Pengamat Soroti China yang Tak Lagi Paksa Indonesia Pakai APBN Sebagai Jaminan Utang Proyek Kereta Cepat, ini Alasannya

Reporter : Eka Ratna Sari

Optika.id - Gigin Praginanto, seorang pengamat kebijakan publik, memperhatikan China yang disebut telah melunak dan tidak lagi memaksa Indonesia menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagai jaminan utang terkait proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB).

Baca juga: Pertemuan Tertutup Jokowi dan Prabowo: Momen Penting di Solo

Gigin Praginanto memberikan tanggapannya melalui akun Twitter pribadinya. Dalam cuitannya, ia menilai bahwa hal tersebut hanya trik yang amatir.

"Ini trik amatir. Karena anggaran untuk pembayaran utang kepada China tidak termasuk dalam APBN, mereka menggantinya dengan nama anggaran untuk PII," ujar Gigin Praginanto seperti yang dikutip dari akun Twitter pribadinya @giginpraginanto, Senin (3/7/2023).

"Ibu kota. sama dengan utang BUMN yang tidak termasuk dalam APBN karena diganti dengan PMN. Hanya mengubah penamaan saja," tambahnya.

Sementara itu, Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves), Septian Hario Seto, menegaskan bahwa Indonesia dan China Development Bank (CDB) telah sepakat mengenai pinjaman utang untuk memperluas biaya proyek kereta cepat.

Seto juga memastikan bahwa APBN tidak lagi diminta sebagai jaminan.

"Sekarang sudah tidak (China meminta jaminan APBN), menggunakan PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (PII) sekarang, sama seperti yang lain. PII sudah disetujui, siap. Tidak jauh berbeda dengan PLN, Mandalika, dan lain-lain," kata Seto.

"Ada struktur PII. Mereka (China) sebelumnya belum memahaminya. Setelah kami jelaskan, begini-begini, oh iya sudah. Seperti hubungan asmara, awalnya tidak saling mengenal," tambah Seto.

Baca juga: Aneh! Jelang Lengser Kepuasan Terhadap Jokowi Tinggi, tapi Negara Bakal Ambruk

Bahkan, Seto mengungkapkan bahwa suku bunga pinjaman tersebut telah turun dari kesepakatan sebelumnya 3,4 persen. Ia menyebutkan bahwa CDB setuju untuk menurunkan suku bunga utang tersebut menjadi 3,2 persen.

Meskipun tidak sesuai dengan target awal 2 persen, Seto berargumen bahwa angka 3,2 persen sudah ideal untuk era saat ini. Ia membandingkan tenor dengan suku bunga yang ditawarkan oleh Pemerintah AS, yang jauh lebih tinggi dari tawaran China.

"Sudah selesai. Sekarang 3,2 persen, setuju 3,2 persen. Insya Allah, kesepakatan akan ditandatangani. Belum ditandatangani, masih ada prosesnya, tapi ini sudah menjadi kesepakatan," tegas Seto.

"Sekarang, ketika Pemerintah AS menerbitkan obligasi, berapa suku bunganya? Kami mendapatkan pinjaman selama 45 tahun, bagaimana dengan obligasi AS selama 30 tahun? Berapa suku bunganya? 3,9 persen. Jadi, suku bunga yang diberikan kepada kita lebih rendah daripada obligasi Pemerintah AS. Menurut saya, tawaran yang diberikan oleh CDB sudah sangat baik," lanjut Seto.

Baca juga: Dosa-dosa Jokowi

Menurutnya, sulit untuk mencapai kesepakatan suku bunga 2 persen seperti pada tahun 2017. Pasalnya, suku bunga global saat ini berbeda.

Dengan demikian, pemerintah berpikir secara rasional dengan membandingkan tawaran dari China dan produk dari AS. Perbedaan tersebut akhirnya membuat Indonesia yakin untuk berutang kepada China.

"Jadi, saya membandingkannya dengan Pemerintah AS. Pada saat itu, saat kita mendapatkan 2 persen, Pemerintah AS memberikan 2,7 persen hingga 2,8 persen. Jadi, perbedaannya adalah apa yang kami lihat, dan ini hanya untuk 30 tahun. Kami memiliki pinjaman selama 45 tahun dan masa tenggang selama 15 tahun, kami tidak perlu membayar cicilan selama 15 tahun pertama. Jika dibandingkan dengan Pemerintah AS, ini lebih murah. Di mana lagi kita bisa mendapatkannya?" pungkasnya.

Editor : Pahlevi

Politik
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru