Optika.id - Penerapan sistem tanam paksa yang digadangkan oleh Gubernur Jendral Van Den Bosch merupakan satu masa penting dalam gerakan buruh. Dari sinilah muncul sistem paksaan yang mengharuskan petani bertranformasi menjadi buruh.
Baca juga: Obral Kursi Menteri Untuk AHY dan Demokrat yang Pikun Konflik Agraria
Pasca kerja paksa, sistem politik dan kebijakan pertahanan memasuki babak baru, yakni era ekonomi liberal yang berlaku di Hindia Belanda. Sistem ini memberikan dampak sosial-ekonomi yang signifikan terutama dalam lingkup pertanian atau perkebunan.
Berbicara mengenai perkebunan, Indonesia sudah sejak lama mengalami berbagai macam fase transformasi di lingkup perkebunan. Dalam sejarahnya indonesia mengalami dua macam fase perkebunan. Fase pertama adalah fase perkebunan negara dan fase kedua adalah fase perkebunan swasta.
Pada sistem yang pertama, pemerintah lebih banyak menggunakan otoritasnya (high authority) untuk membeli berbagai macam komoditi yang diperlukan dan tidak jarang menggunakan cara kekerasan. Sistem ini berlangsung antara tahun 1830 hingga 1870.
Selanjutnya pada sistem kedua, sistem perkebunan swasta liberal terjadi hubungan ketergantungan yang erat antara pusat-pusat perkebunan dengan pusat-pusat metropolitan dengan pasar modalnya. Besarnya aliran investasi yang bebas dan luas menurut catatan Gordon telah menempatkan Belanda sebagai negara investor terbesar nomor 3 di dunia yang sebagian besar investasinya ditanamkan di Hindia Belanda.
Di dalam Fase kedua ini, muncul sebuah pemicu yang terkenal dengan sebutan Undang-Undang Agraria (Agrarische Wet) tahun 1870. Dari sinilah Agrarische Wet menjadi landasan yuridis formil masuknya investor-investor asing dan akhirnya semakin memperpuruk keadaan dengan kebijakan-kebijakanya yang tidak manusiawi.
Anisa Septanigrum dalam bukunya Revolusi Industri: Sebab dan Dampaknya, dikutip Optika.id, Minggu (30/7/2023) menjelaskan bahwa upaya swastanisasi yang dilakukan pemerintah colonial sebenarnya sudah berlangsung sejak lama. Tercatat pada masa pemerintahan Menteri Jajahan Frans van de Putte. Pada tahun 1865, Menteri Jajahan Frans van de Putte (seorang liberal) mengajukan sebuah Rencana Undang-Undang (RUU) yang menyatakan bahwa pertama, Gubernur Jenderal akan memberikan hal erfpacht (hak guna usaha) selama 99 tahun, kedua, hak milik pribumi akan diakui sebagai hak eigendom, dan ketiga, tanah komunal dijadikan hak milik perorangan sebagai hak eigendom.
Ternyata RUU ini ditolak oleh parlemen dan ditentang keras oleh sesame golongan liberal dengan tokoh utamanya Thorbecke. Tak hanya itu, mentri jajahan Frans Van de Putte dijatuhi hukuman pencopotan masa jabatan karena dianggap terlalu tergesa-gesa memberikan hak eigendom kepada pribumi. Dan sampai saat itu perjuangan perjuangan swastanisasi di Hindia Belanda belum menemui titik terang.
Masyrullahushomad dalam jurnalnya Penerapan Agrarische Wet (Undang-Undang Agraia) 1870: Periode Awal Swastanisasi Perkebunan Di Pulau Jawa menjelaskan setelah jatuhnya mentri jajahan di tahun 1866, pemerintah jajahan mengadakan penelitian tentang hak-hak penduduk Jawa atas tanah yang dilakukan di 808 desa di seluruh Jawa. Laporan penelitian ini terbit dalam tiga jilid pada tahun 1876, 1880, dan 1890 dengan judul Eindresume van het Onderzoek naar de Rechten van den Inlander op de Grond (biasa disingkat: Eindresume).
Perjalanan panjang yang ditempuh pemerintah kolonial akhirnya menuai jalan terang ketika muncul undang-undang agraria tahun 1870 sekaligus menjadi tonggak swastanisasi di Hindia-Belanda. Undang-undang ini disebut dengan Agrarische Besluit. Di dalam undang-undang tersebut termuat sebuah kebiajakan yang berisi tentang pernyataan bahwa, semua tanah yang tidak terbukti bahwa atas tanah itu adalah hak milik-mutlak (eigendom) adalah domain negara (domain negara maksudnya milik negara). Munculnya kebijakan ini dirasa sebagai hal baru yang nantinya melahirkan sebuah struktur sosial baru di dalam masyarakat.
