Optika.id - Kepala Staf Kepresidenan RI Moeldoko mengingatkan adanya ancaman kekeringan pada akhir tahun ini. Ancaman kekeringan ini bisa menyebabkan kegagalan panen pertanian, bertepatan pada saat tahun politik 2024.
Baca juga: Balas Dendam Manis, Demokrat Tak Sabar Lihat Wajah Moeldoko di Parlemen
Hal ini dikemukakanMoeldoko, dalam acara kuliah umum mengenai ketahanan pangan dan ketahanan energi di auditoriumUniversitas Jember, Kabupaten Jember, Jawa Timur, Jumat (24/3/2023). Tiga tahun terakhir ini kita memasuki (iklim yang diakibatkan) La Nina. Kondisi basah yang cukup baik, karena matahari juga memenuhi. Relatif panen kita baik, katanya.
Tapi saya selalu mengingatkan, fenomena alam setiap empat tahun sekali terjadi dari La Nina menuju El Nino, yaitu kondisi kering. Sekarang sudah mulai diinformasikan BMKG (Badan Meteorologi Klimatologi Geofisika) agar berhati-hati: ada enam titik api di Kalimantan. Ini indikasi menuju kekeringan. Perubahan itu terjadi pada Desember, kata Moeldoko.
Moeldoko khawatir dengan kondisi ini. Desember 2023 kita memasukitahun politik. Kekeringan terjadi. Panen raya kita biasanya pada ujung Maret sampai akhir April. Kalau terjadi kekeringan pada bulan itu, maka kita akan menghadapi kegagalan panen, katanya.
Baca juga: Moeldoko Heran Agus Rahardjo Buka Kembali Kasus Setnov: Pasti Muatan Politik!
Hal ini akan memicu kenaikan harga pangan. Selain masalahkegagalan panen, ada dua alasan kenaikan harga pangan yang harus diwaspadai, yakni kebijakan domestik sebuah negara dan konversi energi. Situasi globalgeopolitikini banyak mempengaruhi kebijakan sebuah negara dalam sektor pangan, kata Moeldoko.
Menurut Moeldoko, begitu harga energi naik, ada kecederungan terjadi konversi dari pangan ke energi. Jagung bisa menjadi biofuel. Tebu bisa jadibiofuel, sehingga harga gula bisa naik, harga minyak bisa naik, dan seterusnya, karena corn oil itu ada, katanya.
Baca juga: Moeldoko Bongkar Sederet Pejabat yang Pernah ke Al Zaytun, Siapakah Dia?
Sementara itu, menurut Moeldoko,produksi minyak dan gas diIndonesia mengalami penurunan dari waktu ke waktu. Dulu kira jadi anggota OPEC karena produksi kita di atas 1,5 juta barel. Sekarang produksi kita 700 ribu barel. Padahal kebutuhan kita 1,2 juta barel, sehingga sisanya impor, katanya.
Itu kondisi riil kita. Jadi kalau harga migas di atas 100 USD, maka kita akan kelimpungan. APBN kita ditarget 60 USD. Pasti tekor. Kedua, masyarakat pasti teriak karena harga BBM mau tidak mau akan merangkak naik, kata Moeldoko.
Editor : Pahlevi