Optika.id - Beberapa waktu yang lalu pemerintah resmi melonggarkan kebijakan penggunaan masker lantaran sudah menerapkan transisi dari pandemi ke endemi. Masyarakat ramai merespon kebijakan tersebut. Ada yang setuju dan merasa senang sudah terbebas dari masker yang dianggap pengap, ada yang enggan untuk melepaskan masker begitu saja.
Baca juga: COVID-19 Melonjak Lagi, Kemenkes Ingatkan Masyarakat Lengkapi Vaksin Booster
Seperti Dinda (27), seorang pekerja kantoran di Jakarta ini mengaku tetap menggunakan masker medis dalam kesehariannya. Baik bekerja, maupun ketika berada di transportasi umum seperti KRL, MRT, maupun Transjakarta.
Alasannya sederhana, dia mengaku telah terbiasa dengan masker dan dirinya juga belum sepenuhnya percaya terhadap kesehatan penumpang lain.
"Pilih pakai masker aja. Sudah jadi kebiasaan juga kan. Terus bisa jadi filter polusi udara yang tahu sendiri udara Jabodetabek udah enggak sehat, penumpang lain juga enggak terjamin sudah vaksin apa belum, ucap Dinda kepada Optika.id di Stasiun Kranji, Bekasi, Rabu (21/6/2023).
Tak hanya Dinda saja, penumpang lain juga banyak yang masih mengenakan masker kendati kebijakan penggunaan masker sudah dilonggarkan sehingga masyarakat sebenarnya sudah bisa melepas masker di tempat umum.
Sebenarnya, selain bagian dari kebiasaan, apa yang membuat masyarakat enggan melepaskan masker kendati kebijakan pelonggaran sudah ditetapkan?
Dalam jurnal ilmiah yang ditulis oleh Gita Widya Soerjoatmodjo dari Universitas Pembangunan Jaya, dijelaskan bahwa ada beberapa faktor mengapa seseorang memutuskan untuk mengenakan masker ataukah tidak.
Faktor-faktor tersebut antara lain kecakapan diri (self-efficacy), altruism, risk assessment atau pertimbangan risiko, kebutuhan untuk punya kendali atau kepastian, menyesuaikan dengan diri sendiri, persepsi akan keadilan hingga berbagai variasi status sosial ekonomi lainnya.
Kemudian, menurut Rissalwan Lubis seorang Sosiolog dari Universitas Indonesia, ada dua faktor yang membuat mengapa masyarakat belum secara serempak meninggalkan masker dalam keseharian, khususnya transportasi umum.
Menurut Rissalwan, yang pertama yakni pemerintah dinilai masih belum bisa tegas mengenai aturan tidak wajib masker sebagai transisi dari pandemi ke endemi ini. Terlebih lagi, masih ditemui berbagai papan imbauan wajib masker di tempat-tempat publik sehingga masyarakat jadi gamang hendak melepaskan masker.
Yang kedua, Rissalwan memandang tren menggunakan masker ini sudah ada sejak sebelum pandemi Covid-19 merebak. Masker khususnya digunakan oleh masyarakat individualis yang enggan melakukan interaksi dengan orang lainnya di ruang publik.
Baca juga: Epidemiologi Imbau Peningkatan Covid-19 Jelang Libur Nataru
Dia menilai jika masker identic dengan medium untuk mendukung individu mengaburkan identitas. Sehingga, masker menjadi cara untuk mengurangi tingkat interaksi dengan orang lain yang tidak dikenal atau hendak sekadar berbasa-basi.
"Jadi bagi orang yang individualis ini momen yang sangat pas, kenapa masker harus dilepas? Kan mereka memang nggak pingin kelihatan untuk menghindari interaksi," ungkap Rissalwan kepada Optika.id, Rabu (21/6/2023).
Terkait fenomena individualistis yang kerap menimpa masyarakat urban, Rissalwan menganggap jika hal tersebut sudah terjadi bahkan sebelum pandemi Covid-19. Misalnya, negara tetangga Indonesia, Singapura sendiri turut mengalami fenomena serupa. sebagian penduduknya enggan melepaskan masker dan lebih nyaman memakainya
Kendati demikian, Rissalwan menyebut jika faktor kebiasaan bukan menjadi alasan utama seseorang untuk memilih tetap mengenakan masker kendati tiga tahun ke belakang ini masyarakat rutin memakai masker dengan alasan kesehatan.
Dia menilai jika seorang manusia tidak akan terbiasa memakai masker lantaran dalam kondisi normal, memakai masker akan menimbulkan ketidaknyamanan bagi para pemakaianya. Bahkan, masker dianggap mengganggu aktivitas normal, sulit bernafas, dan lain sebagainya.
Meskipun begitu, imbuhnya, harus ada yang dikorbankan dari mayoritas masyarakat yang masih mengenakan masker. Salah satunya adalah terganggunya interaksi sosial serta sosialisasi antar manusia.
Baca juga: Kasus Covid-19 Naik Jelang Nataru, Kemenkes: Masih Terkendali
Maka dari itu, dia menyarankan agar pemerintah lebih tegas dalam membuat aturan baru setelah dicabutnya status darurat pandemi Covid-19 ini agar masyarakat tidak bingung.
Terlebih, penggunaan masker juga dapat disalahgunakan. Misalnya, bagi orang yang berniat jahat dan menyembunyikan identitasnya.
Enggak usahlah pakai kata-kata politis yang susah dipahami masyarakat seperti imbauan, anjuran, dan lain-lain itu. Yang tegas gitu lho. Boleh enggak pakai masker, gitu kan beres, katanya.
Oleh sebab itu menurutnya tempat-tempat tertentu yang cukup strategis seperti perbankan, mestinya sudah menerapkan masker yang sudah wajib dibuka terlebih dahulu. Kecuali, tempat-tempat khusus yang memang memerlukan penggunaan masker, seperti rumah sakit.
"Pemerintah enggak boleh malu-malu, harus tegas kalau buka ya buka semua karena akan mengganggu interaksi. Harus adacampaignbaru, kalau sakit nggak usah keluar rumah," jelas Rissalwan.
Editor : Pahlevi