Peninjauan Kembali Moeldoko Soal Demokrat Jadi Pintu Masuk Pemakzulan Jokowi?

Reporter : Seno

Optika.id - Beberapa waktu lalu mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Prof Jimly Asshiddiqie berpendapat sikap Moeldoko yang ingin mengambil alih Demokrat bisa jadi pintu masuk pemakzulan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Baca juga: Balas Dendam Manis, Demokrat Tak Sabar Lihat Wajah Moeldoko di Parlemen

Pakar Hukum Tata Negara Denny Indrayana mengaku setuju dengan pernyataan tersebut. Hal tersebut bisa dilihat dengan apakah Jokowi setuju dengan pembajakan politik tersebut.

"Secara hukum, jika kondisi normal, DPR harus mengajukan hak angket untuk menyelidiki apakah Presiden Jokowi memberikan persetujuan atas langkah pembajakan politik yang dilakukan KSP Moeldoko tersebut," kata Denny Indrayana dikutip Optika.id dari akun Twitter-nya, Senin (5/6/2023).

Jika terbukti memang ada persetujuan Presiden Jokowi, maka proses pemakzulan berlanjut ke MK. Jika tidak terbukti, tentu proses harus berhenti.

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Prof Jimly Asshiddiqie sebelumnya berpendapat PK Moeldoko bisa jadi pintu masuk untuk pemakzulan Jokowi

"Bisa aja kalau dia dengan sengaja untuk melakukan tindakan yang menyalahi aturan karena kan sudah bersumpah. Kalau soal pintu masuk sih bisa aja," kata Prof Jimly Asshiddiqie.

Dia mengatakan, banyak hal yang bisa menjadi pintu untuk pemakzulan Jokowi. Misalnya saja saat pemecatan Hakim MK Aswanto, saat membuat Perppu Cipta Kerja dan terakhir memperpanjang masa jabatan KPK menjadi lima tahun.

"Saya kan sudah bilang waktu Hakim MK dipecat. Itu pintu masuk. Kan dia bisa bikin Perppu, memperpanjang masa jabatan seenaknya. Toh DPR telah dikuasai, telah disetujui. Jadi pintu masuknya itu banyak. Apa dasarnya hakim Aswanto diberhentikan," jelasnya.

Lebih lanjut kata Anggota DPD dari Jakarta ini mengaku telah mempertanyakannya ke Menko Polhukam Mahfud MD soal ini.

Dia menyebut hal ini juga bertentangan dengan apa yang diyakini oleh Mahfud jika dilihat dengan tulisan bukunya Mahfud.

"Saya sudah bilang sama Pak Mahfud selalu Menko, dasarnya begini nggak boleh. Tapi alasannya inikan sudah dari DPR. Berarti cara berpikirnya sangat formalistik prosedural, bertentangan dengan Mahfud sendiri. Keadilan substantif, demokrasi substantif," ungkapnya.

"Kan gitukan di bukunya dia soal ceramah ini sangat prosedural. Alasannya itu nggak bisa, ini sudah di DPR. Dia (presiden) politisi segi dia menunggangi. Coba kalau dia bertindak sebagai negarawan, kepala negara bukan kepala pemerintah," tambahnya.

Menurutnya, Mahkamah Agung ini sama seperti itu. Dia (Jokowi) akan membiarkan itu dalam arti karena dia politik, politisi, transaksional. Dari segi hukum bisa diperdebatkan bahwa ini nggak salah. Bukan saya kok, katanya.

Soal Moeldoko, Mantan Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum ini mengatakan, Moeldoko setingkat menteri tapi bukan Menteri, harusnya KSP itu melayani pimpinan bukan mengurus partai.

"Makanya saya pernah menyarankan. Sebaiknya Moeldoko itu diberhentikan dari KSP. Biar tidak menimbulkan citra yang buruk," tandasnya.

Jokowi Tak Tahu

Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengaku tidak mengetahui manuver kepala Kantor Staf Presiden (KSP) Moeldoko yang hendak mengambil-alih Partai Demokrat.

Upaya pemakzulan kubu Moeldoko terkait kepengurusan Partai Demokrat sempat menghebohkan publik.

Hingga kini, polemik kepemimpinan Partai Demokrat masih menjadi sorotan.

Terakhir, kubu Moeldoko telah mengajukan PK terkait Kepengurusan Partai Demokrat.

Pada satu kesempatan, Ketua Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) menemui Jokowi di Istana Bogor beberapa waktu lalu.

Baca juga: Moeldoko Heran Agus Rahardjo Buka Kembali Kasus Setnov: Pasti Muatan Politik!

