Izin Dokter Asing Praktik di RI Makin Dipermudah, Benarkah Sebuah Solusi Pemerataan Layanan Kesehatan?

Reporter : Uswatun Hasanah

Optika.id - Kemudahan dokter asing membuka praktik di Indonesia yang diklaim merupakan solusi pemerataan akses layanan kesehatan bukanlah jalan keluar utama. Kemudahan ini timbul seiring disahkannya Undang-Undang (UU Kesehatan).

Baca juga: Kesehatan dan Alkohol: Apa yang Harus Anda Ketahui?

Menanggapi hal tersebut, Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), Ulul Albab menyebut jika UU Kesehatan akan menimbulkan masalah baru bagi layanan kesehatan di Indonesia.

"Kita bukan antidokter asing sebenarnya karena kualitas kita enggak akan kalah. Sangat-sangat tidak kalah," ujar Ulul Albab dalam keterangan yang dikutip Optika.id, Kamis (10/8/2023).

"Permasalahannya adalah bahwa pelayanan kesehatan tidak saja tergantung oleh dokternya, tapi penunjang nonkesehatan. Itu jauh lebih menentukan," imbuhnya.

Di sisi lain, pembukaan Fakultas Kedokteran (FK) di beberapa perguruan tinggi juga bukanlah solusi untuk mewujudkan pemerataan dokter. Menurutnya, pendidikan dokter merupakan pendidikan yang cukup panjang dan tidak instan. Masalah lainnya adalah belum dipikirkan di mana tempat praktik para dokter setelah lulus dan kesediaan mereka untuk bekerja di tempat tersebut.

Maka dari itu, Ulul menyarankan lebih baik dilakukan pemetaan terlebih dahulu atas kebutuhan layanan kesehatan di daerah sebelum perguruan tinggi latah membuka Fakultas Kedokteran. Misalnya, dia memberi contoh tentang urgensi keberadaan dokter yang memadai di Maluku.

"Maluku perlu, bukalah FK di sana. Kemudian, didik anak-anak FK di sana, kemudian jadikan dokternya benar dan tetap bekerja untuk Maluku. Wajibkan untuk bekerja di sana sehingga masalah distribusi itu bisa teratasi," paparnya.

Baca juga: Kenali Penyebab Kesemutan pada Wajah dan Waktu yang Tepat untuk Konsultasi

Sebelumnya, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mendorong pemerataan tenaga kesehatan (nakes) ke sejumlah penjuru daerah melalui berbagai program. Hal ini terjadi lantaran urgensi kapasitas dokter yang dirasa tidak memenuhi kuota dan terlalu sedikit. Akan tetapi, Ulul menganggap inisiasi dari Kemenkes tadi tidak bisa asal dieksekusi tanpa mempertimbangkan tiga hal.

Yang pertama adalah tempat bagi dokter bekerja. Dan kedua adalah perlindungan dokter di tempat dia ditugaskan nantinya

"Pertama, tempat dia bekerja udah sesuai belum? Yang kedua, bagaimana terkait dengan perlindungannya? Yang ketiga, bagaimana terkait dengan kesejahteraannya? Itu, kan, paling penting," tuturnya.

Di samping pro dan kontranya, Ulul menjelaskan ada banyak faktor yang membuat dokter enggan membuka praktik dan bertugas di daerah. Salah satunya adalah minimnya fasilitas umum dan medis serta posisi yang tidak tersedia di daerah-daerah.

Baca juga: Kemenkes Ungkap Tingkat Candu Judi Online Tanah Air hingga Gangguan Mental!

Lebih lanjut dia mengakui bahwa hadirnya telemedisin merupakan angin segar alternative untuk dokter dan masyarakat agar bisa mendapatkan informasi kesehatan dan memudahkan masyarakat berkonsultasi dengan dokter dari mana saja, dengan tariff berapa, dan segala informasi lainnya.

Meskipun dimanjakan dengan kemudahan telemedisin, Ulul menegaskan bahwa masih perlu dilakukan pemeriksaan fisik ke layanan kesehatan serta bertemu dokter secara tatap muka langsung untuk berkonsultasi agar tidak terjadi rancu dan salah paham. Serta, agar masyarakat mendapatkan penanganan yang jauh lebih tepat.

"Telemedisin penting. Eranya memang harus diperlukan. Telemedisin sifatnya konsultatif, tetapi ada beberapa hal yang enggak bisa digantikan telemedisin, yaitu pemeriksaan fisik," kata Ulul.

Editor : Pahlevi

Politik
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru