Optika.id - Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham), Edwar Omar Sharif Hiariej alias Eddy Hiariej menegaskan bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) anyar bukanlah ajang balas dendam terhadap warisan kolonial belanda lantaran tidak berpatokan lagi pada hukum kolonial.
Baca juga: Centra Initiative: Jokowi Ubah Negara Hukum Menjadi Negara Kekuasaan
"KUHP sudah berorientasi pada keadilan korektif, keadilan restoratif dan rehabilitatif," urai Wamenkumham melalui keterangan tertulis, Kamis (30/3/2023).
Visi KUHP saat ini, menurut Wamenkumham tidak lagi berorientasi pada balas dendam serta bertujuan untuk menyatukan sosial masyarakat. Maknanya, kitab hukum yang telah disahkan oleh DPR pada tanggal 6 Desember 2022 silam, masih memberikan kesempatan kepada pelaku kejahatan untuk memperbaiki diri dan tidak serta merta langsung dijatuhi hukuman mati, melainkan untuk ditinjau kembali.
"Orang yang melakukan kesalahan masih diberikan kesempatan kedua untuk bertobat dan tidak lagi melakukan tindakan pidana, dengan cara mengevaluasi kelakuan dari terpidana. Jika baik, maka akan diampuni, toh itu merupakan hak asasi manusia juga," lanjut dia.
Oleh sebab itu, dirinya menyebutkan lima misi yang diusung oleh KUHP saat ini untuk mendukung hukum nasional yang beriklim sesuai dengan Indonesia beserta kulturnya.
Misi yang pertama, menurut Eddy yakni KUHP anyar menghilangkan dekolonisasi atau melepaskan bahkan menghilangkan hukum dan nuansa kolonial yang dianggap tidak relevan seperti KUHP lawas. Misalnya, Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.
Baca juga: Tersandung Kasus di KPK, Eddy Hiariej Mundur dari Wamenkumham
Sementara itu, misi kedua yakni KUHP mencoba untuk menghimpun kembali berbagai ketentuan yang berada di luar KUHP kini atau konsolidasi nasional melalui KUHP nasional yang baru dan terbebas dari KUHP kolonial.
Yang ketiga yakni KUHP nasional mengusung nuansa demokratisasi serta menjamin kebebasan berekspresi, berpendapat, mengeluarkan pikiran baik lisan dan tulisan. Akan tetapi, sambung Eddy, kebebasan itu diatur dengan serangkaian pembatasan.
Pembatasan tersebut, ujar Eddy, juga merujuk pada uji materi yang telah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Uji materi tersebut terkait dnegan beberapa pasal yang dianggap merintangi demokrasi seperti yang diprotes oleh masyarakat beberapa waktu yang lalu.
Baca juga: Apakah Senjata Api Harus Dilegalkan di Indonesia?
Keempat, melakukan sinkronisasi dan harmonisasi dengan berbagai peraturan perundang-undangan di luar KUHP yang terdapat sanksi pidana. Terakhir, KUHP yang baru berlaku efektif pada 2 Januari 2026 tersebut mengusung misi modernisasi. Dengan kata lain, KUHP sudah menyesuaikan perkembangan zaman terutama aspek teknologi, pungkas Eddy.
Sebagai informasi, KUHP nasional ini sempat ditentang oleh berbagai pihak lantaran pasal-pasalnya dianggap tidak sesuai dengan demokrasi dan mengancam kebebasan masyarakat dalam menyampaikan pendapat di ruang publik. baik secara langsung, maupun di media sosial.
Editor : Pahlevi