Optika.id - BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) Universitas Indonesia (UI) melalui Instagram mereka mengunggah kritik kepada DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) RI sekaligus memuat meme Ketua DPR RI Puan Maharani berbadan tikus. Selain itu, kritik juga tertuju kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Baca juga: Puan ke Jokowi, Ingin RUU Perampasan Aset Bisa Dipercepat!
Seperti dilihat Optika.id, Kamis (23/3/2023), dalam unggahannya, BEM UI memuat kritikan perihal sikap DPR dalam pengesahan Perppu Cipta Kerja menjadi Undang-Undang Cipta Kerja. BEM UI juga mengubah akronim DPR menjadi Dewan Perampok Rakyat.
Selain memuat sejumlah kalimat kritik, unggahan itu juga menampilkan animasi dengan memuat meme Puan dengan badan tikus. Animasi itu juga disertai tulisan 'Kami Tidak Butuh Dewan Perampok Rakyat'.
Terkait unggahan tersebut, Ketua BEM UI Melki Sedek Huang menyebut hal itu sebagai bentuk kemarahan BEM UI atas sikap DPR.
"Saya rasa keseluruhan publikasi kami tersebut sudah menggambarkan kemarahan kami terhadap DPR hari ini," kata Melki pada Optika.id, Kamis (23/3/2023).
Melki mengatakan, BEM UI sudah melakukan penolakan Ciptaker sejak 2020 lalu yang awalnya diinisiasi Omnibus Law Ciptaker. Pada waktu itu, kata dia, BEM UI menilai bahwa proses pembentukan Omnibus Law tidak transparan. Apalagi, disahkan pada malam hari.
"Tetap disahkan malam-malam pun substansinya luar biasa bermasalah. Mengganggu kelestarian lingkungan hidup, mengancam kesejahteraan kelas pekerja, merampas tanah dengan sektor agraria yang ada di dalamnya, dan yang paling penting itu tidak menunjukkan keberpihakan sama sekali bagi kesejahteraan rakyat banyak," ujarnya.
Sedangkan untuk Perppu Ciptaker, sendiri kata Melki, BEM UI menolak adanya pelanggaran terhadap konstitusi yang dilakukan oleh Presiden Jokowi.
Melki menilai dengan sikap DPR yang mengesahkan Perppu Cipta Kerja menjadi UU berseberangan dengan kehadiran DPR yang seharusnya menjadi wakil rakyat. Dia menilai sikap DPR lewat pengesahan UU tersebut tidak sesuai dengan keinginan rakyat.
"Kami rasa DPR sudah tidak pantas lagi menyandang nama Dewan Perwakilan Rakyat dan lebih pantas diganti namanya menjadi Dewan Perampok, Penindas, ataupun Pengkhianat Rakyat. Sebab produk hukum inkonstitusional yang mereka sahkan kemarin jelas merampas hak-hak masyarakat, mengkhianati konstitusi, dan tak sesuai dengan isi hati rakyat," katanya.
"DPR harusnya menuruti putusan MK untuk memperbaiki UU Cipta Kerja dengan partisipasi bermakna, bukannya malah turut mengamini tindakan inkonstitusional Presiden Jokowi dengan mengesahkan Perppu Cipta Kerja yang menyalahi konstitusi," tambahnya.
Sehingga, kata Melki, secara formil dibentuknya Perppu Ciptaker sudah sangat salah. Akan tetapi, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI malah mengesahkannya menjadi UU.
"Sederhananya kalau BEM UI melihat, banyak sekali profesor hukum di dalam kabinet ini pura-pura tidak mengerti hukum, lalu membuat presiden Jokowi melanggar konstitusi. Sedangkan anggota DPR yang ada sekarang ini, anggota DPR yang bodoh dan tidak mengerti konsep-konsep hukum yang benar dalam merancang peraturan negara," bebernya.
Akan tetapi, Melki enggan membeberkan siapa saja profesor hukum yang dimaksudnya. Sehingga, Melki membiarkan masyarakat yang menilai akan hal tersebut.
"Itu biar publik saja yang menilai," tegasnya.
Bukan Sebuah Umpatan
Sementara itu, Melki juga merespons politikus senior PDIP, Hendrawan Supratikno, yang mengatakan mahasiswa seharusnya tak mengumbar umpatan terkait meme Ketua DPR Puan Maharani berbadan tikus. BEM UI menyebut meme itu bukan sebuah umpatan, melainkan kritik yang tepat.
"Bagi saya itu bukan sebuah umpatan, tapi itu adalah kritik yang tepat," kata Melki.
Dia menegaskan meme Puan berbadan tikus adalah ekspresi puncak kemarahan mahasiswa UI terkait disahkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Cipta Kerja, yang dinilai sama saja substansinya dengan UU Cipta Kerja.
"Jadi visualisasi dan berbagai hal yang kami publikasikan itu menggambarkan seluruh kemarahan kita. Bahwa orang-orang yang di dalam (DPR) itu bukan lagi mewakili kita, tapi mewakili berbagai kepentingan-kepentingan yang jelas bukan kepentingan rakyat. Sehingga tidak pantas lagi mereka menggunakan kata-kata Dewan Perwakilan Rakyat," ucapnya.
Melki lalu bicara soal demokrasi terkait dengan meme Puan berbadan tikus. Dia berpendapat semestinya seluruh partai politik paham.
"Ini kritik yang tepat, ranah yang demokratis, dan harusnya seluruh partai politik paham betul bahwa dalam negara demokrasi yang paling tinggi adalah kedaulatan rakyat, bukan cuma kedaulatan oligarki," ujar Melki.
