Optika.id - Jakarta tidak pernah sepi dengan berita kejahatan, kekerasan dan kriminalitas. Aksi kejahatan, tindakan kekerasan dan kasus kriminalitas telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari warga Jakarta. Bahkan, beberapa kawasan di kota Jakarta sudah ditetapkan sebagai daerah rawan aksi kejahatan.
Baca juga: KPU Jakarta Belum Temukan Pelanggaran Soal Lolosnya Calon Independen!
Pada masa Orde Baru, pengawasan tradisional seperti penjaga malam meronda keliling perkampungan ditampung secara resmi dan terjalin rapi dengan kantor-kantor kepolisian dan barak militer setempat. Memasuki Era Reformasi, pengawasan tradisional warisan Orde Baru ini bertumpang tindih dengan pengawasan keamanan yang dibentuk oleh warga secara mandiri.
Keperluan pengawasan keamanan yang bertujuan untuk mencegah aksi kejahatan, tindakan kekerasan dan kasus kriminalitas ini juga berlaku di ruang publik lainnya seperti pasar, lokalisasi dan tempat-tempat hiburan sejenisnya.
Tempat paling rentan akan aksi kejahatan, tindakan kekerasan dan kasus kriminalitas adalah pasar. Masing-masing pedagang membayar retribusi kepada pengelola pasar. Akan tetapi, tagihan biaya juga mereka bayar kepada penyedia perlindungan informal yang tak resmi.
Setiap pedagang yang membuka lapaknya di pasar-pasar tradisional di Jakarta harus membayar pungutan liar kepada preman yang menguasai kawasan tertentu.
Bagi pedagang kaki lima yang menjajakan barang dagangannya di luar area pasar, mereka mendapat beban pungutan yang lebih banyak, mereka membayar pajak kebersihan, pungutan preman dan pungutan-pungutan lain dari oknum-oknum polisi, tentara ataupun petugas pemerintah daerah.
Akan tetapi, menurut Jerome Tadie dalam buku Jakarta; Upaya Mengendalikan Ibu Kota dalam buku Revolusi Tak Kunjung Selesai: Potret Indonesia Masa Kini berbagai dalih perlindungan pengawasan tidak membuat pedagang kaki lima aman dari penggusuran polisi pamong praja dan aksi-aksi kejahatan lainnya. Karena seringkali pencopet menyetorkan sebagian hasil curiannya kepada oknum aparat kepolisian, maka area tertentu rentan aksi kriminalitas yang justru merugikan para pedagang.
Bahkan, seorang pedagang kaki lima yang berasal dari Jawa Tengah mengeluhkan preman Tanah Abang. Warsiman kerapkali membayar pungutan kepada preman yang tidak pernah membelanya ketika terjadi razia polisi satuan pamong praja. Warisman merindukan zaman Hercules berkuasa dulu.
Lebih enak zaman Hercules, bayar cuma Rp.1000 sehari, terus ga ada razia lagi. Kalau sekarang kan cuma mau duitnya doang, kalau ada razia kita dibiarin gitu saja, kata Warisman dalam keterangannya di media.
Hercules Rosario Marshal merupakan seorang preman terkenal yang menguasai pasar Tanah Abang pada tahun 1990-an. Sepak terjang Hercules bermula dari keterlibatannya sebagai anggota yang memegang logistik dalam komando pasukan khusus (Kopassus).
Ketika operasi militer, Hercules terkena musibah. Tangan kanannya hilang hingga siku dan salah satu matanya tertembak. Ia pun dirawat secara intensif di RSPAD Jakarta. Setelah pulih dan menjalani rehabilitasi di Hankam Seroja, ia memulai karirnya di dunia bawah yang penuh kekerasan.
Ia bertarung dengan sengit di daerah tak bertuan yang dikenal sebagai Lembah Hitam. Perkelahian dan pertikaian antar preman seringkali menelan korban jiwa. Hercules merangkul teman-temannya dari Timor Timur dan membangun kekuasaannya, bahkan hingga membawahi 17.000 anak buah yang tersebar di seluruh Jakarta.
Pada pertengahan 1980-an, Hercules mengukuhkan kekuasaannya di Tanah Abang. Setelah pensiun dari dunia bawah, Hercules memilih berbisnis dan mengikuti berbagai kegiatan bakti sosial. Pada 2012, Hercules dikabarkan aktif sebagai Ketua Umum Gerakan Rakyat Baru (GRIB) yang dibina Prabowo Subianto.
