Optika.id - Beberapa waktu yang lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyayangkan banyaknya masyarakat yang berobat ke luar negeri dibandingkan dengan berobat ke dalam negeri. Akan tetapi, fenomena banyaknya warga Indonesia yang berobat ke luar negeri tak hanya dilakukan dan dirasakan oleh masyarakat awam saja, melainkan juga dilakukan oleh para pemimpin bangsa Indonesia.
Baca juga: Mengungkap Mysophobia: Ketakutan Ekstrem terhadap Kotoran
Misalnya saja Presiden kedua Republik Indonesia (RI) Soeharto yang diketahui pernah berobat ke Hannover, Jerman pada tahun 1996 untuk memeriksakan kesehatannya mulai dari darah hingga jantung.
Tak hanya presiden kedua sekaligus yang terlama, presiden ketiga RI yakni BJ Habibie juga diketahui pernah dirawat di Rumah Sakit Klinikum Starnberg, Muenchen pada tahun 2018 silam akibat dari klep jantungnya yang bocor hingga membuatnya kesulitan bernafas. Dokter ketika itu menyarankan agar Habibie menjalani operasi jantung saja. Maka dari itu dirinya memilih untuk menggunakan metode yang lebih canggih dalam operasinya tersebut.
Kemudian di tahun 2001 setelah dilengserkan sebagai Presiden, Abdurrahman Wahid sebagai presiden keempat diketahui pernah melakukan pengobatan ke Amerika Serikat. Gus Dur, sapaan akrabnya pada saat itu mengalami tekanan darah yang tidak teratur.
Seolah tak ingin ketinggalan, presiden kelima RI, Megawati Soekarnoputri pada Mei 2001 silam juga tercatat berobat ke Singapura. Ketika itu, dirinya masih menjadi Wakil Presiden. Pada Oktober 2017 kemarin dirinya kembali berobat ke Singapura karena beberapa masalah kesehatan yang dialaminya.
Selanjutnya, ada Presiden keenam RI, yakni Susilo Bambang Yudhoyono alias SBY yang mengidap kanker prostat. Dirinya bertolak ke Amerika Serikat pada November 2021 lalu untuk berobat ke Mayo Clinic di Minneapolis yang memiliki pusat perawatan kanker mumpuni.
Baca juga: Kesehatan dan Alkohol: Apa yang Harus Anda Ketahui?
Sejatinya adalah hak dari pasien yang tidak bisa dipaksakan ketika hendak berobat ke luar negeri. Apalagi, dengan asumsi pengobatan di luar negeri jauh lebih maju dan canggih dibandingkan dengan negeri sendiri. Hal tersebut seharusnya juga dapat dicegah apabila pemerintah bisa menghadirkan sistem pelayanan kesehatan yang baik dengan ditunjang anggaran kesehatan yang memadai.
Melihat hal tersebut, Wakil Ketua Umum PB IDI, Slamet Budiarto menilai jika pemerintah tidak cukup menggelontorkan dana untuk kesehatan Indonesia. pasalnya, pemerintah hanya memberikan dana sebesar lima persen saja dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Indonesia (APBN) dan hal itu dinilai tidak cukup secara nilai keekonomian.
Dirinya juga berharap agar pemerintah tidak pelit terhadap kesehatan rakyat Indonesia dengan menaikkan anggaran sebesar 15 persen, bukannya 5 persen saja. Hal ini juga dinilai selaras dengan nilai keekonomian yang nantinya pengadaan fasilitas rumah sakit bakal lebih canggih.
Baca juga: Kenali Penyebab Kesemutan pada Wajah dan Waktu yang Tepat untuk Konsultasi
Masalahnya kita punya duit atau nggak? kalo kita duit masalahnya, kita punya komitmen nggak terhadap kesehatan. Jadi saya berharap, pemerintah tidak pelit terhadap kesehatan rakyat indonesia dengan menaikkan anggaran sebesar 15 persen. Sedangkan di Malaysia dan Singapura alatnya canggih-canggih karena pembiayaannya cukup, kata Slamet kepada Optika.id, Jumat (24/3/2023).
Di sisi lain dirinya menuntut keseriusan dair pemerintah untuk membuat sistem pelayanan kesehatan bertaraf internasional dengan fasilitas maju nan canggih. Pasalnya, dia menilai hambatan pelayanan kesehatan di Indonesia saat ini malah Kementerian Kesehatan itu sendiri.
Buat sistem pelayanan kesehatan yang bertaraf internasional. Sistemnya loh ya, kalo sistemnya sudah setara dengan internasional, otomatis RS serta Klinik juga ikutan baik. Terlebih itu baik buruknya pelayanan kesehatan di Indonesia tergantung Kemenkes didukung kementerian Keuangan. Kalo pelayanan kesehatannya buruk Menkesnya yang kurang pas, ucapnya.
Editor : Pahlevi