Optika.id - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengungkapkan bahwa potensi politik uang di Provinsi Jawa Timur (Jatim) pada Pemilu 2024 sangat tinggi.
Baca juga: Komnas HAM Harap Kekerasan yang di Papua Harus Dievaluasi
Komisioner Komnas HAM, Saurlin Siagian, menyampaikan hal ini dalam laporan Pengamatan Situasi Pemenuhan Hak Konstitusional Kelompok Rentan Marginal Pada Pemilu dan Pilkada Seretak 2024 yang dikumpulkan antara bulan April dan Mei 2023.
Menurut Saurlin, Jawa Timur rentan terjadi politik uang. Beberapa indikator yang membuat Komnas HAM menyimpulkan demikian adalah karena Jatim memiliki banyak kawasan industri.
Selain itu, banyak penduduk Jatim yang tidak tinggal sesuai dengan alamat KTP mereka, sehingga para kandidat pemilu dapat memanfaatkan situasi tersebut.
Saurlin menjelaskan bahwa di Jawa Timur terdapat sekitar 65 ribu perusahaan dengan sekitar 3,95 juta pekerja, tetapi perusahaan-perusahaan tersebut terpusat di beberapa wilayah. Sebagai hasilnya, warga yang bekerja jauh dari tempat tinggal harus mengeluarkan biaya yang cukup besar untuk bisa memberikan suara dalam pemilu.
Karena itu, para kandidat berlomba-lomba dalam memobilisasi para pekerja. Saurlin menyebut bahwa asosiasi pekerja yang mereka temui sering kali diarahkan oleh orang-orang yang memiliki uang. Kompleks industri menjadi faktor penting dalam hal ini, di mana pihak yang melakukan mobilisasi biasanya memiliki kepentingan tertentu.
Tak hanya di Jatim, Komnas HAM juga menemukan potensi tinggi terjadinya politik uang di wilayah Kalimantan Barat (Kalbar) yang berbatasan dengan Malaysia pada Pemilu 2024 mendatang.
Baca juga: Bawaslu Depok Hentikan Kasus Politik Uang Caleg Gerindra
Komisioner Komnas HAM, Anis Hidayah, mengatakan bahwa wilayah yang harus diperhatikan terutama adalah Entikong, Kalbar, yang berbatasan dengan daerah Kuching, Malaysia.
Anis menjelaskan bahwa praktik politik uang di Kalbar melibatkan jual-beli suara dan transaksi politik di wilayah perbatasan, khususnya di antara Entikong dan Kuching. Ia juga menyebut bahwa pada Pemilu 2019, politik uang banyak terdeteksi di wilayah tersebut, sehingga hal ini menjadi pengalaman yang perlu diperhatikan untuk mengantisipasi pemilu mendatang.
"Kalbar itu praktek politik uangnya adalah praktek jual beli suara dan transaksi politik di wilayah perbatasan, jadi di antara Entikong dan Kuching," kata Anis, Jumat (12/5/2023).
"Jadi transaksi itu terjadi berbasis pada pengalaman pada pemilu sebelumnya," tambahnya.
Baca juga: Suramnya Hak Asasi Manusia di bawah Pemerintahan Prabowo-Gibran
Menurut Anis, alasan tingginya potensi politik uang di wilayah perbatasan adalah minimnya pengawasan.
Oleh karena itu, Komnas HAM akan memberikan rekomendasi berdasarkan hasil pemantauannya kepada pihak-pihak terkait, terutama Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
Anis menekankan pentingnya menyampaikan praktik jual-beli suara di wilayah perbatasan ini karena pengawasan di wilayah tersebut sangat minim.
Editor : Pahlevi