Hoaks dan Kebimbangan Media dalam Era Post-Truth

Reporter : Uswatun Hasanah

Optika.id - Di era post-truth alias pasca-kebenaran saat ini, hal yang tak terelakkan dalam media adalah munculnya hoaks, disinformasi, dan kawan-kawannya. Apalagi, saat ini setiap orang bisa menjadi agen produsen berita untuk dirinya, orang lain, atau bahkan publik.

Baca juga: Gagal Maju Pilgub Jadi Hal Untung bagi Anies, Kok Bisa?

Era post-truth lazimnya ditandai dengan publik yang mulai abai terhadap sebuah fakta, dengan emosi yang mendominasi.

Untuk diketahui, istilah post-truth dipopulerkan pada 1992 oleh seorang novelis sekaligus dramawan Serbia-Amerika, Steve Tesich. Steve menulisnya dalam The Nation sebagai kritik dan refleksi terhadpa skandal Iran dan Perang Teluk.

Istilah ini kemudian makin populer kala kamus Oxford Dictionary memasukkan post-truth dengan dua peristiwa penting takni kemenangan Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat (yang kala itu penjualan 1984 George Orwell meningkat pesat) dan keluarnya Inggris Raya dari Uni Eropa (Brexit).

Wisnu Prasetya Utomo, seorang peneliti media dalam tulisannya berjudul Selamat Datang di Era Post-Truth di Remotivi, dikutip Optika.id, Kamis (27/7/2023) menyebut jika saat ini media dilanda oleh kebimbangan untuk menghadapi banyaknya pernyataan bohong yang dilontarkan oleh para poltiikus.

Kebimbangan media, imbuhnya, paling terlihat pada tahun 2016 lalu kala Amerika Serikat sedang pesta Pilpres. Media di Amerika kerap menyiarkan kebohongan serta klaim sepihak dari Donald Trump yang membuat dirinya semakin populer di mata rakyat. Alhasil, Donald Trump muncul dengan kemenangannya sebagai presiden negara adidaya itu.

Pemanfaatan media yang sedang bimbang dalam arus politik tersebut lantaran berita bisa diperluas dan ditafsirkan secara bebas di media sosial oleh warganet. Oleh sebab itu, orang bsia saja jadi percaya dengan propaganda yang disebarkan secara berulang-ulang.

Di sisi lain, menangkal hoaks yang beredar baik di media sosial maupun platform perpesanan seperti grup WhatsApp memang bukanlah hal mudah. Hal tersebut adalah konsekuensi logis dari hidup di era post-truth saat ini. Menangkal dan membedakan kebenaran dan kebohongan, ujar Wisnu, bukanlah sesuatu yang mudah.

Mendekati tahun-tahun politik 2024, tentunya saat ini banyak hoaks yang beredar di media sosial. Baik diedarkan oleh buzzer maupun warganet biasa. Lantas, bagaimana cara menyudahi berita bohong yang terlanjur tersebar di linimasa media sosial, termasuk hoaks yang sangat mungkin diproduksi oleh media arus utama maupun generasi milenial dan Gen Z yang sudah melek teknologi?

Upaya yang Sulit

Nieman Reports dalam laporannya menyusun perihal tantangan mengetahui apa yang nyata di dewasa ini dengan melakukan survei kepada 6000 mahasiswa AS dari Universitas Alaska, Universitas Michigan, Universitas Texas dan Universitas Wellesley. Hasilnya, respondes tersebut merindukan kualitas jurnalisme yang lebih baik di tengah simpang siur dan brutalisme informasi yang membuat sesak jagad maya.

Baca juga: Besok, PDI-Perjuangan Akan Usung Risma Jadi Kandidat Cagub Jatim

Sekitar 82ri responden tersebut sepakat jika berita merupakan hal yang penting dalam demokrasi sementara 63% lainnya setuju tentang pentingnya mengikuti berita terbaru. Umumnya mereka tidak begitu senang dengan banyaknya bias dalam pelaporan berita saat ini.

Lebih lanjut, hanya 14% responden yang mengaku bisa mengidentifikasi mana informasi asli mana yang hoaks, mereka paham bahwa hoaks sudah mengikis sedikit demi sedikit kepercayaan mereka terhadap berita yang muncul di media sosial maupun media massa sehingga mereka melakukan verifikasi terhadap berita yang muncul tersebut.

Dalam laporan tersebut juga dijelaskan faktor warganet yang kesusahan dalam mengidentifikasi informasi mana yang benar dan mana yang palsu alias hoaks. Faktor tersebut adalah kerja mesin yang sudah super canggih dengan dua program yang berperan penting yakni bot dan algoritma.

Bot dibuat dan dirancang untuk memperkuat penyebaran informasi sementara algoritma memprioritaskan hal-hal actual dan populer.

Misalnya di Twitter, bot berfungsi untuk memberi tanda suka, retweet, aatau mengikuti akun orang tanpa mesti dioperasikan oleh manusia.

Kendati demikian, dalam artikel berjudul Fighting Post-Truth yang tayang di The Humanist, Lee Mclntyre menjelaskan jika tak banyak hal yang bisa dilakukan untuk melawan arus disinformasi saat itu.

Baca juga: Polwan di Surabaya Tegur Pria Sedang Makan, Ini Penjelasannya!

Sementara itu, dalam buku True Enough: Learning to Live in a Post-Fact Society, Farhad Manjoo mengatakan bahwa solusi terbaik dari arus disinformasi di era post-truth ini adalah dengan bijak menyeleksi informasi.

Kita tidak boleh berasumsi bahwa klaim apapun bisa dipercaya. Kebohongan diceritakan, karena orang mengatakannya, dan seketika berubah jadi kebenaran ketika itu terus direpetisi. Sehingga, tugas kita hanya menjadi manusia yang skeptis, tulis Manjoo dalam bukunya itu.

Farhad menegaskan bahwa saat ini jurnalis juga memiliki tanggung jawab yang lebih banyak untuk bisa skeptic terhadap isu-isu yang muncul belakangan ini. Namun dirinya tidak menampik bahwa ini adalah suatu pekerjaan yang sulit.

Maksimal yang bisa kita lakukan hanya mengecek kembali sumber, berpikir sebelum membagi, agar tak dimanfaatkan oleh pembuat berita palsu, ujar Maggie.

Akhirnya, mengutip kata novelis Inggris George Orwell, Kita sekarang telah tenggelam dalam jurang di mana penyajian kembali (fakta) yang jelas adalah tugas pertama dari orang-orang cerdas.

Editor : Pahlevi

Politik
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru