Optika.id - Generasi Z alias Gen Z yang lahir di era 1997 2012 merupakan generasi yang tidak mau ketinggalan dengan perkembangan zaman dan dikenal akrab dengan teknologi informasi. Hal tersebut tak bisa dipungkiri karena Gen Z dilahirkan saat teknologi sudah berkembang dengan sangat pesat. Tak ayal, berdasarkan pemahaman tersebut, banyak orang yang menganggap Gen Z mendapatkan keuntungan atau privilese dengan teknologi yang makin gampang diakses.
Baca juga: Ganjar Sebut Indonesia Tengah Hadapi Krisis Kesehatan Mental
Populasi Gen Z saat ini pun mendominasi dibandingkan dengan generasi lainnya seperti milenial dan baby boomer. Berdasarkan data sensus penduduk tahun 2020 lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut bahwa jumlah Gen Z mencapai 27,94ri total populasi rakyat Indonesia yang saat itu jumlahnya sekitar 74,93 juta jiwa.
Menanggapi hal demikian, dalam keterangannya Psikolog Klinis dan Remaja, Tara de Thouars menyebut bahwa Gen Z tumbuh secara langsung bersamaan dengan perkembangan teknologi. Maka dari itu mereka dikatakan digital native. Secara tidak langsung, hal tersebut tentunya memberikan banyak kemudahan namun di sisi lain tantangannya tak kalah banyak dengan generasi-generasi sebelumnya.
"Gen Z akanmenghadapi banyak tekanan dan tuntutan dari generasimillenialdanboomers, belum lagi tekanan dari dirinya sendiri dengan adanyapersaingan dan kebutuhan hidup yang makin tinggi, kata Tara dalam keterangannya, dikutip Optika.id, Senin (14/8/2023).
Tantangannya adalah Gen Z yang mengalami bad mental health issue dengan banyaknya tekanan hidup. Hal tersebut didukung dengan penelitian dari AXA Mind Health and Wellbeing 2023 yang menunjukkan sebanyak 51% Gen Z di Asia mengalami kesehatan mental yang cukup buruk.
"Lihat bagaimana beban mereka makin tinggi dariinner circlemaupun media sosial, biaya hidup meningkat, dan kondisi lingkungan yang kian mengkhawatirkan," ujar Tara.
Sementara itu, generasi milenial dan boomers melakukan semuanya dengan cara manual dengan teknologi yang masih minim atau belum ada sama sekali. Hal inilah yang menjawab mengapa Gen Z sering dipandang sebelah mata oleh generasi sebelumnya di bidang apa saja, misalnya pekerjaan, atau bahkan politik.
Baca juga: Survei: 73 Persen Pekerja Alami Perlakuan Tak Menyenangkan dan Diskriminasi
Hal itu tercermin dari istilah-istilah peyoratif seperti generasi yang Mager atau malas gerak, impulsive, agresif, FOMO (fear of missing out) atau tidak mau ketinggalan sesuatu, cuek, lembek dan mental tempe.
"Yang membedakan Gen Z dengan generasi sebelumnya adalahvaluedan loyalitas,millenialdanboomersberanggapan bahwa setiap orang harus kerja keras dan loyal terhadap perusahaannya," kata Tara.
Sementara itu, menurut Tara Gen Z adalah generasi yang menganggap bahwa pengalaman di atas segalanya. Oleh sebab itu, Gen Z di dunia kerja biasanya cenderung ambisius, inovatif, kreatif, dinamis, dan terbuka dengan tantangan. Hal itu ditunjang oleh penelitian yang menemukan bahwa mayoritas Gen Z adalah orang-orang yang kreatif, kritis, mandiri, inovatif, dan ambisius dalam menjalani hidupnya.
Sementara itu, berdasarkan survei yang digelar oleh The Deloitte Global 2023 dengan laporannya yang berjudul Gen Z and Millenial Survey memaparkan bahwa sebanyak 62% persen Gen Z saat ini telah memulai atau ingin memulai bisnisnya sendiri. Kemudian, 46% di antaranya memiliki pekerjaan sampingan sebagai sarana menambah pemasukan dan mengembangkan diri serta relasinya. Survei tersebut seolah menegaskan bahwa meskipun Gen Z digambarkan sebagai generasi yang ambisius dan banyak bersaing, namun mereka peduli dengan diri sendiri dan memiliki kesadaran terhadap kesehatan mental.
Baca juga: Pakar Ubaya Ungkap Gen Z Harus Pikirkan Skill untuk Dapat Peluang
Dalam survei tersebut juga menunjukkan sebanyak 49% Gen Z ingin memiliki work-life balance alih-alih ikut mengulang siklus orang tuanya, para generasi milenial, yang hidup untuk bekerja atau live to work. Prinsip Gen Z yang ingin work-life balance ini pun menurut Tara ditunjang oleh pandangan mereka yang bekerja cerdas ketimbang bekerja keras.
"Para Gen Z ini meskipun digempur stigma negatif, mereka tetap mau serbaall outmenghadapi berbagai tantangan dan di sisi lain tetap menyeimbangkan antara produktivitas,leisure, dan kesehatan mental, jelas Tara.
Tak dapat dipungkiri bahwa Gen Z dengan segala karakternya yang unik, tetap butuh dukungan untuk mengembangkan potensi dalam dirinya. Tara menjelaskan jika kuncinya adalah memiliki support system seperti teman dan keluarga yang dirasa bisa mendukung mereka untuk menjalani hidup yang penuh tekanan, serba cepat dan banyak tuntutan di sana sini.
Editor : Pahlevi