AHY disebut sempat bertanya soal manuver Moeldoko yang ingin mengambil-alih Partai Demokrat.

Sekretaris Jenderal Demokrat, Teuku Riefky Harsya menyebut, saat itu Jokowi sejatinya ingin bertemu dengan Susilo Bambang Yudhoyono terkait kisruh Partai Demokrat yang juga diklaim pihak Moeldoko.

"Sebenarnya, pihak Istana menyampaikan bahwa Presiden Joko Widodo ingin bertemu dengan Bapak SBY dengan tujuan untuk memberikan klarifikasi atas apa yang dilakukan Kepala Staf Presiden Moeldoko tentang gerakannya untuk mengambilalih kepemimpinan Partai Demokrat yang sah," ungkap Teuku Riefky, Rabu (31/5/2023). Namun, permintaan itu ditolak SBY.

SBY beralasan, paling tepat Jokowi bicara dengan Ketum Demokrat AHY untuk membahas masalah tersebut.

"Waktu itu, Bapak SBY menjawab bahwa yang paling tepat untuk mendengarkan penjelasan Presiden Joko Widodo adalah Ketua Umum AHY. Singkat kata, AHY diundang untuk hadir di Istana Bogor tanggal 9 Maret 2021 malam hari," ungkap Teuku Riefky

Selanjutnya, AHY bertemu dengan Jokowi dan Mensesneg Pratikno.

Dalam kesempatan itu, Jokowi mengaku tidak tahu menahu soal manuver yang dilakukan Moeldoko yang hendak merebut Partai Demokrat.

"Dalam pertemuan dengan AHY di Istana Bogor malam itu, Presiden Joko Widodo dengan didampingi oleh Mensesneg Pratikno menjelaskan bahwa beliau tidak tahu menahu dengan apa yang dilakukan oleh KSP Moeldoko untuk mengambilalih Partai Demokrat. Begitulah pengakuan dari Presiden Joko Widodo yang disampaikan kepada Ketua Umum AHY," terang Teuku Riefky

Kubu Moeldoko Ajukan PK Kepengurusan Partai Demokrat

Upaya Pemakzulan rezim Agus Harimurti Yudhoyono ( AHY ) di Partai Demokrat, disebut kembali dilakukan oleh kubu Moeldoko, Demokrat versi KLB.

Baca juga: Moeldoko Bongkar Sederet Pejabat yang Pernah ke Al Zaytun, Siapakah Dia?

Kubu Moeldoko dikabarkan telah mengajukan PK terkait polemik Kepengurusan Partai Demokrat.

Kabar tersebut membuat kubu Demokrat versi Cikeas dan KLB kembali memanas.

Kuasa Hukum Moeldoko yang juga Kepala Departemen Komunikasi dan Informatika DPP Partai Demokrat hasil Konferensi Luar Biasa (KLB), Saiful Huda mengatakan, peninjauan kembali (PK) merupakan ranah lembaga judicial Mahkamah Agung (MA).

Menurutnya, informasi mengenai PK pertama kali diungkapkan oleh Ketua Umum Partai Demokrat AHY.

"Yang pertama kali mengungkapkan adanya pengajuan PK termasuk empat bukti baru (novum) yang diajukan oleh Partai Demokrat KLB yang diketuai oleh Jendral Moeldoko tersebut adalah AHY yang merupakan Ketua Umum Partai Demokrat versi Cikeas," ujar Saiful dilansir Kompas.com, Sabtu (8/4/2023).

"Maka kami berpendapat, persoalan PK dan empat novum yang kami ajukan ke MA tersebut, sebaiknya ditanyakan langsung pada AHY yang mulai linglung, sebab AHY lah yang pertamakali mengungkap hal tersebut ke publik," jelasnya.

Saiful melanjutkan, sudah berpuluh tahun Partai Demokrat terpuruk karena perilaku beberapa anggota keluarga yang secara paksa berusaha menguasai Partai Demokrat dengan cara menguasai seluruh pucuk pimpinan partai dan merubah AD/ART secara sepihak.

Dia menuturkan, proses itu dilakukan tanpa sepengetahuan para pengurus dan peserta kongres Partai Demokrat.

"Maka yang terjadi kemudian Partai Demokrat yang pada awalnya penuh dengan figur tokoh politisi-politisi ulung dan profesional ini menjadi lemah dan tak berdaya," kata Saiful.

"Karena itu mereformasi total Partai Demokrat dan membersihkannya dari politisi-politisi penghamba SBY merupakan fokus tugas kerja keras kami semenjak Partai Demokrat KLB kami selenggarakan," tegasnya.

Editor : Pahlevi

Politik
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru