Optika.id - Meskipun pihak MK (Mahkamah Konstitusi) belum membacakan keputusannya tentang sistem pemilu 2024 akan datang namun pernyataan Denny Indrayana bahwa MK telah memutuskan sistem proporsional tertutup (SPTp) telah merebak ke mana-mana.
Baca juga: Junimart Minta Semua Pihak Hormati Keputusan MK Soal Sistem Proporsional Terbuka
Bahkan ancaman MenkoPolhukam (Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan), Mahfud MD, yang minta polisi mengusut orang MK yang membocorkan keputusanpun tidak bisa menghentikan wacana tersebut.
Sementara itu SBY (Susilo Bambang Yudhoyono), Presiden RI ke6, melalui Twitternya merespon tentang dugaan putusan MK mengenai Sistem Proporsional Tertutup tersebut.
SBY katakan, jika yang disampaikan Denny Indrayana 'reliable', bahwa MK akan menetapkan sistem proporsional tertutup, dan bukan sistem proporsional terbuka seperti yang berlaku saat ini, maka hal ini akan menjadi isu besar dalam dunia politik di Indonesia, Liputan 6, 29 Mei 2023, 08:53 WIB.
"Apakah ada kegentingan & kedaruratan sehingga sistem pemilu diganti ketika proses pemilu sudah dimulai? Ingat, DCS (Daftar Caleg Sementara) baru saja diserahkan kepada KPU. Pergantian sistem pemilu di tengah jalan bisa menimbulkan 'chaos' politik," tulis SBY via akun Twitter pribadinya @SBYudhoyono, Minggu (28/5/2023).
Menurut SBY yang berhak menetapkan Undang Undang sistem pemilu adalah Presiden dan DPR. Bukan MK. Mestinya Presiden dan DPR punya suara tentang hal ini. Mayoritas partai politik telah sampaikan sikap menolak pengubahan sistem terbuka menjadi tertutup. Ini mesti didengar," pesan SBY lagi.
SBY menjelaskan, dalam menyusun DCS, Parpol dan Caleg berasumsi sistem pemilu tidak diubah atau tetap menggunakan sistem terbuka. Perubahan di tengah jalan oleh MK, bisa menimbulkan persoalan serius, terutama KPU dan Parpol harus siap kelola 'krisis' akibat perubahan tersebut.
Untuk menghindari situasi 'chaos' tersebut, SBY menyarankan pemilu 2024 tetap menggunakan sistem proporsional terbuka. Lalu setelah pemilu 2024, Presiden dan DPR duduk bersama untuk menelaah sistem pemilu yang berlaku, untuk kemungkinan disempurnakan menjadi sistem yg lebih baik dengan mendengarkan suara rakyat.
Zulhas Bakal Demo 5.000 Massa Tiap Hari?
Sebagaimana kita ketahui Zulhas, sapaan akrab Zulkifli Hasan, Ketua Umum DPP PAN (Dewan Pimpinan Pusat Partai Amanat Nasional), pernah melontarkan pernyataan bakal mengerahkan massa 5.000 orang setiap hari untuk menentang keputusan MK, jika diputuskan SPTp, Optika.id, Sabtu, (26/2/2023).
Pernyataan Zulhas saat itu tampaknya untuk menyatakan optimisme bahwa MK bakal tetap memutuskan SPTb. PAN bersama 7 parpol lainnya, yaitu PKB (Partai Kebangkitan Bangsa), PPP (Partai Persatuan Pembangunan), Partai Demokrat (PD), Partai Golkar, Partai Gerindra, PKS (Partai Keadilan Sejahtera), dan NasDem berada dalam satu kubu menentang SPTp.
Dugaan putusan MK dari Denny Indrayana itu tentu saja mengagetkan dan merupakan masalah serius. Masalah hidup mati kehidupan partai politik mereka.
Baca juga: Akhirnya MK Putuskan Coblos Caleg
Banyak yang berpendapat jika benar MK putuskan SPTp maka merupakan kemunduran demokrasi. Hal ini bakal memancing banyak respon dari masyarakat.
Menurut Anas Urbaningrum, mantan Ketua Umum DPP Partai Demokrat, kembali kepada sistem proporsional tertutup merupakan kemunduran yang nyata. Ia menilai, kembalinya sistem itu menunjukkan telah terjadi arus balik dari perjalanan demokrasi bangsa Indonesia, Optika.id, (29/5/2023).
Lebih lanjut Anas katakan elite-elite politik kembali diistimewakan, sedangkan pemilih kembali sebagai obyek politik. Anas menekankan, itu sama saja dengan mengembalikan pemilih hanya sebagai ornamen-ornamen dari demokrasi.
"Jika benar sistem proporsional tertutup yang diputuskan oleh MK, sungguh itu arus balik dalam demokrasi kita, langkah mundur yang nyata," kata Anas seperti dikutip Optika.id dari akun Twitter pribadinya, @anasurbaningrum, Senin (29/5/2023).
Pengamat: Hakim MK Dikendalikan Istana
Mengomentari dugaan MK bakal menetapkan SPTp dalam pemilu 2024,Dr Abdul Aziz SR, dari Fisip Universitas Brawijaya, sebagai sesuatu yang mengejutkan. Menurut Aziz sangat mengherankan kalua MK memutuskan SPTp. MK itu lembaga negara amanat reformasi justru mengesahkan pengembalian sistem pemilu ke pola-pola otoritarian.
Baca juga: MK Putuskan Coblos Parpol: Kembali Beli Kucing Dalam Karung
Menurut Aziz pemilu itu salah satu instrumen penting dalam demokrasi. Jika kemudian ia didesain dalam kerangka otoritarianianisme, maka pemilu itu pun menjadi kehilangan makna. Jika menjadi bagian dari otoritarianisme, lalu untuk apa ada pemilu? Bukankah itu sia-sia? Sekaligus tindakan bodoh dan pembodohan di era dunia modern, tulisnya dalam WhatsApp kepada Optika.id, 29/5/2023.
Aziz menduga bahwa setidaknya ada tiga kemungkinan MK memutuskan SPTp. Pertama, mayoritas hakim-hakim MK berada di bawah kendali kekuasaan tertentu, oligarki ekonomi, dan partai politik tertentu.
Kedua, mayoritas hakim-hakim MK tidak benar-benar ahli di bidang Ilmu Hukum (Tata Negara dan Konstitusi). Mereka hanya sekadar bergelar Sarjana Hukum, tetapi diragukan kepakarannya. Jika demikian, tentu mereka juga buta huruf tentang demokrasi dan filosofi pemilu yang berakar dalam Ilmu Politik.
Ketiga, mayoritas hakim-hakim MK tidak memiliki bayangan tentang masa depan bangsa dan negara untuk dibangun dalam sistem (politik, hukum, ekonomi) yang bertumpu pada prinsip-prinsip keadilan dan demokrasi. MK sungguh telah secara telanjang mengambil putusan yang anti demokrasi.
Tulisan: Aribowo
Editor : Pahlevi