Optika.id - Adanya stigma buruk yang melekat dalam masyarakat terkait pasien penderita Tuberkulosis (TBC) telah memperburuk penanganan TBC di Indonesia.
Menurut Kementerian Kesehatan (Kemenkes), tantangan utama dalam penanganan TBC sebenarnya bukan obat-obatan atau layanan kesehatan, melainkan stigma dari masyarakat itu sendiri.
Baca juga: Kasus Covid-19 Naik Jelang Nataru, Kemenkes: Masih Terkendali
Malu dikatakan TB, dianggap penyakit masyarakat yang tidak mampu, kata Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes Siti Nadia Tarmizi, dalam keterangannya yang diterima Optika.id, Jumat (31/3/2023).
Penanganan dan stigma TBC tersebut disampaikan oleh Nadia buntut dari meninggalnya seorang mahasiswa Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) akibat menderita TBC. Sampai saat ini, ujar Nadia, penanganan dan pemberantasan penyakit TBC merupakan program prioritas dari Kemenkes.
Akan tetapi, dalam upaya dan kasus kematian akibat TBC, masih banyak faktor yang mempengaruhi seseorang untuk enggan melapor. Penderita bisa saja mempunyai daya tahan tubuh yang rendah akibat kelelahan, disamping stigma dari masyarakat.
Selain itu, dalam kasus meninggalnya mahasiswa UMY, bisa saja si mahasiswa masih beradaptasi dengan gejala-gejala TBC yang baru dirasakannya tersebut.
Sudah ada karena baru, (ketika) mendapatkan pelayanan kesehatan dan biasanya tidak hanya paru. Tapi sudah meluas ke organ-organ lainnya (komplikasi), ujarnya.
Baca juga: Target Penurunan HIV AIDS di Indonesia Masih Belum Optimal
Adapun potensi lain yang menyebabkan mahasiswa tersebut meninggal bisa jadi karena stigma yang buruk dari lingkungan sekitar tentang penyakit TBC sehingga penderita telat untuk berobat ke layanan kesehatan.
Pasien biasanya terlambat ditangani karena gejala TBC kerap timbul dan hilang ketika terdiagnosis TBC. Gejala yang kerap muncul seperti batuk-batuk dan ketika meminum obat bisa hilang lalu gejala tersebut muncul kembali selama berpekan-pekan. Apalagi, ketika datang ke fasilitas layanan kesehatan dan ditanyai sudah batuk berapa hari dan dijawab baru tiga hari maka biasanya susternya sulit untuk mengidentifikasi. Sehingga, untuk mencegah hal tersebut terjadi saat ini Kemenkes bertindak jauh lebih agresif lagi.
Nadia meminta agar semua pihak menjadikan kasus meninggalnya mahasiswa UMY tersbeut sebagai pelajaran. Masyarakat diminta untuk segera melakukan pemeriksaan sputum melalui mikroskopis dan pemeriksaan tes cepat untuk mendapatkan penanganan secepat mungkin sesuai dengan diagnosis yang benar.
Baca juga: Kemenkes Tegaskan Pneumonia China Tak Akan Jadi Pandemi Baru di Indonesia
Untuk diketahui, sebelumnya seorang mahasiswa UMY bernisial UA berusia 21 tahun ditemukan meninggal dunia di kamar kos nya sepekan yang lalu di kamar kosnya, daerah Kasihan, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Meninggalnya mahasiswa tersebut diduga akibat penyakit TBC. Menanggapi hal tersebut, Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan UMY, Faris Al-Fadhat mengatakan pihaknya akan segera melakukan tindakan preventif agar kejadian serupa tidak terulang kembali. Salah satu cara yang dirinya beberkan adalah dengan melakukan skrining terhadap seluruh warga kampus mulai dari dosen hingga kalangan mahasiswa.
Editor : Pahlevi