Optika.id - Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti memaparkan pentingnya Utusan Golongan di MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara. Dia juga menekankan pentingnya mengembalikan sistem bernegara sesuai rumusan para pendiri bangsa.
Baca juga: Klarifikasi LaNyalla Soal Sebutan Dukung Anies, Seperti Apa?
Hal itu disampaikan LaNyalla dalam FGD bertajuk Siapakah Utusan Golongan MPR dan Bagaimana Pengisiannya? di Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar. Hadir sejumlah narasumber seperti Prof. Dr. Aminuddin Ilmar, S.H., M.H. (Dosen Fakultas Hukum Unhas), Prof. Dr. Phil. Sukri Tamma, M.Si. (Dekan Fisip Unhas) dan Dr. Fitra Arsil, SH., MH. (Dosen Fakultas Hukum UI).
Di FGD tersebut, LaNyalla hadir didampingi Senator asal Sulawesi Selatan, Tamsil Linrung. Pada forum ini, LaNyalla menegaskan Utusan Golongan membuat demokrasi menjadi berkecukupan, karena menjamin keterwakilan secara kualitatif.
Utusan Golongan menjamin keterwakilan secara kualitatif. Karena Utusan Golongan merupakan pelaku aktif, tidak melepaskan identitas organisasi dan profesinya sebagai utusan dari pegiat-pegiat di bidangnya, kata LaNyalla, Senin (12/6/2023).
Menurut LaNyalla, jika keanggotaan MPR hanya diisi melalui mekanisme Pemilu, maka demokrasi yang berkecukupan tidak akan terpenuhi. Pemilu hanya sanggup menjamin keterwakilan secara kuantitatif, baik distrik maupun proporsional.
LaNyalla menyebut, sistem bernegara rumusan para pendiri bangsa adalah sistem tersendiri yang paling cocok bagi Indonesia. Dalam risalah catatan persidangan BPUPK dan PPKI, para pendiri bangsa sudah sepakat bangsa ini tidak akan bisa menjalankan sistem demokrasi liberal barat murni, atau sistem komunisme timur.
Hal itu Karena Indonesia memiliki konfigurasi sosial, budaya, ekonomi dan geografis yang amat kompleks. Kondisi tersebut hanya bisa ditampung dalam sistem Demokrasi Pancasila.
Hanya sistem Demokrasi Pancasila dengan Lembaga Tertinggi yaitu MPR yang mampu menampung semua elemen bangsa sebagai bagian dari penjelmaan rakyat. Dengan kata lain, rakyat sebagai pemilik kedaulatan memiliki saluran dan memiliki ruang keterlibatan di dalam lembaga negara, untuk ikut menentukan arah perjalanan bangsa ini, katanya.
Mengenai gagasan pengisian Utusan Golongan di MPR yang ditawarkan oleh DPD RI, Rahmatun Nair dari perwakilan Nahdlatul Ulama menyambut baik hal itu. Utusan Golongan, menurutnya, harus dihadirkan kembali sebagai amanat dari Konstitusi asli.
Selain itu niat utama dari DPD RI adalah faktor keseimbangan, sehingga memang perlu perwakilan secara kuantitatif diimbangi dengan perwakilan kualitatif.
Baca juga: Sistem Pemilu Terbuka, LaNyalla Usulkan DPR Diisi Peserta Perseorangan
Saya pribadi setuju dengan diadakannya kembali Utusan Golongan. Persoalan pertama adalah perlunya payung hukumnya. Hal itu yang perlu dipikirkan dengan baik, karena setelah tidak ada kok kemudian akan diadakan lagi, katanya.
Setelah legitimasi atau payung hukumnya ada, lanjut pria yang biasa disapa Rahmat, persoalannya adalah variabel pengisian Utusan Golongan tersebut.
Rahmat menyarankan agar tidak terlalu jauh memakai teori barat atau mengadopsi dari negara lain. Sebab, kearifan lokal Indonesia sangat banyak contoh.
Kita kaya akan sistem kearifan lokal yang bisa dipakai menjadi variabel pengisian Utusan Golongan di MPR. Jangan terlalu jauh melihat ke luar negeri. Kita contoh dari budaya atau adat suku-suku yang ada pada bangsa ini, tuturnya.
Sementara itu, Prof. Dr Aminudin Ilmar, Dosen Hukum Unhas, justru mengatakan lebih baik memasukkan Utusan Golongan di kamar DPD, sekaligus memperkuat peran DPD.
Baca juga: LaNyalla: Kurangnya Suplai Pakan Ternak Picu Harga Telur Melambung!
Caranya dengan memasukkan Utusan Golongan ke dalam DPD RI. Supaya ada sistem kesetaraan dengan DPR, DPD tidak hanya 4 orang, tetapi ditambah dari Utusan Golongan tersebut, sehingga apa yg diputuskan DPR bisa divetto oleh DPD RI, ujar dia.
Prof. Dr. Phil. Sukri Tamma, M.Si. (Dekan Fisip Unhas) mengatakan mereka sedang mencoba untuk meraba-raba, Utusan Golongan tersebut memakai basis apa. Dikatakannya, organisasi atau golongan di Indonesia sangat banyak. Artinya, bisa saja semua minta menjadi utusan.
Kalau bicara jangka pendek memang Utusan golongan bisa memakai indikator umum. Ada lembaga keagamaan, golongan profesi dan lain-lain. Tinggal diatur supaya adil. Apakah hanya diwakili satu orang, atau berapa, ini problem juga yang harus ditemukan basisnya, tukas dia.
Dr. Fitra Arsil, SH., MH, Dosen Fakultas Hukum UI menyampaikan variabel pengisian Utusan Golongan secara teknis memang repot. Karena harus mengakomodasi banyak kelompok yang ada di Indonesia. Namun menurutnya, Utusan Golongan di MPR bisa saja diisi seperti di luar negeri.
Yang menjadi permasalahan adalah siapa yang bisa masuk ke dalam Utusan golongan. Kita bisa mencontoh negara lain. Ada yang diangkat langsung oleh kepala negara, dipilih oleh komunitasnya, atau otomatis karena jabatannya. Misalnya mantan presiden, bisa jadi Utusan atau tokoh-tokoh yang berjasa, katanya.
Editor : Pahlevi