Surabaya (optika.id) - Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) telah resmi menjabat sebagai Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) setelah dilantik beberapa waktu yang lalu oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) menggantikan Hadi Tjahjanto yang diangkat menjadi Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam).
AHY tak bisa melepaskan wajah sumringahnya setelah dilantik. Meskipun hanya memiliki waktu yang singkat, dia harus membuktikan kerja nyata sebagai Menteri ATR/BPN agar tidak dicap sebatas bagi-bagi kursi saja. Di sisi lain, faktor obral kursi untuk AHY itulah yang mengundang munculnya kritik atas penunjukkannya sebagai Menteri ATR/BPN yang baru.
Baca Juga: Demokrat Resmi Berikan Dukungan untuk Eri-Armuji di Pilkada Surabaya!
Dewi Kartika selaku Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menyebut jika penunjukan putra sulung dari SBY itu bukanlah hal yang tepat. Pasalnya, Jokowi seharusnya menunjuk sosok menteri yang sudah berpengalaman dan memahami seluk-beluk persoalan agraria di masa akhir pemerintahannya. Alih-alih mengangkat sosok yang masih perlu banyak beradaptasi dan perlu waktu belajar untuk memahami masalah-masalah agrarian di Tanah Air.
Penunjukan AHY sebagai Menteri ATR/BPN yang baru lebih cenderung pada bagi-bagi posisi jabatan menteri, ketimbang memberikan solusi bagi PR (pekerjaan rumah) besar realisasi reforma agraria yang semakin menumpuk, kata Dewi lewat keterangannya, Rabu (28/2/2024).
Rezim Konflik Agraria
Dewi menyoroti bahwa konflik agraria semakin menumpuk selama rezim pemerintahan Jokowi. Berdasarkan catatan dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), dalam sembilan tahun terakhir, ada 2.939 letusan konflik agrarian di berbagai sektor. Dan luas konflik tersebut mencakup 6,3 juta hectare.
Selain itu, korban terdampak konflik ini mencapai 1,75 juta keluarga di seluruh wilayah Indonesia. sebanyak 2.442 rakyat ditangkap serta dikriminalisasi tanpa proses hukum yang jelas. 905 orang menagalami kekerasan, sebanyak 84 orang yang membela dan mempertahankan lingkungannya tertembak, lalu 72 orang tewas di wilayah konflik agrarian.
Baca Juga: Demokrat Resmi Nyatakan Dukungan untuk Khofifah-Emil di Pilgub Jatim
Maka dari itu, sudah seharusnya, di sisa waktu yang sempit ini Jokowi memerlukan terobosan politik untuk memastikan janji presiden dalam menyelesaikan konflik agrarian dan redistribusi tanah kepada petani dapat terealisasi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
bukan hanya sekadar bagi-bagi sertifikat tanah saja ya. lebih dari itu. Mengingat urgensi penyelesaian konflik agraria dan sisa waktu yang semakin menipis, kami menilai penunjukan AHY bukan pilihan yang tepat, sebab latar belakang dia yang tidak banyak bersentuhan dengan sektor agraria, ungkap Dewi.
Lebih lanjut, Konsorsium Pembaruan Agraria dalam satu decade terakhir ini mencatat bahwa investasi dan model pembangunan di sektor perkebunan, property, infrastruktur, kehutanan, termasuk percepatan proyek strategis nasional (PSN) menjadi daftar panjang penyebab tertinggi konflik agrarian.
Baca Juga: AHY Sebut Presiden Jokowi Tak Pernah Tawarkan Kaesang ke Demokrat
Sepanjang periode 2020 2023, ada sekitar 115 konflik agrarian yang dipicu pembangunan PSN. Imbasnya, ada 85.555 KK yang bermasalah. Tak hanya itu, Dewi juga mengingatkan kembali bahwa Partai Demokrat, yang dipimpin oleh AHY, memiliki rekam jejak yang buruk pada penanganan konflik agrarian di Indonesia selama periode pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono alias SBY.
SBY, selama dua periode kekuasaannya dari tahun 2004 hingga 2014, tercatat mengobral 55 juta hectare konsesi kepada korporasi sawit, kehutanan, dan tambang. Pun pada periode yang sama, Dewi menyebut jika pihaknya mencatat ada 1.520 letusan konflik agraria dengan lahan seluas 5.711.396 hektare yang menyebabkan 977.103 keluarga menjadi korban.
Tidak hanya menggusur, namun pada masa pemerintahan SBY ada 1.433 orang dikriminalisasi, 636 dianiaya, 110 tertembak dan 155 tewas akibat konflik agraria, tambah Dewi.
Editor : Pahlevi