Optika.id - Perbedaan penentuan awal Ramadan dan satu Syawal bukanlah hal yang mengejutkan di Indonesia. sejumlah organisasi masyarakat (ormas) yang memiliki pengikut terbanyak di Indonesia seperti Muhammadiyah dan NU biasanya memiliki perbedaan tersendiri dalam menentukan awal Ramadan dan satu Syawal tersebut dengan pemerintah.
Baca juga: Jelang Ramadan, Satgas Pangan Polri Klaim Harga Beras Bakal Normal
Menurut Thomas Djamaluddin selaku Peneliti Astronomi-Astrofisika dari Pusat Riset Antariksa Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menjelaskan penyebab utama terkait perbedaan penentuan awal Ramadan, satu Syawal sebagai penanda Idulfitri, serta Iduladha yang dari dulu hingga sekarang masih menjadi polemik karena belum ada kesepakatan terkait kriteria awal Hijriyah.
Prasyarat utama terwujudnya unifikasi kalender Hijriyah harus ada otoritas tunggal yang menentukan kriteria dan batas tanggal untuk diikuti bersama, urai dia seperti dikutip dari siaran pers BRIN, Jumat (17/3/2023).
Terkait otoritas tunggal tersebut, sambung Thomas, bisa diwujudkan terlebih dahulu di tingkat regional atau nasional secara menyeluruh. Namun, penentuan ini juga mengacu pada batas wilayah sebagai satu wilayah hukum sesuai dengan batas kedaulatan negara. Adapun kriteria tersebut harus diupayakan untuk disepakati bersama dan apabila ada perbedaan maka hal tersebut jangan sampai menimbulkan gesekan.
Melihat perbedaan penentuan Ramadan dan satu Syawal di antara umat selama ini, Thomas berharap agar pemerintah bisa mengupayakan adanya satu sistem tunggal dalam mengatasi perbedaan ini, terutama antar ormas. Sehingga, nantinya bisa membuat satu kalender yang mapan dan diatur oleh satu otoritas tunggal, kriteria tunggal serta batas tanggal yang disepakati bersama. Tujuannya yakni bisa dijadikan rujukan semua pihak, meminimalisir gesekan serta bisa mempersatukan umat.
Baca juga: Saling Klaim Kemenangan Pemilu Tak Menguntungkan Masing-Masing Pihak
Oleh karena itu, dia mendesak agar kriteria penentuan awal Hijriah harus disepakati bersama. Misalnya mengenai Rukyatul Hilal atau melihat hilal. Hal tersebut juga harus memerlukan verifikasi kriteria agar menghindari kemungkinan kekeliruan dari hasil rukyat. Sementara itu, Hisab atau penghitungan tidak bisa menentukan masuknya awal bulan tanpa adanya kriteria tertentu.
Di sisi lain, kriteria hilal yang diadopsi sebagai cara menentukan hari-hari penting dari umat Islam, sudah berdasarkan pada dalil hukum agama tentang awal bulan dan melalui hasil kajian astronomis yang sahih.
Maka dari itu, dia menilai awal Ramadan 2023 akan berpotensi serentak apabila berdasarkan pertimbangan ilmu astronomi yang sahih.
Baca juga: Pengambilan Air Tanah Berlebih Akibatkan Banjir Rob dan Penurunan Tanah
Kendati ada potensi persamaan awal puasa tahun ini, akan tetapi Thomas tak menampik bahwa nantinya ada potensi perbedaan Idulfitri karena beberapa hal. Menurutnya, pada saat Maghrib tanggal 20 April 2023 ada potensi di Indonesia posisi bulan belum memenuhi kriteria baru yakni bulan baru harus memenuhi tingginya 3 derajat dengan sudut elongasi 6,4 derajat.
"Posisi bulan itu sudah memenuhi kriteria wujudul hilal. Apabila merujuk kriteria baru MABIMS, maka lebaran jatuh pada 22 April 2023, sedangkan bila merujuk wujudul hilal, 1 Syawal 1444 Hijriah jatuh pada 21 April 2023," ucap dia.
Editor : Pahlevi