Optika.id - Malam satu suro atau satu Muharram merupakan malam yang sacral bagi masyarakat Jawa. Di sisi lain, bulan Muharram merupakan bulan yang sacral bagi umat Muslim yang mana satu Muharram adalah tahun bagi umat Muslim. Dalam suatu hadis, disebutkan pula bahwa bulan Muharram, bersama bulan Rajab, Dzulqaidah dan Dzulhijjah adalah bulan yang dilarang (haram) untuk melakukan peperangan.
Baca juga: Situ Sarkanjut dan Mitos Kejantanan Pria, Benarkah?
Sementara itu, masyarakat Jawa menganggap bahwa bulan Muharram, yang disebut sebagai Suro atau Suroan sebagai bulan yang sacral, terlebih lagi pada malam satu suro. Banyak yang mengganggap bahwa malam satu suro adalah turunnya jin-jin, pusaka-pusaka dan benda keramat lain harus dicuci atau disucikan, dan mengadakan ruwatan agar terhindar dari balak atau malapetaka.
Benarkah demikian?
Menurut staf pengajar dari jurusan Sejarah Universitas Padjajaran, Widyo Nugrahanto, awal mula dari masyarakat Jawa yang sering memandikan pusaka seperti tombak atau keris, melakukan ritual pribadi maupun bersama masyarakat dimulai oleh keraton. Dan hal tersebut sudah dilakukan sejak Sultan Agung berkuasa di Mataram.
Ritual itu menurut saya, awalnya untuk menyambut tahun baru Jawa. Yang menghubungkan dengan hantu itu adalah masyarakat modern sekarang. Pada awalnya, ritual-ritual itu untuk upacara adat yang ditujukan kepada Tuhan, kata Anto kepada Optika.id, Jumat (21/7/2023).
Menurut Anto, banyak ritual yang ditujukan sebagai penghormatan kepada Yang Maha Kuasa, dituding sebagai upacara keramat dan dikaitkan dengan hantu-hantuan. Misalnya, dahulu orang Jawa memasang kemenyan, atau hio sebagai pengharum ruangan maupun supaya lebih konsentrasi dalam meditasi akan tetapi saat ini malah disangka sedang melakukan ritual tertentu dan memanggil para lelembut.
Anto menilai jika pergeseran makna tersebut disebabkan oleh masyarakat modern yang lebih berbudaya dan sifatnya rasional. Sehingga, masyarakat modern memandang hal-hal yang sifatnya berbau kepercayaan lokal identic dengan mistis karena dianggap tidak rasional.
Ketika disinggung mengenai produk budaya populer yang turut mempopulerkan stigma malam satu suro yang seram seperti film, televise, media sosial maupun podcast, Anto mengamini bahwa media berperan serta dalam propaganda tersebut. Di sisi lain, produk dari budaya populer itu tetap langgeng lantaran mengikuti apa yang sudah menancap dalam kepala masyarakat.
Semua yang berbau kepercayaan lokal dianggap seram dan mistis. Jadi, dibuatlah film. Agar laku, ya pasti pakai sesuatu yang dipercaya atau beredar di masyarakat, ujar Anto.
Padahal, Anto menyebut jika ritual yang dilakukan di keraton merupakan bentuk akulturasi budaya Jawa dan Islam yang mana Sultan Agung, raja Jawa pertama itu memadukan kalender Islam dan Jawa sehingga memunculkan bduaya baru, salah satunya adalah satu Suro. Ritual-ritual yang dilakoni di sekitar satu Suro pun oleh sebagian orang dianggap sebagai mistis, keramat hingga sesat. Otomatis, anggapan tersebut melanggengkan jika satu Suro, termasuk malam harinya, adalah malamnya lelembut, seram, dan mistis.
Lebih lanjut Anto menyayangkan hal tersebut. Pasalnya, cerita-cerita horror yang beredar di masyarakat yang sudah digiring kepada mitos bisa mengancam tradisi lokal Indonesia.
Baca juga: Berbagai Tradisi di Jatim Rayakan Tahun Baru Islam 1444 H
Cerita-cerita yang ada itu sudah digiring kepada mitos. Bila kisah-kisah menyeramkan dihubung-hubungkan secara masif dan terus-menerus dengan tradisi lokal kita, bisa-bisa punah, tuturnya.
Dari Sultan Agung Hingga Ritual Keraton
Dalam buku Misteri Bulan Suro: Perspektif Islam Jawa yang ditulis oleh Muhammad Sholikhin, dijelaskan bahwa kata Suro merupakan sebutan untuk bulan Muharam oleh masyarakat Jawa. Kata tersebut berasal dari Bahasa Arab yakni Asyura yang berarti sepuluh, mengacu pada 10 Muharam. Pada tanggal tersebut, umat Muslim dianjurkan berpuasa Sunnah Asyura. Akan tetapi, lidah orang Jawa menyebut asyura sebagai Suro.
Jadilah kata Suro sebagai khazanah Islam-Jawa asli sebagai nama bulan pertama kalender Islam maupun Jawa, tulis Muhammad Sholikhin dalam bukunyaMisteri Bulan Suro; Perspektif Islam Jawa, dikutip Optika.id, Jumat (21/7/2023).
Muhammad Sholikhin menyebut jika bulan Suro muncul ketika Sultan Agung menjadi Raja Mataram pada tahun 1613 1645. Sultan Agung yang berkuasa saat itu mengganti kalender Saka yang sudah ada sejak zaman Hindu menjadi kalender Jawa.
Baca juga: Meriahkan Pergantian Tahun Baru 1444 H, Lamongan Kembali Adakan Pawai Ta'aruf
Isdiana dalam skripsinya yang berjudul Tradisi Upacara Satu Suro dalam Perspektif Islam, menulis jika Sultan Agung ingin segala hal yang berkaitan dengan perilaku orang Jawa selalu terikat dan terkait dengan nilai-nilai Islam.
Kalender Jawa hasil karya Sultan Agung itu dimulai dari satu Suro tahun Alip 1555, dan itu bertepatan dnegan satu Muharram 1043 Hijriah. Menurut Isdiana, penentuan tahun baru Jawa kalender Sultan Agung tersebut mulai diberlakukan tanggal 8 juli 1633.
Lebih lanjut,Wahyana Giri dalam buku Sajen dan Ritual Orang Jawa, menjelaskan jika bulan Suro dimaknai sebagai bulan yang suci oleh kalangan keraton baik Yogyakarta maupun Kasunanan Surakarta. Menurut Wahyana, di bulan Suro, orang-orang wajib melakukan introspeksi diri, menghayati eksistensinya sebagai manusia, serta lebih mendekatkan diri kepada Tuhan.
Akhirnya, momen bulan Suro digunakan oleh kalangan keraton sebagai momentum untuk membersihkan diri untuk melawan godaan hawa nafsu. Terlebih, dalam Islam, bulan Muharram memang sacral karena Tuhan melarang peperangan terjadi di bulan Muharram.
Secara turun-temurun, orang-orang di keraton dan kasunanan menggelar berbagai tradisi laku tirakat. Salah satunya menggelar selamatan khusus selama satu minggu berturut-turut dan tidak boleh berhenti, tulis Wahyana Giri dalamSajen dan Ritual Orang Jawa.
Editor : Pahlevi