Baca juga: Sejak Kapan Quick Count Mulai Digunakan dalam Pemilu?
Pembahasan awal tentang lahirnya undang-undang agraria merupakan sebab dari politik liberal pemerintah kolonial belanda melalui Agrarische Wet 1870. Diberlakukannya kebijakan ini merupakan sebuah penanda berakhirnya periode lama (high authority) dan berlakunya periode baru yang disebut dengan periode liberal (1870-1900).
Periode ini memiliki karakteristik yang terlihat dari sistem produksinya. Pada umumnya, masa ini memiliki empat atribut karakter yang melekat. Pertama, berorientasi ekspor dalam skala yang cukup besar, kedua, memiliki kebutuhan tenaga kerja yang sangat besar yang berbanding terbalik dengan ketersediaan pasar (tenaga kerja), ketiga, memerlukan mekanisme ekstra-pasar (pemaksaan dari aparatur pemerintah) guna memenuhi kebutuhan pasar, dan ke empat, tumbuhnya budaya tertentu yang memperkuat hubungan-hubungan sosial.
Penerapan kebijakan ini tentunya memiliki perbedaan dari kebijakan sebelumnya yang dikenal dengan cultuurestelsel. Jika cultuurestelsel lebih dominan ke arah pemanfaat sistem desa, Agrarische Wet sebaliknya.
Agrarische Wet malah melepaskan tanah dari ikatan-ikatan komunalnya pada desa dan membebaskan warga dari kerja wajib kepada desa. Pemerintah kolonial juga mengakui hak milik warga atas tanahnya dan melarang perpindahan hak milik itu kepada orang-orang asing.
Namun, kebijakan ini bertujuan untuk memberikan ruang kepada partikelir untuk dapat menguasai tanah-tanah diluar kepemilikan negara yaitu tanah-tanah garapan penduduk desa karena sekaligus dapat menguasai tenaga kerjanya. Hal ini dilakukan melalui kontrak sewa tanah kepada para petani dan merekrut mereka sebagai tenaga kerja perkebunan melalui sistem upahan.
Baca juga: Janji Semu Jokowi Kepada Masyarakat Adat yang Dirampas Lahannya
Perkembangan yang paling mencolok dari swastanisasi perkebunan di Jawa adalah lahirnya pabrik-pabrik gula (Industri Gula). Kemunculan pabrik pada sebagai tempat bekerja tentunya menjadi suatu problem bagi petani. Perubahan sosial yang hadir, mengharuskan masyarakat kecil mengubah profesinya dari yang awalnya petani menjadi seorang buruh-buruh pabrik.
Pabrik menjadi tempat kerja baru bagi kaum urban yang berasal dari pedesaan yang diberi label sebagai seorang petani. Para petani mencoba peruntungan baru dengan merantau ke kota dan mengandalkan gaji dari profesi baru mereka sebagai seorang buruh.
Mereka tidak memiliki keahlian tersendiri dan akhirnya mereka menempati tatanan sosial masyarakat ditingkatan paling rendah dengan upah minimum. Ketika kondisi sosial berubah, petani kecil yang menjelma menjadi seorang buruh pabrik harus mempertahankan kondisinya dari gencatan sosial yang mereka alami.
Disaat yang sama, sistem ini melahirkan sebuah sistem baru yang lebih halus daripada perbudakan. Bediende merupakan sebuah sistem yang mengahrusan seseorang mengabdi dan menyerahkan jasa dan tenaganya kepada orang lain yang bertindak sebagai tuan tanah. Sistem ini bekerja secara sepihak yang dilandasi dengan proses pengupahan yang ditentukan tanpa sebuah kesepakatan bersama. Dengan artian lain bahwa, keputusan terbesar adalah keputusan tuan tanah.
Dengan sistem hubungan kerja ini, Belanda membedakan orang-orang yang bekerja di wilayah jajahannya menjadi 3 bagian. Pertama, pekerja ataupegawaidibidang administrasi pemerintahan(ambtenaar). Kedua, pekerja di perusahaan-perusahaan(perkebunan) milik Belanda. Dan ketiga, pekerja atauburuh lepas. Anehnya sistem ini belum sepenuhnya terhapuskan walaupun Indonesia sudah menyatakan kemerdekaannya sejak 1945. Sistem yang seperti ini liberalisasi terus diamini ingga saat ini.
Editor : Pahlevi