Baca juga: Puan Sampaikan Terimakasih pada Mahasiswa Usai Revisi UU Pilkada Batal!
"Kita tidak melihat suara-suara penting terkait penolakan Cipta Kerja dikumandangkan. Malah mengesahkan produk hukum yang inkonstitusional. Itu yang sebenarnya ingin disampaikan dari publikasi tersebut," sambungnya.
3 Hal Perppu Ciptaker Langgar Konstitusi
Ada tiga hal yang menjadi dasar Melki menilai Perppu Cipta Kerja melanggar konstitusi. Pertama adalah karena Indonesia, menurutnya, tak sedang dalam situasi genting.
"Bagi kami, ini adalah upaya Presiden Jokowi yang sangat inkonstitusional. Dia menabrak aturan. Kenapa? Perppu Cipta Kerja ini diterbitkan dengan tidak memenuhi parameter yang ada di dalam Undang-Undang Dasar 1945, bahwa Perppu itu diterbitkan dalam keadaan kegentingan yang memaksa," jelasnya.
"Kita tidak bisa melihat kegentingan luar biasa jenis apa, dan apa upaya yang sedang dilakukan pemerintah dengan Perppu Cipta Kerja. Kalau dibilang berkaitan dengan inflasi, (Menteri Keuangan) Sri Mulyani mengatakan kondisi keuangan kita sedang baik-baik saja," imbuhnya.
Kedua, sebut Melki, dibuatnya Perppu Cipta Kerja dikaitkan dengan konflik Rusia dan Ukraina yang berdampak ke Indonesia. Dia lantas bertanya apa dampak konkret dan signifikan yang dialami Indonesia dari perang tersebut.
"Jika dikatakan ini berkaitan dengan konflik Rusia-Ukraina, ini perlu dijabarkan sejauh mana dampaknya secara langsung ke Indonesia," ujar Melki.
Terakhir, Melki juga mengkritik jika kegentingan diterbitkannya Perppu Cipta Kerja dikaitkan dengan lingkungan hidup. Sebab, katanya, pemerintah masih menerbitkan aturan-aturan yang dinilainya tak berpihak pada lingkungan hidup.
"Dan ketiga jika dibilang ini terkait dengan lingkungan hidup, nyatanya pemerintah sampai sekarang masih saja menerbitkan peraturan atau kebijakan yang nggak berpihak pada lingkungan hidup," tandasnya.
Statement UI
Universitas Indonesia (UI) buka suara terkait meme Ketua DPR RI Puan Maharani yang diedit dengan badan tikus oleh BEM UI. UI menghargai kebebasan menyampaikan aspirasi dengan cara-cara yang beradab.
Baca juga: Puan Maharani Setelah di IKN: Rumah Oke, Tidur Nyenyak
"Sebagai sebuah institusi pendidikan tinggi, Universitas Indonesia menjunjung tinggi kebebasan menyampaikan aspirasi. Dalam banyak hal sangat mungkin ada perbedaan persepsi dan pendapat. Kita tidak menafikan hal itu, dan menghargai perbedaan yang terjadi," kata Kepala Biro Humas dan Keterbukaan Informasi Publik (KIP) UI Amelita Lusia dalam keterangannya, Kamis (23/3/2023).
Dia menuturkan kebebasan beraspirasi juga harus disikapi dengan analisis persoalan cermat serta sesuai adab, budaya, dan undang-undang.
"Semangat kebebasan akademik tersebut mengedepankan kecermatan analisis persoalan secara komprehensif dari berbagai perspektif, akan mempertajam nalar dan memperkaya cakrawala sivitas akademika," ucap Amelita.
"Selanjutnya, penyampaian pendapat dan aspirasi harus dilakukan dengan cara-cara yang sesuai dengan adab, budaya, dan peraturan perundang-undangan Republik Indonesia yang mengikat semua warga negara termasuk sivitas akademika," imbuh dia.
Terakhir Amelita mengatakan perlu juga menjaga ketertiban hingga kehormatan seluruh pihak dalam menyampaikan aspirasi. "Walau ada perbedaan, pendapat dan aspirasi perlu disampaikan dengan tetap menjaga ketertiban, keamanan, keselamatan, dan kehormatan semua orang," kata dia.
Tanggapan PDIP
Politisi senior PDIP Hendrawan Supratikno menanggapi kritik dalam unggahan di media sosial BEM UI itu. Dia merasa khawatir BEM UI dimanfaatkan kelompok tertentu untuk berkegiatan yang keluar dari koridor dan etika akademik
"Saya khawatir ada yang memanfaatkan BEM-UI untuk melakukan ekspresi kegiatan yang keluar dari koridor dan etika akademik. Mahasiswa seharusnya menekankan krida-krida yang analitik-solutif. Menantang diskusi dan debat yang rasional- argumentatif. Bukan mengumbar umpatan dan narasi yang mendegradasi esensi tugas pokoknya," kata Hendrawan, Kamis (23/3/2023).
Hendrawan menyebut DPR melalui Badan Legislasi DPR mengadakan rangkaian acara untuk menyerap aspirasi para pihak yang relevan. Menurutnya, sejumlah guru besar dilibatkan untuk melakukan asesmen akhir, termasuk guru besar dari UI.
"Untuk mengantisipasi ekses yang tak diinginkan (unwanted effects) dari UU Ciptaker, kita harus membangun ekosistem dunia usaha yang lebih berkeadilan di masa depan. Di F-PDIP sedang dipikirkan dan diperdebatkan kemungkinan menggulirkan RUU Cipta Keadilan dengan metode omnibus," pungkasnya.
Editor : Pahlevi