Suramnya Hak Asasi Manusia di bawah Pemerintahan Prabowo-Gibran

author Uswatun Hasanah

- Pewarta

Jumat, 23 Feb 2024 17:43 WIB

Suramnya Hak Asasi Manusia di bawah Pemerintahan Prabowo-Gibran

Surabaya (optika.id) - Para petinggi dan pegawai di sejumlah lembaga nasional hak asasi manusia (LNHAM) sedang harap-harap cemas menanti keputusan di Pemilu 2024. Kekhawatiran mereka beralasan. Pasalnya, lembaga yang beranggotakan Komisi Nasional (Komnas) HAM, Komnas Perempuan, Komnas Disabilitas, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), serta Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) memprediksi bahwa LNHAM dan penanganan HAM bakal dilemahkan usai pemilu.

Komisioner Komnas HAM, Anis Hidayah dalam deklarasi bersama di Kantor Komnas HAM, Jakarta Pusat pada Selasa (6/2/2024) lalu menyebut jika dia dan para kawannya di LNHAM sedang mencermati proses politik selama masa kampanye dan lima debat Pilpres 2024. Mereka berkesimpulan bahwa ada ancaman yang mengintai bagi eksistensi LNHAM.

Baca Juga: Apresiasi Presiden Prabowo untuk Peran Strategis Muhammadiyah

Kami menuntut komitmen dari pemerintah hasil Pemilu 2024 untuk memperkuat lembaga nasional hak asasi manusia, dan sebaliknya tidak melakukan pelemahan, baik dalam hal kewenangan, anggaran, maupun SDM (sumber daya manusia), kata Anis kepada wartawan. 

Dalam jumpa pers tersebut, Anis beserta petinggi LNHAM lainnya menegaskan bahwa Komnas HAM dan kawan-kawannya akan terus berkomitmen untuk memantau secara jeli kinerja pemerintah di bidang perlindungan HAM. Khususnya dalam menghormati, melindungi, dan memenuhi HAM dan kelompok rentan lainnya.

Kekhawatiran yang Beralasan

Dosen Ilmu Hukum dan HAM Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Manunggal Kusuma Wardaya menilai jika kekhawatiran LNHAM sangat beralasan. Pasalnya, sejauh ini berdasarkan hasil hitung cepat dari beberapa lembaga survei dan rekapitulasi Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, pasangan nomor urut 02, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka hampir mencapai finalnya memenangi Pilpres 2024.

Jika Prabowo-Gibran berkuasa, ucap Manunggal, maka penyelidikan dan penyidikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu bakal lebih sulit diungkap, bahkan mungkin dikubur selamanya. Pasalnya, Prabowo merupakan salah satu terduga pelaku pelanggaran HAM berat di masa lalu. Dia diduga (karena pengadilannya tidak pernah jelas) terlibat dalam kasus penghilangan paksa aktivis mahasiswa pada periode 1997 1998.

"Selama ini, penyelidikan pelanggaran HAM berat masa lalu selalu kandas di tangan pemerintah. Kejaksaan selalu menolak hasil penyelidikan KomnasHAM dengan alasan kurang alat bukti. Sangat wajar apabila ini (pengungkapan kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu) dikhawatirkan akan semakin jauh dari harapan," ucap Manunggal kepada Optika.id, Jumat (23/2/2024).

Baca Juga: Presiden Prabowo akan Hadiri Tanwir dan Milad ke-112 Muhammadiyah di Kupang

Tak dapat dipungkiri bahwa ancaman pelemahan dan delegitimasi LNHAM nantinya sangat mungkin terjadi melalui perubahan undang-undang yang memayungi Komnas HAM dan LNHAM lainnya. Misalnya, pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

"KPK yang semula lembaga independen menjadi di bawah presiden. Seharusnya kalau KPK jadi lembaga independen, alasan pemberhentian presiden karena korupsi bisa dilakukan. Tetapi, bagaimana bisa seorang presiden itu diinvestigasi karena korupsi kalau tidak ada lembaga yang independen?" kata Manunggal. 

Pemerintah yang berkuasa nantinya menurut Manunggal memiliki kecenderungan untuk menghalang-halangi penyelesaian berbagai kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu yang sampai saat ini belum bisa terselesaikan. Dia berkaca pada mandegnya proses investigasi Komnas HAM dalam sejumlah kasus pelanggaran HAM berat di tangan Kejaksaan Agung (Kejagung) di era Jokowi.

Kejagung seolah melemparkan bola ping-pong pada hasil penyelidikan Komnas HAM dengan alasan yang tidak jelas misalnya bukti tidak lengkap. mestinya, imbuh Manunggal, ada kesungguhan Kejagung untuk memberi tugas Komnas HAM agar bisa melakukan penyitaan atau penggeledahan. Namun, tindakan itu tidak dilakukan.

Baca Juga: Kado Awal Tahun: UMP Naik 6,5 Persen, Kesejahteraan Guru Meningkat Signifikan di 2025

"Ini kan bukan karena norma enggak ada, tetapi karena niat politik yang tidak ada," ucap Manunggal. 

Nihinya niat politik tersebut menurut Manunggal terlihat gamblang dengan diizinkannya orang-orang yang memiliki catatan hitam di bidang pelanggaran HAM untuk membuat partai, bahkan diangkat menjadi pejabat.

"Itu yang mempersulit untuk penyelidikan, penyidikan atau bahkan sampai ke pengadilan HAM ad hoc," kata Manunggal. 

Editor : Pahlevi

BERITA TERBARU