Optika.id - Rahmat Bagja, Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), menyatakan bahwa laporan mengenai pelanggaran pemilu terkait politik uang selama masa kampanye harus akurat dan tepat. Terlebih lagi, Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengingatkan bahwa sistem pemilu proporsional terbuka memiliki potensi politik uang yang lebih besar.
Baca juga: Bawaslu Bakal Tindak Iklan Kampanye di Luar Jadwal
Menurut Bagja, Bawaslu akan mengambil tindakan terhadap laporan politik uang jika dilengkapi dengan bukti yang valid. Dia menjelaskan, "Pelanggaran pidana pemilu harus didasarkan pada keakuratan. Kami tidak dapat menuduh seseorang dengan mengatakan, 'Pak, saya mendapatkan dari sana'. Tanpa adanya bukti, tidak mungkin kami dapat mengambil tindakan."
Pernyataan tersebut disampaikan oleh Bagja di Kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) di Jakarta Pusat pada hari Jumat (16/6/2023).
Dia menegaskan bahwa laporan yang hanya berdasarkan rumor dan tidak dapat dibuktikan tidak akan ditindaklanjuti oleh Bawaslu. Bagja menjelaskan bahwa ketika ada masyarakat yang menerima politik uang dari pihak terkait, laporan akan ditindaklanjuti jika terdapat saksi dan bukti yang meyakinkan.
Lebih lanjut, Bagja menekankan bahwa bukan hanya calon atau partai politik peserta pemilu yang dapat terkena pidana akibat politik uang, tetapi juga masyarakat yang menerima uang tersebut.
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan untuk menolak seluruhnya gugatan terhadap sistem pemilu proporsional terbuka. Ketua MK, Anwar Usman, mengumumkan putusan tersebut dalam perkara Nomor 114/PUU-XX/2022. "Menolak permohonan provisi para pemohon," ujar Anwar di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat, pada hari Kamis (15/6/2023).
Dia juga menambahkan, "Menolak permohonan para pemohon secara keseluruhan." Dengan demikian, sistem pemilu proporsional terbuka akan tetap diterapkan pada Pemilu 2024.
Editor : Pahlevi