Hercules adalah nama kebesaran yang identik dengan preman Tanah Abang. Meskipun, kini Hercules tidak lagi menguasai Lembah Hitam tersebut, ia tetap dikenang sebagai preman Tanah Abang. Bahkan, kebesaran namanya nantinya memudahkannya dalam mengembangkan berbagai kegiatannya.
Selain Hercules, preman Jakarta yang terkenal dan mempunyai kedekatan dengan militer dan pemerintah adalah Imam Sjafei atau Bang Piie. Seperti Hercules, Bang Piie adalah veteran perang yang tidak secara resmi tergabung dalam kesatuan militer.
Baca juga: Kotak Kosong Masih Belum Pasti Terjadi untuk Pilgub DKI Jakarta!
Bang Piie mengumpulkan bekas laskar pejuang Perang Revolusi Fisik dan menghimpunnya dalam kelompok yang dikenal dengan sebutan Cobra. Bang Piie dan anak buahnya menguasai wilayah Jatinegara, Jakarta Utara, Jakarta Pusat, kawasan Tanah Abang dan bahkan pengaruhnya mencakup wilayah Jawa Barat.
Pada Perang Revolusi Fisik, Bang Piie dan anak buangnya merampas senjata api dari tangsi-tangsi militer Belanda di sekitar kawasan Senen dan Salemba. Bang Piie juga menghimpun kelompok khusus yang beranggotakan para pencopet.
Kelompok Sebenggol yang terdiri dari pejuang berinsting pencuri ini mampu logistik dan persenjataan serdadu Belanda di gudang-gudang dan pos-pos militer di Solo.
Pada 1948, Bang Piie dan anak buahnya pergi ke Madiun untuk menumpat orang-orang PKI. Pada 24 Februari 1966, Presiden Soekarno menunjuknya untuk menjabat sebagai Menteri Urusan Keamanan.
Akan tetapi, peristiwa G 30 S melengserkannya yang baru saja memegang tampung kekuasaan selama dua bulan. Peralihan kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru melemparnya sebagai tumbal. Ia dituduh terlibat dalam peristiwa G 30 S oleh penguasa rezim Orde Baru.
Bang Piie dan anak buahnya turut berpartisipasi dalam menumpas bekas laskar yang menamai dirinya, Bambu Runtjing. Pada permulaan tahun 1950-an, Bambu Runtjing mengadakan serangkaian teror bengis yang tidak segan-segan membakar, merampok bahkan membantai orang.
Bambu Runtjing yang berkeliaran di Jakarta pada 1950 terlibat baku tembak dengan aparat kepolisian yang mengakibatkan empat anggotanya tewas di lokasi kejadian.
Baca juga: Sapa Warga, Anies Dengarkan Aspirasi Rakyat Jakarta!
Bambu Runtjing kerapkali meneror kawasan pinggiran Jakarta. Bahkan, kelompok bersenjata api yang mempunyai berbagai amunisi ini mampu mengubah nuansa Jakarat menjadi semakin suram. Selain Bambu Runtjing, kelompok Bulloh dan Mat Item juga merampok beberapa rumah warga di daerah pinggiran Jakarta.
Kelompok Bulloh pernah menggorok leher korbannya dengan golok hingga hampir putus. Kelompok Bambu Runtjing, Bulloh dan Mat Item yang melancarkan berbagai aksi perampokan kejam dengan bersenjatakan pistol dan amunisi menandakan kekacauan pasca-kemerdekaan di Indonesia, tulis M. Fauzi dalam Kriminalitas dan Kekerasan di Jakarta pada 1950-1960-an, dikutip Optika.id, Selasa (27/6/2023).
Senjata api dan berbagai amunisi tidak hanya dimiliki aparat kepolisian dan tentara. Akan tetapi, preman-preman dan berbagai anggota bekas kelaskaran yang merampas senjata dan amunisi dari gudang dan pos-pos militer Belanda juga memilikinya.
Aparat kepolisian tidak mampu menjaga keamanan seiring pemerintah belum sanggup menyediakan lapangan pekerjaan bagi bekas pejuang yang tidak terserap dalam keanggotaan kesatuan militer.
Keahlian seorang bekas pejuang yang terhimpun dalam berbagai laskar hanya seputar merakit bom, menembak musuh, merancang strategi dan hal-hal sejenis lainnya. Dan mereka akan terluntah-lunta karena tidak mempunyai keahlianapapun.
Di samping itu, mereka harus menghadapi kehidupan dunia yang masih berlanjut pasca Perang Revolusi Fisik. Akhirnya, mereka memilih menekuni kembali keahliannya untuk membiayai hidup dengan jalan masing-masing, baik meniti karir di dunia bawah sebagai preman, pencopet, perampok atau profesi lain sejenisnya.
Editor : Pahlevi