan tersebut rentan dan sepertinya akan cenderung muter-muter saja dalam proses banding, dan kemudian akhirnya tidak berlaku," tukas peneliti senior Surabaya Survey Center (SSC) ini.
Namun bagaimanapun putusan pengadilan tersebut, lanjutnya, harus tetap dihormati.
"Toh ada mekanisme banding dari putusan PN tersebut," singkatnya.
Hal positif dari putusan ini tentu terkait dengan kehati-hatian dan profesionalisme KPU (Komisi Pemilihan Umum) sebagai penyelenggara pemilu.
"Saya pikir ini akan juga menguras energi KPU utk meladeni proses yang juga akan panjang ini. Jika melihat situasi sekarang, saya pikir akan kompleks dan cenderung potensial menjadi polemik berkepanjangan, jika tidak direspons dengan baik dan cermat, akan bisa menganggu proses dan tahapan pemilu," katanya.
"Saya percaya putusan ini akan dikoreksi dibanding, tetapi peradilan harus berhati-hati terkait dengan putusan seperti ini. Jika peradilan kian bebas memutus hal seperti ini saya pikir akan potensial menganggu persiapan pemilu dan membuat situasi dan faktor-faktor non teknis dan makro nasional akan kian tak menentu, kian tak pasti, dan bisa berpengaruh dan itu tentu akan memengaruhi stabilitas dan peta politik nasional," sambungnya.
Berbahaya Bagi Konstitusi
Senada, pakar hukum tata negara Fachri Bachmid mengatakan putusan tunda Pemilu 2024 oleh hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berbahaya bagi konstitusi. Sebab, menurutnya, perintah menunda pemilu tersebut bisa menciptakan kekacauan ketatanegaraan.
Fachri mengatakan putusan hakim untuk menunda pelaksanaan pemilu 2024 merupakan perbuatan melampaui kewenangan.
"Sehingga konsekuensi yuridisnya dari status putusan yang demikian ini adalah bersifat null and void sehingga tidak dapat dieksekusi, kata Fachri dalam keterangan tertulisnya, Jumat (3/3/2023).
Fachri menjelaskan berdasarkan regulasi yang berlaku, penyelesaian sengketa pemilu terbagi menjadi dua bingkai penegakan hukum. Dua dimensi tersebut, kata dia, adalah pelanggaran dan sengketa.
"Hal tersebut menjadi penting untuk melindungi kesisteman kerangka hukum pemilu," ujar dia.
Fachri melanjutkan dalam undang-undang pelanggaran pemilu sendiri dibagi lagi menjadi tiga. Pelanggaran tersebut, kata dia, adalah pelanggaran administratif, etik, dan pidana.
"Sementara itu, untuk sengketa terbagi menjadi sengketa proses dan sengketa hasil," kata pengajar Universitas Muslim Indonesia tersebut.
Baca juga: Besok, PDI-Perjuangan Akan Usung Risma Jadi Kandidat Cagub Jatim
Fachri mengatakan dalam regulasi yang berlaku, UU Pemilu telah memberikan masing-masing lembaga otoritasnya dalam penyelenggaraan pemilu.
"Penyelesaian sengketa proses pemilu merupakan kewenangan dari Bawaslu dan PTUN, sebagaimana diatur dalam ketentuan norma Pasal 467 dan Pasal 470," ujar dia.
Sehingga, Fachri menilai perkara Partai Prima dan KPU RI tersebut merupakan kewenangan PTUN untuk memutuskan. Sebab, menurut dia, berdasarkan karakternya, konflik Partai Prima dan KPU RI tersebut jenisnya adalah sengketa.
"Sehingga hemat saya, putusan ini dapat dikualifisir sebagai never existed oleh karena hakim mengokupasi kewenangan kekuasaan lembaga peradilan lain, tandasnya.
Lampaui Kewenangan
Sementara itu, Komisi III DPR RI, yang membidangi hukum, menegaskan putusan PN Jakpus itu telah melampaui kewenangan mereka.
"Saya sangat kaget dengan putusan hakim PN Jakarta Pusat yang melampaui kewenangan mereka. Keputusan menunda pemilu atau memulai pemilu ke proses awal bukan kewenangan PN, tapi kewenangan PTUN dan penyelenggara pemilu yakni KPU, Bawaslu, DKPP. Atau keputusan DPR RI serta Pemerintah apabila ada hal-hal yang krusial," kata Wakil Ketua Komisi III DPR Fraksi Golkar Adies Kadir kepada wartawan, Jumat (3/3/2023).
Adies menekankan pengadilan hanya memutus perkara yang berkaitan langsung dengan pihak penggugat dan tergugat. Adies memahami hakim memiliki hak untuk memutus perkara tanpa diintervensi. Namun, lanjutnya, harus sesuai dengan keadilan berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.
"Pengadilan hanya memutus perkara yang berhubungan dengan Penggugat dan Tergugat. Apabila KPU dianggap salah, hanya menghukum untuk mengklasifikasi ulang partai yang keberatan. Bukan menghukum seluruh parpol yang tidak ada hubungannya. Sehingga merugikan parpol-parpol yang lain peserta pemilu," kata Adies.
"Saya sadar hakim mempunyai hak untuk memutus perkara tanpa diintervensi, tetapi harus sesuai dengan keadilan berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa. Bukan berdasarkan mau-maunya sendiri atau maunya yang meminta," lanjutnya.
Baca juga: 100 Guru Besar UGM Nyatakan Sikap, Ingin KPU Jaga Marwah Jelang Pilkada
Adies meminta Badan Pengawas MA dan KY segera memeriksa hakim-hakim tersebut. Dia meminta para hakim pemutus itu ditempatkan di luar Jawa.
"Kalau perlu di-non palu-kan dulu. Hakim seperti ini sebaiknya jangan ditempatkan di PN sekelas Jakarta Pusat, ditaruh di luar Jawa saja," tegasnya.
"Kurang peka terhadap kondisi negara dan perkembangan politik saat ini. Membuat kegaduhan baru serta membuat kredibilitas MA RI yang berbenah mulai membaik menjadi pembicaraan yang kurang baik lagi," lanjutnya.
Adies pun mengatakan komisi III berencana memanggil Sekretaris MA ke rapat di DPR setelah masa reses selesai.
"Dalam waktu dekat saat masuk masa sidang setelah reses, kami Komisi III DPR RI akan memanggil Sekretaris MA RI untuk berkoordinasi terkait masalah ini," katanya.
Senada, anggota Komisi III DPR Fraksi Golkar Supriansa menilai putusan PN Jakpus merusak tatanan demokrasi. Supriansa menegaskan konstitusi telah membatasi kekuasaan eksekutif dan legislatifselama lima tahun dan mengamanatkan bahwa pemilu diselenggarakan dalam waktu lima tahun sekali.
"Hal ini adalah perintah konstitusi sehingga putusan pengadilan jelas tidak bisa dilaksanakan," katanya.
Supriansa mengatakan hukuman penundaan pemilu yang dijatuhkan PN Jakpus pada kasus perdata, seharusnya tidak mengikat semua partai politik. Menurutnya, yang perlu diselesaikan adalah hak keperdataan Partai Prima tersebut, yakni pada tahapan verifikasi administrasi dan verifikasi faktual oleh KPU.
"Putusan PN Jakpus semestinya tidak berlaku umum dan mengikat semua pihak sehingga tidak ada korelasinya dengan melakukan penundaan pemilu secara nasional," pungkasnya.
Editor : Pahlevi